Arab Saudi Ingin Berinteraksi Langsung dengan Iran Setelah Perang 12 Hari
(last modified Sat, 12 Jul 2025 07:32:52 GMT )
Jul 12, 2025 14:32 Asia/Jakarta
  • Sayid Abbas Araghchi dan Mohammed bin Salman
    Sayid Abbas Araghchi dan Mohammed bin Salman

Pars Today – Situs majalah Cradle menulis, "Arab Saudi menganggap Republik Islam Iran sebagai faktor kekuatan yang tak terelakkan di kawasan yang membutuhkan interaksi langsung dengannya."

Situs majalah Cradle menyatakan dalam sebuah laporan, Setelah Iran mengadopsi strategi perang yang terencana sebagai respons terhadap agresi rezim Zionis dalam perang 12 hari yang dipaksakan, yang mengungkap kerentanan rezim ini dan melemahnya payung keamanan AS, Iran telah memaksa Arab Saudi untuk meninggalkan asumsi-asumsi sebelumnya tentang keamanan regional dan kini memandang Iran sebagai faktor kekuatan yang tak terelakkan di kawasan yang membutuhkan interaksi langsung dengannya.

Menurut laporan Pars Today mengutip ISNA, dalam konfrontasi terbaru antara Iran dan rezim Zionis, yang mengindikasikan perubahan signifikan dalam konstelasi kekuatan regional, terutama di Teluk Persia, respons militer Iran yang langsung dan terencana mengungkap kerentanan strategis Tel Aviv dan memaksa ibu kota negara-negara Teluk Persia, terutama Riyadh, untuk mempertimbangkan kembali asumsi-asumsi lama mereka tentang keamanan regional.

Serangan militer agresif rezim Zionis terhadap Iran dimulai pada Jumat pagi, 13 Juni. Dalam serangan ini, fasilitas nuklir, pusat militer, dan lokasi sipil, termasuk pusat medis, penjara Evin, dan permukiman, menjadi sasaran, yang mengakibatkan gugurnya sejumlah komandan militer senior, ilmuwan nuklir, dan warga sipil.

Pada hari Minggu, 22 Juni, Amerika Serikat, bersama dengan rezim Zionis, menyerang tiga fasilitas nuklir Iran di Fordow, Isfahan, dan Natanz dengan bom penghancur bunker. Serangan agresif terhadap integritas teritorial dan kedaulatan nasional Iran ini terjadi di tengah negosiasi tidak langsung antara Tehran dan Washington mengenai kesepakatan untuk membatasi program nuklir Iran dan mencabut sanksi terhadap Iran.

Presiden AS secara menipu mengisyaratkan adanya peluang diplomasi, padahal ia mengetahui rencana rezim Zionis untuk menyerang Iran dan mengakui dukungan penuhnya.

Sementara itu, Republik Islam Iran menanggapi serangan agresif ini melalui operasi Janji Setia 3 dan Kabar Gembira Kemenangan (Besharat-e Fath). Serangan terhadap Iran akhirnya dihentikan oleh usulan gencatan senjata dari AS pada 24 Juni.

Situs majalah Cradle menulis dalam sebuah laporan dengan pengantar berikut, Bertahun-tahun kegagalan politik, militer, dan diplomatik di bawah pengawasan AS dan Israel telah mendorong negara-negara Teluk Persia menuju pengaturan keamanan yang lebih stabil dan non-konfrontatif, tetapi apa yang kita saksikan sekarang adalah pembubaran bertahap aliansi yang sudah ketinggalan zaman dan pembukaan jalur pragmatis dan berbasis kepentingan dengan Tehran.

Menyatakan bahwa "strategi perang Iran telah mengubah ekspektasi regional," majalah ini menulis, Tindakan Tehran terhadap konflik militer terbaru, dengan ketergantungannya pada serangan presisi, aliansi regional, dan eskalasi yang terencana, telah menunjukkan tingkat pencegahan yang baru.

Dengan menggunakan jaringan regional, pangkalan rudal, dan pesawat nirawak canggih, Tehran dengan hati-hati mengelola konfrontasi, menghindari perang skala penuh, sekaligus mengirimkan pesan yang jelas kepada musuh tentang kemampuannya untuk mencegah dan meningkatkan konflik jika perlu.

Menurut majalah ini, pesan dari strategi ini kepada negara-negara Teluk adalah bahwa "Iran tidak terisolasi maupun rentan; sebaliknya, mampu menentukan hasil di berbagai front tanpa terlibat dalam perang skala penuh".(sl)