Bunuh Diri dan Kehancuran Militer Rezim Zionis dari Dalam
https://parstoday.ir/id/news/west_asia-i175182
Bunuh diri telah menjadi ancaman utama bagi tentara Israel sejak berakhirnya perang Gaza.
(last modified 2025-08-03T00:55:53+00:00 )
Aug 03, 2025 07:30 Asia/Jakarta
  • Bunuh Diri dan Kehancuran Militer Rezim Zionis dari Dalam

Bunuh diri telah menjadi ancaman utama bagi tentara Israel sejak berakhirnya perang Gaza.

Situs web Amerika Media Line melaporkan, ketika perang di Gaza berakhir, pikiran untuk bunuh diri di kalangan tentara Israel akan meningkat lebih dari sebelumnya, dan Israel akan menghadapi gelombang bunuh diri di kalangan tentaranya.

Menurut Pars Today, statistik baru menunjukkan bahwa lebih dari 50 tentara Israel telah kehilangan nyawanya karena bunuh diri sejak awal perang Gaza. Angka ini mencakup 17 kasus pada tahun 2023, dan 21 kasus pada tahun 2024.

Media Ibrani juga melaporkan bahwa setidaknya 18 kasus bunuh diri tercatat pada paruh pertama tahun 2025, dua kali lipat lebih banyak dibandingkan pada paruh yang sama tahun 2024. Angka-angka ini menunjukkan bahwa tren bunuh diri di kalangan tentara Israel tidak hanya meningkat dengan dimulainya perang Gaza, tetapi tampaknya tsunami bunuh diri militer akan terjadi dengan berakhirnya perang ini.

Dalam kasus terbaru, Roy Fischerstein, seorang prajurit cadangan di Brigade Lapis Baja ke-401 yang bertugas selama lebih dari 300 hari dalam perang dan berpartisipasi dalam evakuasi jenazah korban tewas dan terluka dari medan perang di gaza ditemukan melakukan aksi bunuh diri.

Meskipun akar dari fenomena bunuh diri di kalangan militer Israel bermula dari perang rezim Zionis dengan Lebanon, khususnya perang Juli 2006, yang setelahnya gelombang bunuh diri di kalangan militer Israel dimulai setelah mereka menderita berbagai gangguan mental, termasuk gangguan stres pascatrauma, fenomena ini menjadi jauh lebih nyata dan meningkat dengan dimulainya perang Gaza.

Terlepas dari semua penyensoran oleh rezim Israel, statistik menunjukkan bahwa empat tentara Israel bunuh diri hanya pada pertengahan Juli 2025.

Krisis ini dapat dianggap sebagai kombinasi dari berbagai faktor, seperti tekanan psikologis jangka panjang akibat perang, luka moral dalam menghadapi tindakan militer yang bertentangan dengan nilai-nilai individu, kurangnya sistem pendukung untuk memberikan dukungan psikologis yang efektif, dan isolasi sosial setelah meninggalkan dinas atau kembali ke masyarakat.

Salah satu dimensi yang terabaikan dari krisis ini adalah dampak langsung dari senjata yang ditembakkan bukan di medan perang, melainkan di benak para prajurit. Dalam banyak kasus, faktor yang mendorong tentara Israel melakukan aksi bunuh diri adalah pertanyaan-pertanyaan yang ada di benak mereka. Tentara yang telah berjalan selama berjam-jam di terowongan, rumah-rumah dan jalan-jalan Gaza yang hancur, menembaki warga Palestina; telah melakukan pemerkosaan, teror dan segala macam kejahatan, dan sekarang, setelah beberapa waktu, diliputi rasa takut dan penyesalan dan hanya dapat berpikir untuk bunuh diri.

Dari perspektif lain, peningkatan kasus bunuh diri bukan sekadar krisis kemanusiaan, tetapi juga pertanda keretakan yang mendalam dalam struktur militer Israel. Kini, militer Israel yang selama bertahun-tahun hidup dengan narasi kekuasaan absolut dan tak terkalahkan harus menghadapi mimpi buruk kekalahan dan penolakan dari sebagian besar masyarakat, bahkan pemukim Zionis sendiir..

Psikolog Israel, Rona Ackerman mengatakan,"Perang meninggalkan bekas luka yang nyata dan kerusakan psikologis berlangsung lama; terutama di kalangan militer, karena mereka harus menunjukkan kekuatannya, sehingga sangat sulit untuk mengenali kelemahan yang muncul dalam jiwa dan pikiran mereka; hingga mencapai tahap kerusakan itu sendiri dan sejumlah tentara ini bunuh diri."

Opini publik Israel kini semakin muak dengan kebijakan yang mengobarkan perang Sebagian besar dari mereka menuntut diakhirinya perang di Gaza dan pembebasan sandera Zionis.

Oleh karena itu, banyak tentara Israel menghadapi kritik dan penolakan setelah kembali dari perang, yang membuat situasi semakin sulit bagi mereka. Banyak veteran dan anggota cadangan menggambarkan situasi mereka seolah-olah tersesat setelah kembali. Mereka tidak merasakan kedamaian di rumah, dan masyarakat tidak memahami apa yang telah mereka lihat dan alami.

Profesor Eyal Frucher, mantan kepala departemen kesehatan mental tentara Israel, telah memperingatkan agar tidak mengabaikan situasi menyedihkan saat ini dan berkata, "Pasukan Israel menghadapi banyak risiko, termasuk hilangnya pekerjaan dan runtuhnya kehidupan keluarga, rasa keterpisahan, dan pengalaman traumatis akibat perang."

Tampaknya salah satu ancaman paling serius bagi struktur militer Israel bukan lagi musuh eksternal, melainkan erosi internal pasukan militer; para prajurit yang kehilangan makna, motivasi, dan keyakinan di bawah tekanan psikologis.

Data statistik bunuh diri bukan sekadar angka di atas kertas, melainkan gema hati nurani yang tersiksa; hati nurani yang runtuh di bawah beban penindasan yang mereka timpakan kepada rakyat Palestina yang tak berdosa.

Keheningan yang mematikan ini adalah seruan yang tak terdengar. Jika kemerosotan spiritual dan moral di kalangan tentara Zionis terus berlanjut, para pejabat Israel harus bersiap menghadapi gelombang bunuh diri dan gangguan psikologis yang lebih dahsyat di kalangan militer Zionis dalam waktu dekat.(PH)