Mimpi Saudi Membentuk Koalisi Anti-Iran
Menteri luar negeri negara-negara Arab, pada hari Ahad (19/11/2017) menggelar sidang istimewa di Kairo, atas permintaan Arab Saudi. Sidang itu digelar dengan tema "analisa pelanggaran ketentuan-ketentuan oleh Iran terhadap negara-negara Arab" dan "upaya Iran untuk menghancurkan keamanan dan perdamaian Arab."
Dalam deklarasi yang tampak sekali didikte oleh Arab Saudi, dan dibacakan oleh Sekjen Ahmed Aboul Gheit, Liga Arab menuding Iran mengintervensi dan mengacaukan kawasan.
Menlu Arab Saudi, Adel al-Jubeir, dalam sidang tersebut seraya mengulang tuduhan infaktual anti-Iran sebelumnya, juga mengklaim bahwa rudal-rudal yang ditembakkan Yaman ke Arab Saudi adalah bantuan dari Iran. Ditambahkannya, rudal balistik yang ditembakkan ke Riyadh menunjukkan serangan repetitif Iran terhadap kerajaan Saudi dan hingga kini telah ditembakkan 80 rudal balistik dengan identitas Iran oleh anasir-anasir Republik Islam yaitu kelompok Houthi Yaman.
Aksi Arab Saudi melibatkan Liga Arab untuk menebar klaim-klaim infaktual anti-Republik Islam, membuktikan politik agresif Arab Saudi di kawasan. Sebelumnya, langkah-langkah serupa juga dilakukan Arab Saudi dalam bingkai Dewan Kerjasama Teluk Persia.
Kontinyuitas politik agresif Arab Saudi terhadap Iran harus dianalisa dalam kerangka politik AS-Israel dalam melawan Republik Islam Iran, dan Arab Saudi berperan sebagai pelaksananya.
Noam Chomsky, analis terkemuka Amerika Serikat dalam wawancaranya dengan TomDispatch soal kunjungan luar negeri perdana Presiden AS Donald Trump ke Arab Saudi dan dampaknya bagi politik Timur Tengah dan sikap Arab Saudi di hadapan Iran, mengatakan:
"Arab Saudi adalah tempat di mana Trump merasa berada di rumah sendiri; sebuah rezim diktator brutal dan ultra-opresif serta produsen minyak mentah terbesar dengan kekayaan melimpah. Kunjungan ini berakhir dengan penandatanganan kontrak-kontrak besar dan penjualan senjata yang dibarengi dengan bonus-bonus Saudi. Di antara dampaknya adalah kawan Trump di Saudi telah mendapat lampu hijau untuk melancarkan serangan brutal ke Yaman dan menghukum Qatar."
Jelas bahwa Arab Saudi setelah kriprah bin Salman sedang meradang haus kekuasaan di kawasan, akan tetapi politik tersebut berulang kali gagal di Yaman, Irak, Suriah dan Lebanon.
Oleh karena itu, Arab Saudi berupaya untuk memperluas radius krisis di kawasan demi realisasi tujuanya. Sebelum sidang Liga Arab di Kairo, Arab Saudi kembali berpetualang dengan kasus kunjungan Perdana Menteri Lebanon, Saad Hariri, ke Riyadh, serta pengunduran dirinya yang diumumkan di Arab Saudi dengan mengemukakan alasan rakayasa dan mencurigakan seperti tuduhan campur tangan Iran dan juga klaim infaktual soal Hizbullah.
Berlajutnya politik agresif Arab Saudi di Suriah, Irak dan Lebanon, serta tuduhan terhadap Iran sebagai pengacau kawasan, bersumber dari upaya reaktif Arab Saudi untuk menutupi intervensi gila dan perang-perang konyol Arab Saudi di kawasan.(MZ)