Tantangan Kabinet Baru Lebanon
Saad al-Hariri kembali menempati posisi perdana menteri setelah mengundurkan diri pada 30 Oktober tahun lalu.
Ia kembali ditunjuk untuk membentuk kabinet Lebanon yang keempat kalinya. Saad Al-Hariri menjabat sebagai perdana menteri pada 2009, 2016, 2018, dan sekarang pada 2020 untuk masa jabatan lima tahun ke depan. Tampaknya ada sejumlah tantangan signifikan dalam pembentukkan kabinet baru.
Pertama, pembentukan kabinet baru menjadi masalah yang sebelumnya tidak bisa diatasi oleh Mustafa Adib, sehingga ia mengundurkan diri sebagai perdana menteri. Al-Hariri sekarang harus membentuk kabinet baru dalam situasi ketika sekitar setengah dari anggota parlemen, termasuk partai-partai besar seperti Hizbullah dan Gerakan Patriotik Bebas menentangnya, bahkan front 14 Maret tidak satu suara mendukungnya.
Al-Hariri mengklaim akan membentuk kabinet non-politik, tetapi Gebran Bassil, mantan menteri luar negeri Lebanon dan ketua Gerakan Patriotik Bebas menekankan bahwa kabinet berikutnya harus terdiri dari teknokrat dan pejabat politik karena Hariri sendiri tidak independen. Oleh karena itu, bukan tidak mungkin proses pembentukan kabinet oleh Al-Hariri akan memakan waktu lama. Terakhir kali Hariri diangkat sebagai perdana menteri membutuhkan waktu lebih dari delapan bulan.
Kedua, Al-Hariri juga menghadapi tantangan yang signifikan setelah pembentukan kabinet. Kini, Lebanon sedang mengalami krisis terparah sejak perang saudara 1975 hingga 1990. Selain masalah rekonstruksi akibat ledakan 4 Agustus yang menghancurkan Beirut, meningkatnya penyebaran virus Corona, ekonomi yang merosot, sistem perbankan yang runtuh dan mata uang yang menurun, negara ini menghadapi inflasi yang mencapai 145 persen. Kini, separuh penduduk Lebanon berada di bawah garis kemiskinan.
Ketiga, Al-Hariri selama ini cenderung mengandalkan bantuan dari pendukung asingnya untuk meringankan masalah nasional Lebanon. Tetapi masalahnya, tidak ada konsensus di antara pendukung asing al-Hariri sendiri. Meskipun Prancis, Arab Saudi, dan Amerika Serikat percaya bahwa al-Hariri adalah pilihan terbaik untuk perdana menteri Lebanon, tetapi ketiga negara tersebut memiliki tuntutan yang berbeda terhadap al-Hariri.
Prancis berkeras membentuk pemerintahan yang sejalan dengan inisiatif Macron yang dapat mewujudkan reformasi mendasar di Lebanon. Paris tidak banyak memfokuskan masalah ketegangan melawan Hizbullah. Tetapi Amerika Serikat dan Arab Saudi lebih fokus pada peningkatan tekanan terhadap Hizbullah dan mengharapkan Hariri mengambil garis yang lebih keras terhadap Hizbullah dan mengurangi peran front perlawanan di kabinetnya. Oleh karena itu, jika al-Hariri gagal merongrong posisi Hizbullah dalam struktur kekuasaan Lebanon, maka Riyadh dan Washington bisa menarik dukungannya. Seruan untuk melemahkan posisi Hizbullah datang di saat Hizbullah saat ini berada dalam posisi politik terbaik dan Koalisi Perlawanan memegang 68 kursi di parlemen Lebanon.(PH)