Kinerja Setahun Joe Biden
Joe Biden, presiden Amerika Serikat dari kubu Demokrat satu tahun lalu pada 20 Januari 2021 memulai kinerjanya dengan sederet janji, khususnya janjinya untuk membalik langkah yang pernah diambil pendahulunya, Donald Trump.
Kini setelah satu tahun menjabat presiden, tingkat kepuasan warga Amerika akan kinerja Biden mencapai level terendah, dan bahkan kubu Demokrat sendiri yang kini menjadi pendukung utama presiden ini tidak terlalu optimis akan kemenangannya di pemilu presiden 2024.
Sebuah jajak pendapat oleh Morning Consult menunjukkan 56 persen warga Amerika mengatakan bahwa mereka menentang kinerja Joe Biden, padahal ia kini tengah memasuki tahun kedua masa jabatannya. Hasil polling tersebut juga menunjukkan bahwa presiden Amerika saat ini memiliki popularitas lebih rendah dari pendahulunya, Donald Trump dan hanya 40 persen warga Amerika yang mendukung kinerja Biden selama satu tahun lalu. Padahal popularitas Biden menurut jajak pendapat Morning Consult ketika ia pertama kali memasuki Gedung Putih pada 20 Januari tahun lalu sebesar 50 persen.
Biden memulai tahun keduanya dengan tingkat inflasi di Amerika mencapai angka tertinggi sejak 43 tahun lalu dan mencapai lebih dari 6,8 persen. Biden di pidatonya pada 7 Januari 2022 di Gedung Putih mengatakan, inflasi di Amerika masih mengkhawatirkan, namun solusinya bukan mundur dari program ekonomi yang ada.
Kubu Republik mengatakan, inflasi tinggi saat ini di Amerika akibat program dan kebijakan mahal Biden. Senator Demokrat dari Negara Bagian Virginia, Tim Kaine mengatakan, inflasi sebuah fakta dan kami melawannya. Biden berusaha menghidupkan perekonomian Amerika yang porak-poranda akibat pandemi Corona dengan mengajukan sejumlah program bantuan finansial kepada keluarga Amerika dan menambah lapangan kerja serta merekonstruksi infrastruktur yang menghabiskan dana sekitar enam triliun dolar. Di sisi lain, pemerintah Biden juga berhasil mengurangi angka pengangguran. Sementara di bidang politik dalam negeri, upaya Biden fokus pada amandemen undang-undang pemilihan dan voting yang akhirnya gagal karena penentangan kubu Republik di Senat dan pengamat menilainya sebagai kekalahan lain bagi presiden Amerika saat ini.
Di sisi lain, Biden juga kurang berhasil dalam mengendalikan pandemi Corona khususnya setelah varian baru Omicron menyerbu negara ini, meski vaksinasi terus digalakkan selama satu tahun terakhir. Kini kondisi Amerika cukup parah dalam menghadapi pandemi Corona dan menempati posisi pertama dunia dari sisi kasus positif dan kematian akibat virus ini. Sementara di bidang kebijakan migran, Biden meski berjanji akan mengubah kebijakan Trump di kasus ini, tapi dalam prakteknya pembatasan masih tetap diterapkan dan perlakukan tak manusiawi terhadap migran terus berlanjut dan ia berencana melanjutkan pembangunan tembok di perbatasan.
Di bidang kebijakan luar negeri, fokus Biden untuk menghidupkan kembali konvergensi trans-Atlantik yang mengalami kerusakan parah di era Trump akibat kebijakan unilateralisme mantan presiden Amerika tersebut dan pada akhirnya berujung pada divergensi antara AS dan Eropa. Di sisi lain, hubungan Amerika dengan dua kekuatan internasional yang menjadi rival Washington, yakni Cina dan Rusia selama satu tahun terakhir mulai menurun dan sebaliknya tensi terus meningkat.
Pemerintah Biden melontarkan banyak tudingan terhadap Beijing dan menekankan kebijakan mengontrol penuh Cina. Peningkatan tensi dengan Rusia karena krisis Ukraina juga tak dapat dihentikan, dan hal ini mendorong eskalasi kehadiran militer Amerika di Eropa. Namun tragedi kebijakan luar negeri Biden adalah penarikan memalukan pasukan Amerika dari Afghanistan pada Agustus 2021 yang berubah menjadi simbol kelemahan dan menurunnya kekuatan Amerika. Selain itu, pemerintah Biden dalam menyikapi Republik Islam Iran dan kesepakatan nuklir JCPOA, meski telah mengumbar janji sebelumnya, secara praktis melanjutkan kebijakan pemerintah Trump. Washington terkait Korea Utara dan upayanya untuk meyakinkan Pyongyang untuk memulai dialog juga gagal. (MF)