Ketika PBB Meminta Pencabutan Sanksi AS terhadap Iran
Dalam sidang Dewan Keamanan untuk meninjau implementasi Resolusi 2231, Deputi Politik Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, sambil menggambarkan JCPOA sebagai opsi terbaik untuk memastikan "sifat damai program nuklir Iran", meminta Amerika Serikat untuk mencabut sanksi terhadap Iran.
Rosemary Anne DiCarlo, Deputi Politik Sekjen PBB melanjutkan pernyataannya, Desember 2022, yang terakhir kali saya melapor ke dewan ini, semua pihak dalam program ini (JCPOA) dan Amerika Serikat mengonfirmasi bahwa kembali pada implementasi penuh dan efektif program ini adalah satu-satunya pilihan yang tersedia untuk menyelesaikan masalah seputar program nuklir Iran. Setelah 6 bulan, negosiasi untuk menghidupkan kembali kesepakatan ini menemui jalan buntu.
Menurutnya, Diplomasi adalah satu-satunya cara untuk secara efektif menangani masalah program nuklir Iran. Penting bagi semua pihak untuk melanjutkan pembicaraan secepat mungkin dan mencapai kesepakatan tentang masalah yang tersisa.
"Dalam hal ini, saya mengulangi permintaan Sekretaris Jenderal PBB kepada Amerika Serikat untuk mencabut sanksi atau menerbitkan pengecualian darinya sebagaimana ditentukan dalam JCPOA, dan saya meminta perpanjangan pengecualian terkait perdagangan minyak dengan Republik Islam Iran, tegas DiCarlo.
Pada 8 Mei 2018, Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, secara resmi mengumumkan penarikan negaranya dari kesepakatan nuklir JCPOA.
Setelah tindakan ini, pemerintahan Trump mengabaikan kewajibannya di bawah JCPOA dan Resolusi Dewan Keamanan PBB 2231, meskipun ada tentangan global yang meluas, dan untuk memaksa Iran menerima tuntutan ilegalnya, memberlakukan sanksi yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam rangka kampanye tekanan maksimum terhadap Tehran dan menentang setiap rencana untuk melestarikan JCPOA.
Tindakan Amerika sepenuhnya bertentangan dengan ketentuan JCPOA dan Resolusi Dewan Keamanan PBB 2231, dan semata-mata didasarkan pada tuntutan tirani Washington dan untuk mencegah negara lain dari kerja sama nuklir dengan Iran.
Pemerintahan Trump mengklaim bahwa meluncurkan kampanye tekanan maksimum akan memaksa Iran untuk tunduk pada dua belas tuntutan Amerika Serikat, yang diajukan Mike Pompeo, Menteri Luar Negeri AS saat itu, pada Mei 2018.
Namun Republik Islam Iran memenuhi semua kewajibannya sampai satu tahun setelah penarikan Amerika Serikat dari JCPOA, tetapi setelah itu mengumumkan akan mengurangi kewajibannya berdasarkan perjanjian ini sesuai dengan ketentuan JCPOA.
Setelah mengambil 5 langkah untuk mengurangi komitmen, Iran akhirnya mengumumkan pada 5 Januari 2020 bahwa Iran tidak lagi menghadapi batasan apa pun di wilayah operasional (termasuk kapasitas pengayaan, persentase pengayaan, jumlah bahan pengayaan, serta penelitian dan pengembangan).
Pada September 2020, saat kampanye pemilihan umum presiden AS, Presiden AS saat ini Joe Biden mengakui dalam sebuah memo bahwa Donald Trump melakukan kesalahan dengan menarik diri dari JCPOA dan mengambil tindakan yang bertentangan dengan kepentingan nasional AS dan membuat AS semakin terisolasi.
Dalam sidang Dewan Keamanan untuk meninjau implementasi Resolusi 2231, Deputi Politik Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, sambil menggambarkan JCPOA sebagai opsi terbaik untuk memastikan "sifat damai program nuklir Iran", meminta Amerika Serikat untuk mencabut sanksi terhadap Iran.
Namun dalam praktiknya, sejak awal masa kepresidenannya, yaitu Januari 2021, Biden terus menerapkan kebijakan tekanan maksimum, dan tanpa menyebutkan pemerintah mana yang telah melanggar janji dan menarik diri dari JCPOA, dia membuat kembalinya Amerika ke JCPOA dengan syarat tindakan Tehran.
Dia berjanji jika Iran kembali ke implementasi penuh JCPOA, Washington juga akan kembali ke perjanjian ini.
Joseph Cirincione, seorang pakar politik Amerika menekankan bahwa hingga saat ini, Biden terus melanjutkan kampanye tekanan maksimum Trump yang gagal terhadap Iran, dan mengatakan, Kecuali Biden memperbaiki arahnya, ada risiko kehilangan kesepakatan nuklir yang vital.
Berbeda dengan pendekatan irasional pemerintah Biden, Republik Islam Iran telah mengumumkan bahwa "ia akan kembali ke kewajiban JCPOA ketika Amerika Serikat membatalkan semua sanksi dalam praktiknya, bukan dalam kata-kata atau di atas kertas, dan masalah ini harus diverifikasi oleh Iran".
Meskipun Presiden AS Joe Biden berjanji untuk kembali ke JCPOA berkali-kali sebelum pemilu presiden AS pada November 2020 dan setelah terpilih, bukti dan pendekatan serta posisi Washington menunjukkan bahwa AS pada dasarnya tidak berniat untuk kembali ke JCPOA 2015.
Caitlin Johnstone, seorang jurnalis Australia mengatakan, Kebijakan Biden terhadap Iran sama dengan kebijakan Trump terhadap Iran.
Sebenarnya, negosiasi JCPOA telah menemui jalan buntu di Washington, dan selama Amerika Serikat tidak mau mempertimbangkan kepentingan Republik Islam Iran, tidak akan ada prospek bagi AS untuk kembali ke JCPOA dan menerapkan kembali kesepakatan JCPOA.
Poin penting adalah bahwa terlepas dari fakta bahwa Amerika telah menarik diri dari JCPOA, pada saat yang sama, Amerika tidak tertarik untuk menyatakan kematian JCPOA dan memasuki "dunia tanpa JCPOA". Oleh karena itu, perundingan JCPOA tidak akan dinyatakan selesai hingga beberapa waktu ke depan.
Pada saat yang sama, pengumuman sikap resmi PBB mengenai perlunya pencabutan sanksi sepihak AS terhadap Iran dalam rangka pemulihan JCPOA menunjukkan posisi organisasi internasional ini mengenai kondisi penting JCPOA, telah kembali ke jalurnya yang efektif dan benar.(sl)