Amerika Tinjauan dari Dalam, 16 Juli 2023
-
Gedung Putih.
Ada sejumlah hal penting terjadi selama sepekan terakhir di Amerika Serikat (AS), termasuk pengakuan AS atas tidak adanya program nuklir militer di Iran.
Terlepas dari klaim berulang kali dari Barat, terutama Amerika Serikat dan rezim Zionis, tentang upaya Iran untuk mendapatkan senjata nuklir, badan intelijen utama Amerika Serikat mengakui bahwa Iran tidak mencari senjata nuklir.
Mengulangi bahwa Iran saat ini tidak sedang melakukan kegiatan pengembangan senjata nuklir utama yang diperlukan untuk menghasilkan bom nuklir yang dapat diuji, bagian dari laporan rahasia dua halaman pada hari Senin (10/07/2023) oleh Kantor Direktur Intelijen Nasional menyatakan, Namun Tehran terus melanjutkan penelitian dan pengembangannya.
Sebelumnya, pada Desember 2022, Direktur Intelijen Nasional AS Avril Haines mengaku belum ada informasi yang menunjukkan bahwa Iran telah mengambil keputusan untuk membangun senjata nuklir.
Konfirmasi ulang oleh badan intelijen AS yang paling penting, yang laporannya dapat dilihat sebagai hasil dari lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi intelijen AS, bahwa Iran tidak mencoba membuat senjata nuklir, dan menegaskan kembali posisi konstan Republik Islam di bidang menahan diri dari upaya apa pun untuk membuat senjata nuklir.
Dalam fatwa nuklir Ayatullah Al-Udzma Sayid Ali Khamenei, Pemimpin Besar Revolusi Islam yang disampaikan dalam pesannya pada Konferensi Internasional Pertama tentang "Pelucutan Senjata dan Non-Proliferasi Nuklir" pada 17 April 2010, dan kemudian secara resmi terdaftar di Perserikatan Bangsa-Bangsa, dinyatakan bahwa selain percaya pada keharaman senjata nuklir, kami juga menganggap penggunaan "jenis senjata pemusnah massal lainnya, seperti senjata kimia dan senjata biologis... dilarang".
Tidak adanya program nuklir militer di Iran adalah masalah yang juga diakui oleh Badan Energi Atom Internasional (IAEA).
Sifat damai dari program nuklir Iran telah dikonfirmasi berkali-kali dalam banyak laporan dari Badan Energi Atom Internasional.
Pada pertengahan November 2022, Rafael Grossi, Direktur Jenderal Badan Energi Atom Internasional mengatakan, Kami tidak memiliki informasi apapun untuk menunjukkan bahwa Iran saat ini memiliki program nuklir militer.
Terlepas dari klaim berulang kali dari Barat, terutama Amerika Serikat dan rezim Zionis, tentang upaya Iran untuk mendapatkan senjata nuklir, badan intelijen utama Amerika Serikat mengakui bahwa Iran tidak mencari senjata nuklir.
Meskipun pengembangan nuklir Iran sejalan dengan tujuan damai, Amerika Serikat, sekutu Barat, dan rezim Zionis menggunakannya sebagai alasan untuk menuduh Tehran mengejar tujuan militer nuklir.
Tuduhan ini telah diulang berkali-kali dalam dokumen tingkat tinggi Amerika Serikat, termasuk dokumen Strategi Keamanan Nasional, dan diklaim bahwa Amerika Serikat akan menghadapinya.
Selama bertahun-tahun, Barat menuduh Iran memiliki program nuklir militer, meskipun tidak memberikan bukti kepada Iran, dan telah mengambil tindakan politik dan sanksi yang ekstensif terhadap Iran dengan dalih ini.
Juru Bicara Gedung Putih Karine Jean-Pierre mengklaim pada Agustus 2022, Presiden Biden telah mengonfirmasi bahwa dia ingin mencegah Iran memperoleh senjata nuklir.
Tuduhan ini telah dibuat sementara Republik Islam Iran telah berulang kali mengumumkan bahwa bukan hanya tidak memiliki rencana untuk membuat senjata nuklir, tetapi bahkan tidak bergerak ke arah itu.
Sebenarnya, tudingan Washington terhadap Tehran dalam konteks upaya memperoleh kemampuan dan teknologi yang mengubah “aturan main”, termasuk teknologi nuklir, berarti ketakutan Amerika atas perluasan dan pengokohan kekuatan nasional Iran dalam berbagai dimensinya.
Bertentangan dengan tuduhan tak berdasar dari Barat mengenai upaya Tehran untuk memperoleh senjata nuklir, Iran telah mampu menggunakan teknologi nuklir damai bagi sebagian besar di berbagai bidang, termasuk produksi listrik, kedokteran, pertanian, dan bidang lainnya.
Terutama mengingat perspektif kebutuhan listrik Iran, maka pembangkit listrik tenaga nuklir sangat dipertimbangkan.
Pejman Shirmardi, Deputi Organisasi Energi Atom Iran (AEOI) mengatakan, Iran telah mencapai swasembada dalam produksi peralatan teknologi nuklir. Prestasi AEOI adalah kartu kemenangan tim negosiasi. Ketakutan terbesar negosiator Barat adalah sains dan pengetahuan sudah membumi di negara ini.

Pentagon: Kasus Bunuh Diri Tentara AS Meroket
Kantor Pencegahan Bunuh Diri Pentagon melaporkan peningkatan jumlah kasus bunuh diri di kalangan militer AS.
Kantor Pencegahan Bunuh Diri Pertahanan Pentagon dalam sebuah laporan hari Minggu (9/7/2023) mengumumkan jumlah kasus bunuh diri di militer AS meningkat 25 persen pada kuartal pertama tahun 2023 dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.
Pada kuartal pertama 2023, sebanyak 94 anggota aktif militer AS melakukan aksi bunuh diri, yang meningkat 25 persen dari 74 pada periode yang sama tahun lalu.
Awal tahun ini, Komite Peninjau Independen Pentagon untuk Pencegahan dan Penanggulangan Bunuh Diri, setelah mempelajari masalah selama satu tahun, membuat beberapa rekomendasi, termasuk membatasi akses tentara ke senjata api, menetapkan masa tunggu untuk pembelian senjata dan amunisi, serta menaikkan usia minimum untuk pembelian senjata dan amunisi hingga 25 tahun.
Dikatakan bahwa stres yang tinggi menjadi faktor terpenting dalam peningkatan bunuh diri di kalangan militer AS.
Setelah kembali dari medan perang, sebagian besar tentara Amerika tidak dapat kembali ke kehidupan normal dan berintegrasi kembali ke dalam masyarakat.
Pada saat yang sama tidak ada pusat psikologis yang memadai untuk membantu tentara negara ini mengatasi masalah bunuh diri mereka.

Jubir Kemlu AS Jadi Bulan-Bulanan Kritik Jurnalis
Matthew Miller, Juru Bicara Departemen Luar Negeri AS menjadi bulan-bulanan kritik jurnalis yang mempertanyakan tentang perang di Ukraina dan pendudukan wilayah Palestina oleh rezim Zionis.
Seorang Jurnalis AS dalam konferensi pers Juru Bicara Kementerian Luar Negeri AS di Washington hari Senin (10/7/2023) mengatakan, "Anda menyebutkan 500 hari perang di Ukraina dan menyebutkannya sebagai titik balik. Tahukah Anda berapa hari telah berlalu sejak pendudukan Palestina?".
Reporter ini menambahkan, "20.475 hari telah berlalu sejak pendudukan Palestina yang brutal dan kejam,".
Ketika itu juru bicara Kementerian Luar Negeri AS menjawab, "Amerika Serikat tidak percaya bahwa kedua masalah ini sama,".
Wartawan itu bertanya lagi, "Apakah Amerika Serikat bersedia mengintervensi dan melindungi Palestina? Apakah Anda percaya bahwa rakyat Palestina dan warga sipil membutuhkan perlindungan?".
Juru bicara Departemen Luar Negeri AS, yang tidak memiliki jawaban yang jelas untuk pertanyaan ini, mengungkapkan, "Kami percaya bahwa orang Palestina dan Israel layak untuk hidup bermartabat dan sejahtera berdampingan.".
Wartawan melanjutkan dengan mengajukan pertanyaan menohok,"Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengatakan bahwa Israel menggunakan terlalu banyak kekerasan di Jenin. Apakah Anda setuju dengan Sekretaris Jenderal PBB?".
Miller menghindari menjawab pertanyaan ini dengan menyatakan bahwa dia tidak bermaksud mengomentari pandangan Sekretaris Jenderal PBB.
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengkritik keras kejahatan rezim pendudukan Zionis terhadap Palestina, dan mengatakan bahwa rezim Zionis jarang dimintai pertanggungjawaban atas serangannya terhadap Palestina, yang meningkatkan tingkat ancaman terhadap Palestina dan properti mereka

AS Kembali Ke UNESCO Tanpa Jaminan Tidak Bakal Keluar Lagi
Amerika secara resmi kembali ke Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) setelah lima tahun.
Audrey Azoulay, Direktur Jenderal UNESCO yang berafiliasi dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa menyatakan dalam konteks ini, Kembalinya Amerika Serikat ke UNESCO selesai dan negara ini sekali lagi menjadi anggota organisasi ini.
Amerika Serikat pada tanggal 30 Juni 2023 diterima kembali sebagai anggota UNESCO dengan suara mayoritas.
Negara-negara anggota UNESCO menyetujui kembalinya Amerika Serikat ke UNESCO dengan 132 suara setuju, 10 menentang dan 15 abstain.
Cina, Rusia, Korea Utara, Iran dan Suriah termasuk di antara penentang bergabungnya kembali Amerika Serikat ke UNESCO dan mencoba menunda pemungutan suara.
Lima tahun setelah penarikan Amerika dari UNESCO selama masa kepresidenan Donald Trump, pemerintahan Presiden AS Joe Biden mengumumkan pada awal Juni, Ingin kembali ke organisasi ini.
“Amerika Serikat telah secara resmi mengajukan permohonan untuk bergabung kembali dengan UNESCO,” kata Dirjen UNESCO Audrey Azoulay pada awal Juni.
UNESCO, yang dibentuk setelah Perang Dunia II dengan tujuan melindungi warisan budaya umat manusia, menghadapi masalah setelah mundurnya Amerika Serikat, yang menyediakan seperlima pendanaannya.
Pejabat AS mengklaim, Keputusan ini karena kekhawatiran bahwa Cina akan mengisi celah AS dalam pembuatan kebijakan UNESCO, khususnya dalam menetapkan standar kecerdasan buatan dan pendidikan teknologi di seluruh dunia.
Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken mengatakan, Saya sangat percaya bahwa kita harus kembali ke UNESCO, bukan untuk memberikan hadiah kepada UNESCO, tetapi karena hal-hal yang terjadi di UNESCO itu penting.
“Mereka sedang mengerjakan aturan, norma, dan standar AI. Kami ingin menjadi bagian darinya,” tambah Menlu Blinken.
Saat mengangkat isu kembalinya Amerika Serikat ke UNESCO, beberapa negara menyuarakan keprihatinan mengingat dua kali penarikan AS dari badan PBB ini, maka tidak ada jaminan bahwa setelah pemilu presiden AS November 2024 dan kemungkinan terpilihnya presiden dari Partai Republik, khususnya Donald Trump, Washington akan sekali lagi mengumumkan pemisahan diri dari UNESCO.
Amerika secara resmi kembali ke Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) setelah lima tahun.
Ronald Reagan, mantan Presiden Amerika Serikat menghapus negara itu dari UNESCO pada tahun 1984 dengan dalih anti-Amerikanisme, tetapi kemudian pada bulan Oktober 2003, Presiden Amerika Serikat George W. Bush, kembali meminta bergabung dengan organisasi ini
Amerika Serikat dan rezim Zionis menghentikan bantuan keuangan kepada UNESCO setelah anggota UNESCO memilih keanggotaan Palestina pada tahun 2011.
Setelah itu, pemerintahan Trump memutuskan pada Oktober 2017 untuk menarik diri dari UNESCO secara keseluruhan mulai 31 Desember 2018.
Tindakan pemerintahan Trump ini sejalan dengan dukungan komprehensif rezim Zionis di satu sisi dan pendekatan umumnya di bidang penarikan diri dari organisasi dan lembaga internasional serta perjanjian bilateral dan multilateral.
Mantan Presiden AS Donald Trump menarik Amerika Serikat dari banyak lembaga dan perjanjian internasional seperti Perjanjian Iklim Paris, Perjanjian Nuklir JCPOA, Trans-Pacific Partnership (TPP) dan Dewan Hak Asasi Manusia PBB, begitu juga dengan Traktat Angkatan Nuklir Jangka Menengah (INF) dan Traktat Langit Terbuka.
Alasan penarikan Amerika dari UNESCO selama kepresidenan Trump adalah ketidaksepakatan tentang masalah Palestina. Meskipun Amerika Serikat tetap di UNESCO sebagai negara pengamat, ia tidak lagi membayar iuran keanggotaan dan tidak berhak memilih dan dipilih dalam Komite Warisan Dunia.
Tentu saja, Amerika Serikat telah lama bermasalah dengan UNESCO karena kebijakan independennya, termasuk di bidang mendukung keanggotaan Palestina di lembaga yang berafiliasi dengan PBB ini.
Bagaimanapun, Washington telah mengajukan alasan dalam hal ini, seperti fakta bahwa AS menginginkan perubahan mendasar di PBB dan lembaga terkait seperti UNESCO serta peninjauan anggaran organisasi internasional ini sekaligus menghadapi peningkatan utang anggotanya.
Namun ini hanya tampilan lahiriahnya, dan alasan sebenarnya penarikan Amerika dari UNESCO adalah ketidakpuasannya yang mendalam terhadap sikap dan tindakan UNESCO dalam mendukung Palestina, termasuk penerimaan keanggotaan Palestina di UNESCO, serta kecaman berulang kali terhadap rezim Zionis atas tindakan anti-Palestina.

Pemerintah AS Alami Peningkatan Defisit Anggaran
Departemen Keuangan Amerika Serikat mengumumkan, selama 9 bulan pertama tahun fiskal saat ini, defisit anggaran pemerintah federal naik tiga kali lipat.
Menurut laporan Russia today, Departemen Keuangan AS mengumumkan, selama 9 bulan dari Oktober 2022 hingga Juni 2023, defisit anggaran pemerintah federal naik 1,4 triliun dolar, dan secara praktis naik 3 kali lipat.
Sementara itu, ketika defisit pemerintah federal AS mencapai 1,4 triliun dolar, untuk masa yang sama sebelumnya defisit hanya sekitar 515 miliar dolar.
Patut dijelaskan bahwa tahun fiskal pemerintah federal Amerika dimulai bulan Oktober setiap tahun.
Data yang dirilis juga menunjukkan, ketika di bulan Juni tahun lalu defisit anggaran pemerintah federal AS naik 88 miliar dolar, angka ini untuk Juni tahun ini mencapai 227 miliar dolar.
Kenaikan tiga kali lipat defisit anggaran pemerintah federal Amerika dipicu oleh kenaikan biaya hidup dari satu sisi, dan dari sisi lain, penurunan pendapatan pemerintah dari sektor pajak.
Anjloknya nilai saham perusahaan dan aset lain di Amerika mendorong pendapatan pemerintah dari sektor pajak sejak Oktober tahun lalu hingga Juni tahun ini bila di banding dengan tahun sebelumnya turun sebesar 11 persen dan turun sebesar 42 miliar dolar mencapai 418 miliar dolar.
Pada saat yang sama, pengeluaran pemerintah negara ini meningkat sebesar 96 miliar dolar dan mencapai 646 miliar dolar.
Disebutkan bahwa inflasi tinggi juga menambah pengeluaran pemerintah Amerika Serikat.

Trend Meningkat, Penentangan Kebijakan Perang Ukraina Joe Biden
Terlepas dari pernyataan Presiden AS Joe Biden baru-baru ini tentang kelanjutan bantuan senjata AS ke Ukraina sejalan dengan kelanjutan Perang Ukraina, di bidang politik dalam negeri AS, penentangan terhadap pendekatan haus perang dari pemerintah Biden telah menjadi tren yang berkembang.
Dalam konteks ini, sikap dan tindakan sedang diambil di Kongres AS untuk menghentikan kebijakan Washington saat ini terhadap Kiev, meskipun upaya ini sejauh ini gagal.
Dalam konteks ini, DPR AS pada Kamis (13/07/2023), menolak “Perubahan RUU Anggaran Pertahanan Nasional”, yang akan melarang pengiriman munisi tandan ke Ukraina jika disetujui.
Menurut hasil yang diumumkan, 276 perwakilan menentang rencana ini dan 147 perwakilan memberikan suara untuk mempertahankan persetujuannya.
Sebelumnya, DPR AS menolak perubahan yang diajukan oleh sejumlah anggota parlemen terhadap RUU Pertahanan Nasional untuk tahun fiskal 2024, yang menurutnya bantuan militer AS ke Ukraina akan dikurangi atau dihentikan sama sekali.
Meski rencana tersebut ditolak karena ditentang oleh mayoritas anggota Kongres, hal ini menunjukkan menguatnya dan meluasnya penentangan terhadap kebijakan pemerintahan Biden terhadap Perang Ukraina.
Sebenarnya, pendekatan pemerintahan Biden didasarkan pada upaya yang disengaja untuk melanjutkan perang berdarah di Ukraina. Hal yang tidak dapat disembunyikan dari pandangan para ahli dan politisi Amerika, dan bahkan sesama Demokrat di Kongres.
Mengacu pada pengiriman munisi tandan ke Ukraina, Senator Demokrat AS Ben Cardin dan salah satu pendukung utama Biden mengatakan, Menurut saya ini bukan senjata yang harus digunakan hari ini. Saya memiliki keprihatinan serius tentang apa yang dilakukan presiden.
Tentu saja, penentangan terhadap kebijakan pemerintahan Biden terhadap Ukraina juga semakin meningkat di kalangan perwakilan Republik. Selain itu, sekitar 70 perwakilan Republik mendukung rencana untuk menentang pengiriman munisi tandan ke Ukraina.
“Ukraina bukan anggota NATO atau negara bagian ke-51 Amerika Serikat,” kata Marjorie Taylor Greene, perwakilan Partai Republik Amerika Serikat, mengkritik kebijakan pemerintahan Demokrat Joe Biden terhadap Ukraina.
Terlepas dari pernyataan Presiden AS Joe Biden baru-baru ini tentang kelanjutan bantuan senjata AS ke Ukraina sejalan dengan kelanjutan Perang Ukraina, di bidang politik dalam negeri AS, penentangan terhadap pendekatan haus perang dari pemerintah Biden telah menjadi tren yang berkembang.
Anggota parlemen Amerika ini menekankan, Amerika tidak boleh memasuki perang proksi dengan Rusia di Ukraina.
“Negara ini membutuhkan perdamaian, bukan perang,” kata Taylor Greene mengkritik pengiriman senjata ke Ukraina.
Dari sudut pandang pemerintahan Biden, kemenangan Rusia dalam perang Ukraina, bahkan di sekitar NATO, akan berarti mendiskreditkan organisasi militer ini dan perluasan lebih lanjut pengaruh dan kekuatan regional dan internasional Rusia, serta akan mengubah keamanan, perimbangan militer dan politik di Eropa yang merugikan Barat.
Presiden AS Joe Biden dan pejabat tinggi militer dan keamanan pemerintahannya juga percaya bahwa Perang Ukraina telah memberikan kesempatan yang unik dan tidak dapat diulangi untuk menentang Rusia sebanyak mungkin dan melemahkannya, yang pada akhirnya mencegah pembentukan penuh sistem multipolar.
Oleh karena itu, mereka bertekad untuk mencegah Rusia memenangkan perang di Ukraina dengan cara apapun.
Dalam hal ini, kandidat presiden AS Robert Kennedy Jr., menanggapi keputusan baru Joe Biden untuk memanggil pasukan cadangan negara dan mengirim mereka untuk memperkuat NATO di Eropa, dan menekankan bahwa tujuan dari tindakan ini adalah untuk mempersiapkan perang dengan Rusia.
Kennedy menulis dalam sebuah pesan di Twitter, Biden baru-baru ini memanggil 3.000 pasukan cadangan untuk menambah pasukan AS di Eropa sebagai bagian dari Operasi Atlantic Resolve. Saya ingin orang tahu untuk apa mobilisasi militer ini. Persiapan ini untuk perang darat dengan Rusia.
Poin penting yang ditekankan Rusia adalah tujuan akhir AS untuk memberikan bantuan militer dan senjata besar-besaran ke Ukraina. Dari sudut pandang Moskow, tujuan Amerika melanjutkan Perang Ukraina adalah untuk melemahkan Rusia sebanyak mungkin dengan tujuan akhir disintegrasi.
Ini yang diinginkan AS sejak era Soviet. Dengan demikian, Perang Ukraina yang kini memasuki bulan keenam belas diperkirakan telah menimbulkan korban jiwa yang sangat besar dan kerusakan militer yang luas, serta kehancuran infrastruktur Ukraina, bukan hanya tidak akan berakhir, tetapi akan terus berlanjut dengan intensitas lebih dalam beberapa bulan mendatang.
Apalagi, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky merasa dia akan menerima dukungan ekstensif AS dan negara-negara barat lainnya, yang diumumkan selama pertemuan para pemimpin NATO baru-baru ini di Lituania.

Warga AS Gelar Demo Kecam Kejahatan Israel di Jenin
Ratusan warga Amerika Serikat dalam aksi protes di sejumlah kota negara ini mengecam agresi rezim Zionis Israel di Jenin.
Militer rezim Zionis Senin (3/7/2023) dini hari melancarkan serangan besar-besaran dari darat dan udara ke kota dan Kamp Jenin, di Tepi Barat yang menggugurkan 13 warga Palestina dan melukai 117 orang lainnya.
Seperti dilaporkan IRIB, ratusan warga Amerika menggelar pawai seraya mengecam agresi Zionis terhadap bangsa Palestina, khususnya kejahatan pekan lalu rezim ini ke Jenin, meminta komunitas internasional mengakhiri kejahatan Zionis terhadap rakyat Palestina.
Aksi demo dan konsentrasi ini digelar di depan markas besar PBB di kota New York, Patterson, New Jersey, Chicago dan Illinois untuk menyatakan solidaritas dengan rakyat Palestina.
Serangan brutal rezim Zionis ke Jenin sampai saat ini menuai respon keras internasional.
Penjajah Zionis akhirnya terpaksa mundur dari Jenin setelah mendapat perlawanan sengit dari pejuang muqawama Palestina

Mengapa AS Setuju untuk Mengirimkan Bom Cluster ke Ukraina?
Presiden AS Joe Biden setuju untuk mengirim munisi tandan atau bom cluster ke Ukraina untuk digunakan melawan pasukan Rusia.
Dalam sebuah wawancara dengan CNN pada hari Jumat (07/07/2023), Biden mengatakan bahwa mengirim munisi tandan ke Ukraina adalah "keputusan sulit" tetapi Kiev membutuhkan bom tersebut.
Colin Kahl, Deputi Politik Pentagon, saat mengonfirmasi pengiriman munisi tandan ke Ukraina, menolak menyebutkan jumlah pasti dari munisi ini.
Tindakan Amerika Serikat ini telah ditentang oleh PBB. Farhan Haq, Juru Bicara Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), mengumumkan bahwa Sekretaris Jenderal PBB menentang penggunaan munisi tandan di medan perang.
Tampaknya Amerika Serikat, yang ingin mengakhiri perang di Ukraina dengan kekalahan Rusia dengan biaya berapa pun, berencana untuk melengkapi Ukraina dengan segala jenis senjata, bahkan yang sebelumnya dianggap sebagai garis merah, untuk mencapai tujuan ini.
Berharap untuk memenangkan perang di Ukraina, Washington secara bertahap meninggalkan semua larangan dengan dalih yang berbeda. Selain itu, Washington sangat menyadari kegagalan serangan balik besar-besaran Ukraina, dan sekarang mencoba memberikan kekuatan dan perlindungan tembakan yang luas kepada tentara Ukraina dengan mengirimkan munisi tandan.
Faktanya, salah satu alasan mengapa Amerika memutuskan untuk setuju mengirim munisi tandan ke Ukraina adalah karena kondisi di medan perang sama sekali tidak menguntungkan Ukraina.
Televisi Sky News menulis dalam sebuah analisis bahwa serangan (luas) ke Ukraina tidak terjadi pada musim semi, dan tanda-tandanya menunjukkan bahwa serangan balik Ukraina belum berhasil bahkan sampai sekarang. Negara secara praktis telah mengkonfirmasi analisis ini dalam pernyataannya baru-baru ini.
"Itu adalah keputusan yang sangat sulit bagi saya. Meskipun demikian, saya berkonsultasi dengan sekutu kami. Saya berkonsultasi dengan teman-teman kami di Kongres. Ukraina kehabisan amunisi," ungkap Biden.
Sebenarnya, untuk membenarkan keputusan mereka mengirim munisi tandan ke Ukraina, para pejabat Amerika telah menggunakan pembenaran yang serupa dengan yang digunakan ketika bom atom digunakan melawan Hiroshima dan Nagasaki.
Mereka mengatakan bahwa benar pengiriman munisi tandan meningkatkan risiko korban sipil, tetapi lebih banyak nyawa sipil yang berisiko jika Rusia diizinkan menduduki wilayah Ukraina.
Hal yang menarik adalah argumen aneh Penasihat Keamanan Nasional Amerika Jake Sullivan tentang pengiriman munisi tandan ke Ukraina. Sullivan mengklaim bahwa Ukraina telah menyatakan komitmennya untuk menggunakan bom cluster hanya untuk pertahanan diri dan tidak menggunakannya di wilayah sipil.
Presiden AS Joe Biden setuju untuk mengirim munisi tandan atau bom cluster ke Ukraina untuk digunakan melawan pasukan Rusia.
Pada saat yang sama, dia mengklaim bahwa, tanpa ragu, kami memantau komitmen Ukraina untuk tidak menggunakan bom curah terhadap warga sipil. Padahal saat ini, Ukraina telah menggunakan senjata yang disumbangkan oleh Barat, terutama rudal jelajah jarak jauh, untuk menyerang sasaran di dalam Rusia.
Masalah penting tentang munisi tandan adalah konsekuensi dari penggunaannya.
Munisi tandan antara lain adalah bom yang berisi sejumlah besar munisi mini (bom kecil) yang setelah bom diluncurkan dan bom utama meledak pada ketinggian yang sesuai, munisi mini dipisahkan dan tergantung ketinggiannya dari fragmentasi bom utama, akan menyebar di area yang luas.
Meskipun senjata ini kebanyakan disebut bom cluster, yang jelas merupakan senjata yang diluncurkan dari udara, saat ini ada juga hulu ledak cluster untuk rudal atau amunisi artileri.
Jumlah amunisi mikro ini serta kekuatan dan misi penghancurnya berbeda tergantung pada bom atau senjata yang melemparkannya.
Para ahli mengatakan bahwa penggunaan munisi tandan menyebabkan korban sipil. Selain itu, beberapa amunisi kecil tidak meledak dan dapat membahayakan nyawa warga sipil hingga lama kemudian.
Penentang penggunaan bom cluster menganggap penggunaannya tidak etis karena beberapa bom yang lebih kecil tidak berfungsi dan bertindak seperti ranjau darat. Selama perang 33 hari pada tahun 2006, rezim Zionis menjatuhkan sekitar empat juta bom curah di Lebanon, yang telah menewaskan puluhan orang dan melukai ratusan lainnya.
Karena konsekuensi penggunaan munisi tandan, 108 negara telah melarang penggunaannya.
Sejalan dengan pelarangan munisi tandan, Konvensi Munisi Tandan atau Convention on Cluster Munitions (CCM) telah dikembangkan, yang merupakan perjanjian internasional yang melarang penggunaan, pengiriman, produksi, dan penimbunan munisi ini.
Perjanjian ini diratifikasi di Dublin pada 30 Mei 2008 dan mulai berlaku pada Agustus 2010. Amerika, Rusia, dan Ukraina adalah beberapa negara yang belum menandatangani perjanjian ini.
“Penggunaan munisi tandan harus segera dihentikan dan tidak boleh digunakan di mana pun,” kata Marta Hurtado, Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia.