Mengapa Kehadiran Militer AS Semakin Meningkat di di Irak dan Suriah?
Setelah menduduki Irak pada tahun 2003, Amerika Serikat kemudian menempatkan militernya di negara ini. Sementara dalam kasus Suriah, Amerika menempatkan pasukannya di Suriah sejak tahun 2014 dengan dalih memerangi kelompok teroris Takfiri Daesh (ISIS) dalam kerangka koalisi internasional melawan ISIS.
Meskipun ada permintaan berulang kali dari pemerintah Irak dan Suriah, bukti menunjukkan bahwa Washington sedang berusaha meningkatkan kehadiran militernya di kedua negara tersebut, terutama setelah perang Gaza dan perkembangan keamanan di Laut Merah.
Di tengah serangan terhadap pangkalan Amerika di Irak dan Suriah, Washington mengumumkan pada hari Senin bahwa mereka berencana mengirim 1.500 tentara baru dari Garda Nasional New Jersey ke Irak dan Suriah untuk melawan kelompok teroris ISIS.
Para prajurit ini rencananya harus pergi ke pangkalan Fort Bliss di Texas untuk pelatihan sebelum dikirim ke Asia Barat.
Klaim Amerika mengenai pengiriman pasukan baru ke Irak dan Suriah untuk menghadapi apa yang disebut Daesh muncul pada saat Washington memainkan peran langsung dalam memperkuat dan memperluas kelompok teroris ini pada masa pemerintahan mantan Presiden AS Barack Obama.
Jumlah pasukan yang akan dikirim ke kedua negara ini belum pernah terjadi sebelumnya sejak tahun 2008.
Pengerahan ini terjadi ketika pangkalan AS di Irak dan Suriah telah diserang setidaknya 130 kali sejak perang Gaza dimulai pada 7 Oktober.
Tindakan Washington dalam mengirim pasukan militer baru ke Irak dan Suriah telah diumumkan sementara pemerintah kedua negara tersebut berulang kali menuntut penarikan pasukan Amerika dari negaranya.
Terkait Irak, dalam posisi terkini di bidang ini, Perdana Menteri Irak, Mohammad Al-Sudani, pekan lalu menuntut penarikan segera pasukan Amerika dari negaranya.
Setelah teror brutal terhadap Sardar Syahid Soleimani, mantan komandan Pasukan Quds Korps Garda Revolusi Islam Iran, dan Abu Mahdi Al-Muhandis, wakil Pasukan Mobilisasi Populer Irak, dan rekan-rekan mereka di bandara Baghdad pada 3 Januari 2020, parlemen Irak memberikan suara pada 5 Januari dan mengesahkan penarikan pasukan koalisi anti-ISIS, termasuk pasukan Amerika, dari Irak.
Namun, Amerika Serikat, secara ilegal bersikeras tetap mempertahankan kehadiran militernya di Irak.
Terakhir, karena tekanan politik di Irak, Presiden AS Joe Biden dan Perdana Menteri Irak Mustafa al-Kadhimi, dalam perjanjian yang mereka tandatangani pada pertengahan musim panas 2021, berkomitmen untuk mengakhiri misi tempur pasukan pimpinan AS di Irak sebelum akhir tahun 2021.
Setelah menduduki Irak pada tahun 2003, Amerika Serikat kemudian menempatkan militernya di negara ini. Sementara dalam kasus Suriah, Amerika menempatkan pasukannya di Suriah sejak tahun 2014 dengan dalih memerangi kelompok teroris Takfiri Daesh (ISIS) dalam kerangka koalisi internasional melawan ISIS.
Pada tahun terakhir masa kepresidenan Donald Trump pada 2020, Amerika Serikat mengurangi jumlah tentara yang ditempatkan di Irak menjadi 2.500 orang. Misi pasukan Amerika di Irak telah berakhir pada 31 Desember 2021.
Namun, Amerika tetap menempatkan pasukan militer di negara ini dengan nama lain dan memiliki beberapa pangkalan militer seperti pangkalan Ain Al-Asad di provinsi Anbar dan pangkalan Harir di provinsi Erbil.
Meskipun ada persetujuan dari Parlemen Irak, yang menuntut penarikan pasukan Amerika dari negaranya, Washington masih mempertahankan kehadiran militer di Irak dengan dalih melakukan tugas konsultasi dan pelatihan.
Kenyataan ini mendapat reaksi tajam dari masyarakat Irak dan respons keras mereka, seperti berbagai serangan pesawat tak berawak dan rudal ke berbagai pangkalan Amerika di Irak dan Suriah dalam beberapa minggu terakhir.
Terkait Suriah, pemerintahan Obama memulai operasi udara dan darat di Suriah pada tahun 2014 dengan dalih memerangi kelompok teroris ISIS, yang ternyata merupakan pendiri dan pendukung utamanya, serta mengerahkan pasukan Amerika di negara tersebut.
Kemudian, mantan Presiden AS Donald Trump, sembari mempertahankan kehadiran militer AS secara ilegal di Suriah dengan dalih memerangi ISIS, justru menduduki sebagian wilayah Suriah dan menjarah minyak negara tersebut.
Pasukan Amerika telah hadir di wilayah timur Suriah, tempat sumur dan fasilitas minyak dan gas negara ini berada, dan mereka telah menyandera minyak Suriah kemudian membawanya keluar melalui wilayah Turki.
Bahkan saat ini, pemerintahan Biden terus melanjutkan kehadiran militernya di negara yang dilanda perang ini untuk mendukung kelompok teroris, mengabaikan prinsip internasional seperti hak atas kedaulatan dan integritas wilayah Suriah, dan tanpa izin dari Dewan Keamanan PBB.
Sebenarnya, Biden mengikuti kebijakan tirani yang sama seperti Trump terhadap Poros Perlawanan dan Suriah.(sl)