Hingga Kini AS telah Menyanksi Sepertiga Planet Bumi
(last modified Sat, 27 Jul 2024 14:07:04 GMT )
Jul 27, 2024 21:07 Asia/Jakarta
  • Hingga Kini AS telah Menyanksi Sepertiga Planet Bumi

Parstoday – Amerika Serikat, dalam kerangka tujuan hegemoninya, di antara negara dunia lain adalah yang paling banyak menjatuhkan beraneka ragam sanksi sepihak terhadap negara lainnya.

Surat kabar Washington Post, baru-baru ini dalam laporannya mengakui penggunaan sanksi sebagai senjata oleh AS dan menulis, "Washington, secara sewenang-wenang menjatuhkan sanksi terhadap rival dan musuh-musuhnya, dan sampai sekarang sepertiga dari total negara dunia menjadi target sanksi Washington."
 
Berdasarkan data yang dipublikasikan, Rusia, merupakan negara yang menjadi target sanksi AS, paling besar di seluruh dunia. Dalam rentang waktu Februari 2022 hingga Januari 2024, lebih dari 16.000 individu, 9.000 perusahaan, dan lebih dari 3.200 institusi yang terkait dengan Rusia, menjadi target sanksi AS.
 
Selain itu, Iran, Venezuela, dan Kuba, termasuk negara lain selain Rusia, yang selama beberapa waktu berada di bawah sanksi menindas Amerika Serikat.
 
 
Rekam Jejak Sanksi dan Dampaknya yang Kontraproduktif
 
Pada kenyataannya AS, sejak beberapa dekade telah menggunakan sanksi sebagai senjata ekonomi dan politik terhadap negara lain yang menolak patuh pada kebijakan-kebijakannya.
 
Washington Post menulis, "Pemerintahan AS, secara berturut-turut sejak dekade 1990-an telah mengubah perang ekonomi, dan penerapan hukuman ekonomi menjadi senjata utama kebijakan luar negerinya."
 
Kebijakan sanksi yang menjadi perhatian pemerintah AS, bagi banyak negara tidak efektif. Alih-alih menjamin kepentingan AS, kebijakan itu justru menyebabkan perubahan kebijakan dan mendorong negara-negara itu ke arah kebijakan lain seperti multilateralisme serta peningkatan kerja sama regional dalam bentuk aliansi atau organisasi-organisasi regional.
 
Surat kabar Washington Post, mengakui bahwa sebagian besar sanksi AS, bukan saja tidak efektif, bahkan telah memberikan dampak yang kontraproduktif.
 
 
Instrumen Bernama Dolar dalam Sanksi-Sanksi
 
Amerika Serikat menggunakan dolar, sebagai instrumen sebagai mata uang yang paling banyak digunakan di dunia, untuk menekan negara-negara lain.
 
Washington berulangkali memanfaatkan ketergantungan perusahaan, bank, dan sistem keuangan internasional terhadap dolar sebagai senjata untuk memaksa negara lain supaya menuruti kehendaknya atau melarang mereka menerapkan kebijakan-kebijakan yang tidak diinginkan AS.
 
Secara khusus dalam beberapa tahun terakhir masalah ini telah memicu reaksi negara-negara penentang, dan bahkan sekutu-sekutu AS sendiri di Eropa, sehingga menyebabkan terbentuknya konsensus internasional terkait pentingnya mencegah berlanjutnya pemanfaatn AS atas dolar untuk memberikan tekanan ekonomi, perdagangan, dan finansial terhadap negara lain khususnya negara-negara penentang atau rival Washington.
 
Washington Post menjelaskan, "Sanksi-sanksi yang diterapkan terhadap Korea Utara sejak beberapa dekade lalu tidak mampu mencegah Pyongyang memajukan program senjatanya, atau melumpuhkan kemampuan rudal-rudal balistik antar-benua negara ini."
 
Begitu juga sanksi AS, terhadap Nikaragua dan Kuba, tidak memberikan dampak apa pun terhadap negara-negara musuh AS ini atau melemahkan negara-negara pimpinan Daniel Ortega dan Miguel Díaz-Canel itu serta mengurangi dukungan rakyat atas mereka.
 
Terkait Iran, beberapa waktu lalu, Janet Yellen, Menteri Keuangan AS mengakui, sanksi-sanksi tidak menciptakan perubahan kebijakan dan perilaku Iran, sebagaimana diharapkan oleh AS.
 
Menurut keterangan Departemen Keuangan AS, seluruh negara yang dengan cara tertentu menjadi target sanksi AS, sedikitnya mendominasi lebih dari seperlima Produk Domestik Bruto, PDB, dunia, dan 80 persen dari jumlah itu didominasi Cina, dengan demikian kebijakan sanksi AS, dari hari ke hari semakin tidak efektif.
 
 
Bersikeras Melanjutkan Kebijakan Sanksi
 
Meskipun kebijakan-kebijakan sanksi AS gagal, namun Washington, terus menggunakannya sebagai alat untuk menekan berbagai negara terutama negara-negara penentang dan yang tidak sejalan dengan kebijakan-kebijakan permusuhan AS.
 
Sementara kebijakan-kebijakan ini bukan saja telah menurunkan kekuatan AS di arena internasional, dan telah menumbuhkan independensi di banyak negara yang disanksi oleh AS, bahkan telah membuka kesempatan perdagangan yang tidak melibatkan AS di level global.
 
Menurut analisa Washington Post, sejumlah banyak para pelobi dan pejabat lama AS, mengambil untung dari ribuan sanksi yang dijatuhkan Washington, terhadap rival dan musuh-musuhnya.
 
Perilaku unilateralisme dan lari dari multilateralisme serta hukum-hukum internasional oleh negara-negara yang menentang AS, berpengaruh pada keamanan, stabilitas dunia, dan atmosfir internasional, tapi sekarang sejumlah negara, meski disanksi AS, bertindak mandiri, dan ini hanya melemahkan AS di arena internasional.
 
Agatha Demarais, anggota Dewan Hubungan Luar Negeri Eropa (ECFR) di bukunya menulis, "Dalam beberapa tahun terakhir kita menyaksikan sanksi telah berubah menjadi instrumen diplomatik yang disukai oleh para politisi Amerika. Tapi sanksi adalah instrumen yang tidak efektif, dan terlalu bersandar pada kebijakan-kebijakan sanksi hanya akan menjatuhkan efektivitas dan urgensitasnya di arena internasional." (HS)