Tujuan Eropa Terima Imigran, Buruh Murah dan Perbudakan Baru
Jul 31, 2024 21:31 Asia/Jakarta
Parstoday – Pemanfaatan tenaga kerja murah, dan pembayaran upah rendah untuk para buruh migran di Eropa, hanyalah salah satu contoh penyalahgunaan para imigran di benua itu.
Sebagian besar imigran yang berharap mendapatkan pekerjaan lebih baik, meninggalkan tanah air mereka dan menuju Eropa, khawatir jika fakta tentang upah rendah yang mereka terima terungkap, terancam diusir sebelum habis masa berlaku visa.
Sehubungan dengan ini, PBB mengumumkan, "Lebih dari setengah kerja paksa terjadi di negara-negara dengan pendapatan menengah atau tinggi, dan para buruh migran tiga kali lipat lebih berisiko mengalami kecelakaan kerja."
Menurut keterangan Center for Social Justice, dan Justice and Care, di Inggris, perang, sanksi dan beraneka ragam tekanan atas masyarakat di berbagai lokasi dunia, mengarah pada aktivitas jaringan-jaringan perbudakan baru.
Jaringan-jaringan ini meraup keuntungan miliaran dolar dengan mempekerjakan paksa korban-korban mereka di lahan-lahan pertanian dan pekerjaan-pekerjaan berbahaya dengan upah sangat rendah, terutama di Eropa dan Amerika.
Baca juga:
Di antara negara-negara Eropa, itu adalah Jerman, yang tingkat eksploitasi buruh migran sudah sangat berakar di seantero negara ini.
Jerman, telah menciptakan kontroversi di bidang hak asasi manusia dengan melaksanakan uji coba program kerja paksa dan upah rendah bagi para imigran dan pencari suaka.
Pada saat yang sama, Jerman, menyebut program uji coba tersebut sebagai mesin terintegrasi dan penggabungan antara imigran dan para pencari suaka.
Sejumlah pihak di Jerman, mengkritik kebijakan ini dan mengatakan Berlin, memanfaatkan lapisan masyarakat rentan tersebut sebagai buruh untuk mengatasi protes kelompok sayap kanan ekstrem terkait masuknya imigran dan pencari suaka ke negara itu, dan langkanya tenaga kerja.
Di Thuringia, timur Jerman, para imigran dan pencari suaka menerima upah yang sangat rendah setara dengan sepertiga upah pekerjaan-pekerjaan biasa seperti memangka pohon atau membersihkan gedung olahraga.
Kondisi para buruh migran di Inggris, juga tidak lebih baik, sehubungan dengan ini, surat kabar The Guardian, mengutip hasil penelitian sejumlah universitas terkemuka di negara ini.
Guardian menulis, "Setelah BREXIT, yaitu keluarnya Inggris, dari Uni Eropa, negara ini mengalami kekurangan tenaga kerja. Untuk mengatasi masalah ini, London, menerbitkan visa kerja bagi para imigran jauh lebih mudah dibandingkan sebelumnya. Akan tetapi hal ini berujung dengan hilangnya aturan kerja dan pengawasan instansi-instansi eksekutif atas kondisi kerja para imigran, dan masalah ini meningkatkan risiko terciptanya 'perbudakan baru' bagi para buruh migran."
Kondisi kerja para migran di Prancis, punya cerita lain terkait diskriminasi ras yang menimpa mereka. Euronews melaporkan, kajian yang dilakukan oleh Institut Nasional Statistik dan Studi Ekonomi (INSEE) dengan tema "Imigran dan Cucu-Cucu Imigran di Prancis" menunjukkan bahwa para imigran yang bekerja kebanyakan punya kontrak kerja yang terbatas, dan sebagian besar pekerjaan mereka memiliki tunjangan lebih kecil, upah lebih rendah, dan kondisi kerja yang lebih sulit.
Berdasarkan penelitian INSEE, beberapa kelompok terutama mereka yang merupakan keturunan Maroko dan putra-putra imigran dari selatan Gurun Afrika, mendapatkan upah yang lebih kecil dan angka pengangguran yang lebih tinggi daripada komunitas kakek-kakek migran mereka di Prancis. (HS)