Kreativitas Masyarakat Tertindas yang Tumbuh dari Ruang Sunyi
https://parstoday.ir/id/news/world-i180170-kreativitas_masyarakat_tertindas_yang_tumbuh_dari_ruang_sunyi
“Dari jerami yang terbakar dan bonggol jagung yang terbuang, rakyat menulis ulang makna kemajuan. Di tengah kemiskinan, mereka mencipta bukan sekadar alat, tetapi martabat.”
(last modified 2025-11-12T08:57:53+00:00 )
Nov 12, 2025 13:28 Asia/Jakarta
  • Kreativitas Masyarakat Tertindas yang Tumbuh dari Ruang Sunyi

“Dari jerami yang terbakar dan bonggol jagung yang terbuang, rakyat menulis ulang makna kemajuan. Di tengah kemiskinan, mereka mencipta bukan sekadar alat, tetapi martabat.”

Oleh: Khusnul Yaqin, Guru Besar Ekotoksikologi Perairan, Universitas Hasanuddin

Di antara gemuruh pembangunan dan jargon kemajuan nasional, selalu ada wilayah sunyi tempat kreativitas rakyat kecil tumbuh diam-diam. Mereka tidak tampil di layar televisi, tidak hadir di ruang rapat kementerian, dan tak punya modal besar. Namun dari ruang sederhana itulah muncul kecerdasan yang paling jujur: kecerdasan yang lahir dari pergulatan hidup, bukan dari seminar, tetapi dari dapur, ladang, dan bengkel bambu.

Masyarakat yang disebut “pinggiran” itu justru menunjukkan bahwa kreativitas tidak lahir dari kemewahan, tetapi dari keterdesakan. Mereka mencipta bukan untuk mengejar penghargaan, melainkan untuk bertahan hidup. Inilah bentuk paling murni dari inovasi, ketika kebutuhan bertemu imajinasi.

Kecerdasan yang Tumbuh dari Kekurangan

Di banyak pelosok Nusantara, kita menemukan kisah-kisah kecil yang luar biasa. Petani di Sumatera Barat mengubah jerami menjadi bioetanol dan parfum; masyarakat di Jawa menciptakan briket biomassa dari bonggol jagung dan jerami dengan tambahan minyak sereh agar lebih ramah lingkungan. Di tempat lain, muncul bahan bakar nabati hasil riset mandiri yang disebut Bobibos, buah kerja keras lebih dari satu dekade tanpa bantuan lembaga riset resmi.

Inovasi-inovasi ini lahir bukan dari laboratorium berpendingin udara, melainkan dari tanah dan keringat rakyat. Mereka tidak menunggu proyek, tidak menunggu investor; mereka hanya menunggu kesempatan untuk diakui. Namun, sayangnya, pengakuan itu jarang datang.

Ketika Kreativitas Menjadi Ancaman bagi Struktur Kuasa

Sistem yang besar — pemerintah, lembaga riset, universitas — sering kali justru meminggirkan kreativitas rakyat. Inovasi yang tumbuh dari bawah dianggap remeh, tidak ilmiah, bahkan aneh. Padahal penolakan semacam itu seringkali menyembunyikan rasa takut: takut pada rakyat yang mulai berpikir sendiri.

Rakyat yang mampu mencipta adalah rakyat yang tak sepenuhnya bisa dikendalikan. Mereka sadar bahwa kecerdasan tidak dimonopoli oleh gelar dan laboratorium, bahwa mereka juga memiliki hak untuk menafsirkan ilmu dan teknologi sesuai kebutuhan hidupnya.

Dalam pandangan kekuasaan, kesadaran seperti ini berbahaya. Karena rakyat yang sadar adalah rakyat yang sulit dibodohi. Maka, sistem modern kadang melanjutkan pola lama kolonialisme: menanamkan rasa rendah diri agar bangsa ini percaya bahwa kecerdasan hanya datang dari luar, dari Barat, dari kampus, dari yang “beradab”.

Warisan Kolonial yang Masih Hidup

Selama ratusan tahun, bangsa ini dicap “terbelakang” agar tunduk secara budaya. Kolonialisme menanamkan gagasan bahwa masyarakat Nusantara tidak memiliki sistem pengetahuan sendiri. Padahal leluhur kita memiliki peradaban spiritual dan rasional yang tinggi.Agama Kapitayan, misalnya, adalah sistem monoteistik dengan refleksi filosofis yang dalam, jauh sebelum agama-agama samawi masuk. Tetapi penjajah menyebutnya “animisme” agar masyarakat kehilangan harga diri intelektualnya.

Dampaknya masih terasa hingga kini. Banyak orang Nusantara masih ragu pada kecerdasan lokalnya sendiri, merasa baru “sah” ketika diakui dunia luar. Padahal bangsa yang tidak percaya pada pikirannya sendiri akan terus menjadi konsumen pengetahuan orang lain.

Ilmu yang Jauh dari Masyarakat

Orientasi pendidikan tinggi pun sering tersesat dalam ambisi global. Ranking, publikasi, dan kompetisi internasional menjadi tujuan utama, sementara kolaborasi dengan masyarakat lokal kian terpinggirkan.Ilmuwan sibuk memburu indeks sitasi, sementara petani di desa menciptakan solusi nyata untuk energi, pupuk, dan pangan.

Ketika ilmu dipisahkan dari realitas rakyat, maka riset kehilangan makna sosialnya. Ilmu bukan lagi alat pembebasan, melainkan ornamen birokrasi yang dingin.

Mengembalikan Rakyat sebagai Pemilik Pengetahuan

Sudah saatnya kita menulis ulang paradigma. Rakyat bukan sekadar objek pembangunan, tetapi subjek pengetahuan. Negara yang adil bukan yang membangun gedung tinggi, tetapi yang memberi ruang bagi kecerdasan rakyat untuk tumbuh.

Sistem riset harus membuka jalan bagi kemitraan sejajar: universitas belajar dari rakyat, bukan hanya meneliti mereka. Pemerintah harus melindungi hasil inovasi rakyat dengan dukungan hukum, akses permodalan, serta pelatihan agar penemuan lokal dapat berkembang tanpa kehilangan kendali pada korporasi besar.

Dan yang paling penting: pendidikan harus menanamkan kepercayaan diri epistemik bahwa berpikir, mencipta, dan berinovasi adalah hak semua manusia, bukan monopoli gelar akademik.

Kreativitas sebagai Perlawanan Epistemik

Ketika rakyat mencipta dari sisa-sisa limbah, mereka sesungguhnya sedang melawan sistem yang membuang mereka. Setiap jerami yang diubah menjadi energi adalah simbol perlawanan terhadap struktur ekonomi yang eksploitatif.Setiap alat sederhana yang diciptakan tanpa izin negara adalah deklarasi kecil tentang kedaulatan pengetahuan.

Kreativitas rakyat bukan hanya tindakan ekonomi, tapi juga tindakan politik, terutama politik keberdayaan. Ia menegaskan bahwa manusia tertindas pun punya kemampuan untuk menafsirkan dunia dengan caranya sendiri.

Kreativitas rakyat adalah bentuk tertinggi dari perlawanan yang damai, perlawanan yang lahir dari kecerdasan, bukan kemarahan.

Penutup: Membangun dari Pinggiran

Apabila negara terus mengabaikan potensi rakyat, maka kemajuan yang dibanggakan hanyalah fatamorgana statistik. Namun jika rakyat diberi ruang untuk berinovasi tanpa hambatan birokrasi dan stigma, maka bangsa ini akan menemukan kekuatannya kembali, bukan dari meniru, tetapi dari menemukan dirinya sendiri.

Rakyat yang bisa mengubah jerami menjadi energi, yang mengolah limbah menjadi nilai, yang berpikir di tengah tekanan hidup. Itulah wajah sejati Indonesia. Negara yang menghargai rakyat seperti ini bukan hanya membangun ekonomi, tetapi sedang membangun martabat peradaban.(PH)