Senjata Nuklir, Strategi Korut Melawan Ancaman AS
Pemerintah Amerika Serikat selama beberapa bulan dan minggu terakhir ini meningkatkan tekanan politik dan ekonomi terhadap Cina. Dalam langkah terbaru, Presiden AS Donald Trump memerintahkan untuk menangguhkan perundingan perdagangan dengan Cina dan memerintahkan dimulainya manuver militer dengan Korea Selatan dengan nama "Latihan Musim Panas" di Semenanjung Korea.
Setelah sempat tertunda akibat pandemi COVID-19, AS dan Korsel kembali menggelar manuver militer pada Selasa, 18 Agustus 2020. Latihan itu digelar disaat ketegangan antara Korsel dan Korea Utara menajam setelah Pyongyang menghancurkan kantor penghubung antar-Korea di perbatasan pada Juni dan mengancam tindakan militer.
Menurut Kepala Staf Gabungan AS, latihan militer itu akan berlangsung hingga 28 Agustus 2020 dan fokus pada pemeliharaan postur pertahanan gabungan antara kedua negara.
Korut sebelumnya mengaku geram dengan latihan militer bersama itu dan menilai akan terus memicu "permusuhan" dalam relasi Washington-Pyongyang. Korut merasa telah dikhianati karena AS tetap menerapkan kebijakan bermusuhan dengan menggelar latihan rutin bersama dengan Korsel.
Menurut media Korsel, AS menerbangkan empat pembom dan beberapa jet tempur di atas Semenanjung Korea untuk mendukung Jepang dan Korsel dari kemungkinan ancaman Korut. Petualangan AS tidak terbatas pada hal ini, dan seiring dengan pergerakan tersebut, Pentagon bermaksud untuk mengerahkan rudal jarak pendeknya di Asia Timur.
Utusan khusus Presiden AS untuk Pengendalian Senjata Marshall Billingsley mengatakan, AS ingin bernegosiasi dengan sekutu-sekutunya di Asia mengenai ancaman nuklir Cina, dan ini adalah ancaman serius bukan hanya bagi AS tetapi juga bagi mereka.
Berdasarkan pandangan AS dan sekutunya di Asia Timur, pengembangan senjata nuklir Korut dan pertumbuhan militer Cina menjadi salah satu perhatian untuk meningkatkan kekuatan militer mereka di kawasan tersebut.
Hiruk-pikuk media Amerika dan sekutunya di Timur Jauh untuk membenarkan tindakan mereka di kawasan itu muncul ketika ketegangan di Semenanjung Korea meningkat dalam beberapa pekan terakhir.
Sementara itu, Pyongyang mengkritik manuver militer AS dan Korsel dan menyebutnya sebagai latihan untuk menyerang Korut. Di sisi lain, hubungan Korut dan Korsel kembali tegang akibat kebijakan ganda Seoul dengan Pyongyang.
Korut –yang baru-baru ini beberapa kali memperingatkan tentang upaya propaganda Korsel di daerah perbatasan – meledakkan dan menghancurkan kantor penghubung kedua Korea di perbatasan sebagai bentuk pesan peringatan keras kepada Seoul.
Perundingan damai terkait Semenanjung Korea juga menemui jalan buntu akibat AS tidak komitmen terhadap kewajiban-kewajibannya.
Sejak Juni 2018 hingga sekarang, Trump dan Pemimpin Korut Kim Jong-un telah tiga kali bertemu untuk berunding terkait penghentian program nuklir Korut dengan imbalan konsesi AS. Namun pembicaraan itu gagal karena perbedaan mendalam kedua pihak terkait perlucutan senjata nuklir Korut dan pelonggaran sanksi AS.
Seiring dengan inkonsistensi AS dalam perundingan, pemerintah Korut telah memutuskan untuk memperkuat arsenal-arsenal persenjataannya, terutama rudal berhulu ledak nuklir guna menahan ancaman nuklir AS. Kim Jong-un menegaskan, kemampuan nuklir Korut telah memastikan kelangsungan hidup dan keamanannya.
Perundingan baru antara para pejabat Washington dan Pyongyang kemungkinan besarnya tidak akan berlangsung sebelum pelaksanaan pemilu presiden Amerika pada November 2020.
Trump, yang sebelumnya mengira dia akan pergi ke tempat pemungutan suara dengan kemenangan diplomatik atas Korut, tampaknya telah "kalah" dari Kim Jong-un", dan kekalahan ini mungkin saja akan menjadi salah satu pemicu kekalahannya dalam pemilu presiden Amerika. (RA)