AS Klaim akan Berhenti untuk Mendukung Perang di Yaman
Amerika Serikat besama sejumlah sekutunya di Eropa telah memainkan peran penting dalam kelanjutan perang yang dikobarkan pasukan koalisi pimpinan Arab Saudi di Yaman sejak Maret 2015. Pasalnya, mereka memberikan dukungan logistik, intelijen, diplomasi dan senjata kepada pasukan koalisi tersebut.
Pemerintahan Presiden AS Joe Biden baru-baru ini mengklaim untuk mengakhiri perang di Yaman. Menurut Penasihat Keamanan Nasional Gedung Putih Jake Sullivan, Biden akan berhenti mendukung operasi-operasi ofensif di Yaman.
Sikap tersebut juga telah diungkapkan oleh Biden pada Kamis (4/2/2021). Dia menyebut perang di Yaman sebagai "bencana strategis" dan menyerukan diakhirinya perang ini.
Biden mengatakan, dukungan AS untuk operasi-operasi ofensif di Yaman, termasuk penjualan senjata, akan diakhiri. Namun, pada saat yang sama, dia mengatakan bahwa AS akan membantu Arab Saudi untuk mempertahankan "integritas teritorialnya", dan mengklaim bahwa Arab Saudi sedang menghadapi serangan oleh pasukan yang didukung Iran.
Keputusan Biden tampaknya diambil untuk membalikkan kebijakan mantan Presiden AS Donald Trump mengenai Yaman. Pemerintahan Trump, sebagai sekutu dekat rezim Al Saud, pada hari-hari terakhirnya, dalam sebuah langkah yang tidak terduga, memasukkan Gerakan Rakyat Yaman, Ansarullah sebagai organisasi teroris dan menjatuhkan sanksi terhadap gerakan ini.
Trump berpikir bahwa dengan keputusannya itu, dia telah mengambil langkah penting untuk menghentikan perlawanan rakyat Yaman, dan dengan demikian bisa mengubah perimbangan yang menguntungkan pasukan koalisi pimpinan Arab Saudi. Namun, sanksi terhadap gerakan Ansarullah sebenarnya sama halnya mencegah pengiriman bahan makanan dan bantuan kemanusiaan kepada jutaan warga Yaman.
Agresi militer pasukan koalisi yang dipimpin Arab Saudi ke Yaman sejauh ini telah menewaskan belasan ribu warga negara ini dan menghancurkan infrastruktur vital Yaman, bahkan para pakar PBB menggambarkan Yaman sebagai tempat krisis kemanusiaan terbesar di dunia.
Sekretaris Jenderal Dewan Pengungsi Norwegia (NRC) Jan Egeland mengatakan, keputusan untuk memasukkan Ansarullah ke dalam daftar "organisasi teroris" adalah tidak rasional dan merusak.
Keputusan pemerintahan Trump untuk memasukkan Ansarullah ke dalam daftar organisasi teroris diambil ketika pihak-pihak internasional sedang berusaha memperluas aktivitas kemanusiaan di Yaman dan mencegah bencana kelaparan yang belum pernah terjadi sebelumnya di negara Arab ini.
Langkah AS tersebut juga telah menuai reaksi luas dari dalam dan luar negeri, bahkan pemerintahan Trump dituntut untuk membatalkannya. Kini, pemerintahan Biden menghadapi seruan PBB, organisasi hak asasi manusia dan anti-perang, dan bahkan sejumlah anggota Kongres untuk membatalkan keputusan Trump. Jika permintaan ini dipenuhi Biden, maka secara fundamental akan mengubah pendekatan AS terhadap perang di Yaman.
Pemerintahan Biden sejauh ini telah mengadopsi kebijakan yang berbeda dalam menyikapi perang Yaman, dan untuk sementara menangguhkan sanksi terhadap Ansarullah selama sebulan. Dia juga telah mulai mempertimbangkan kembali langkah pemerintahan Trump yang memasukkan Ansarullah ke dalam daftar organisasi teroris.
Dalam kerangka langkah tersebut, pemerintahan Biden juga telah menangguhkan penjualan senjata ke Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA). Ini adalah berita buruk bagi dua sekutu tradisional AS di Asia Barat ini.
Arab Saudi dan UEA memiliki harapan besar bahwa Trump akan tetap di Gedung Putih selama empat tahun lagi setelah memenangkan pemilihan presiden 2020 dan membantu mereka melaksanakan rencana regional mereka. Namun fakta terjadi sebaliknya.
Tentu saja, pendekatan AS secara keseluruhan kepada sekutunya di kawasan Asia Barat adalah untuk melanjutkan kerja sama militer dan keamanan, dan khususnya untuk terus menjual senjata ke negara-negara ini demi kepentingan perusahaan-perusahan senjata Amerika.
Oleh karena itu, tampaknya penangguhan penjualan senjata ke Arab Saudi dan UEA akan segera dicabut dan kekhawatiran mereka tentang pelanggaran hak asasi juga akan segera dilupakan. Dalam pidatonya baru-baru ini, Biden menegaskan kembali dukungannya kepada Arab Saudi. Ini artinya melanjutkan hubungan luas Washington dengan Riyadh. (RA)