Iran, 40 Tahun Pasca Revolusi Islam (25)
Kemenangan Revolusi Islam di Iran telah mengakhiri keterbelakangan politik dan menetapkan suara rakyat sebagai landasan legitimasi dalam membangun sebuah sistem.
Dalam waktu singkat, konstitusi Iran yang progresif dan merakyat segera dirumuskan dan disahkan melalui sebuah referendum. Dalam referendum ini, sebanyak 98,2 persen rakyat Iran menyetujui Republik Islam sebagai sistem pemerintahan mereka. Kemudian dibentuk Majelis Syura Islam dan lembaga-lembaga negara yang sejalan dengan nilai-nilai demokrasi religius.
Referendum ini menunjukkan bahwa kemenangan Revolusi Islam Iran, dan berakhirnya rezim despotik Shah telah membuka lembaran baru bagi dinamika politik Iran.
Pasca kemenangan revolusi pada 22 Bahman 1357 Hijriah Syamsiah, langkah pertama sistem baru adalah mendirikan sebuah pemerintahan dengan mempertimbangkan prinsip dan parameter demokrasi serta menghapus bahaya laten despotisme di Iran. Di sisi lain juga memenuhi tuntutan hakiki bangsa Iran yaitu menerapkan hukum Islam.
Jadi, prestasi terbesar politik Revolusi Islam Iran adalah tegaknya sistem Republik Islam yang tampil dalam bentuk sistem demokrasi religius. Situasi ini dengan jelas dapat disaksikan dalam konstitusi Republik Islam Iran.
Konstitusi Republik Islam menyandingkan dua konsep tentang legitimasi kekuasaan. Pasal pertama konstitusi menyatakan bentuk pemerintahan Iran adalah Republik Islam. Dengan kata lain, bentuk pemerintahan adalah republik dengan nilai-nilai Islami. Oleh karena itu, legitimasinya bersumber dari dua prinsip; ajaran Islam dan suara rakyat.
Dalam sistem demokrasi religius, agama Islam dan ajarannya dijadikan sebagai landasan pemikiran dan perilaku sosial. Islam akan memperjelas landasan dan parameter perilaku individu dan sosial, dan masyarakat akan menjadikannya sebagai acuan.
Dalam sistem Republik Islam, partisipasi warga dalam pemilu dan penentuan nasib mereka sendiri benar-benar nyata, dan masyarakat memberikan hak suaranya karena rasa tanggung jawab dan kewajiban. Oleh sebab itu, persentase kehadiran warga dalam pemilu tidak bisa dibandingkan dengan demokrasi liberal Barat.
Dalam hal ini, Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran Ayatullah Sayid Ali Khamenei mengatakan, "Saya menyarankan semua orang untuk mengikuti garis yang benar ini. Waspadalah agar musuh tidak menyulut perpecahan dan konflik di antara barisan kita di Republik Islam, kita juga menyeru dunia Islam untuk bersatu. Syarat kemenangan adalah bersatu dan saling menghormati di antara kubu dan partai-partai di Republik Islam."
"Di Republik Islam, pemilu adalah memilih yang terbaik, bukan pertarungan pemilu. Pertengkaran dan persaingan ini adalah milik demokrasi Barat yang tidak mengenal Tuhan dan agama. Perbuatan yang dilakukan sebagian orang sudah keluar dari Republik Islam. Di sini adalah pemilihan yang terbaik," tambahnya.
Menurut Rahbar, apa yang hari ini di dunia disebut demokrasi sebenarnya merupakan kediktatoran lama yang mengenakan pakaian baru yaitu; kediktatoran kelompok-kelompok. Jika pun ada kompetisi, ini hanya persaingan antar kubu-kubu, sementara masyarakat tidak memiliki peran sama sekali.
"Sebuah kubu memperoleh kekuasaan dan dengan kekuasaan politik, mereka menguasai semua urusan negara dan dengan menyalahgunakan kekuasaan, mereka mengumpulkan kekayaan dan modal untuk dirinya dan kemudian dipakai untuk mendapatkan kekuasaan kembali. Demokrasi dunia saat ini didasarkan pada propaganda bohong dan menipu serta menyihir mata dan hati," jelasnya.
"Hari ini di dunia, di mana pun ada slogan demokrasi, Anda akan menyaksikan bahwa apa yang mereka lakukan untuk kampanye capres atau kandidat anggota legislatif. Mereka menghabiskan uang. Demokrasi tersandera oleh kekuatan uang," tegas Ayatullah Khamenei.
Dalam sistem demokrasi religius – berbeda dengan sistem demokrasi Barat – suara rakyat benar-benar menjadi penentu dan efektif. Tidak ada revolusi di dunia yang menyelenggarakan pemilu setelah 50 hari dari kemenangan. Namun, peristiwa penting ini terjadi di Iran.
Tepat 50 hari setelah kemenangan revolusi, rakyat Iran mendatangi kotak-kotak suara untuk menentukan sistem politik, dan mayoritas orang dengan suara bulat menjatuhkan pilihan mereka pada sistem pemerintahan Islam. Selama 40 tahun terakhir, rata-rata satu pemilu digelar setiap tahun dan pejabat tinggi negara atau anggota parlemen dipilih oleh rakyat baik langsung atau melalui perantara.
Pada upacara pengukuhan kepresidenan Hassan Rouhani di Tehran, Ayatullah Khamenei menuturkan, "Generasi baru dan pemuda belum melihat era pra-revolusi, sekarang peran masyarakat di pemerintah merupakan sebuah prestasi besar. Imam Khomeini dengan menggerakkan lautan bangsa, mampu mengakhiri sistem monarki yang sudah berusia berabad-abad, campur tangan, dan hegemoni asing, serta menciptakan perubahan untuk kemajuan negara dan bangsa."
Rahbar menekankan bahwa masyarakat dan pejabat harus bangga dengan demokrasi religius dan peran orang-orang dalam urusan negara serta dalam memilih pejabat selama empat dekade terakhir.
"Para pejabat yang akan bekerja di periode baru, akan menjadi pewaris dari kerja keras dan inisiatif berbagai pejabat sebelumnya selama 40 tahun. Mereka telah membangun banyak infrastruktur ilmiah, praktis, dan pemikiran yang mustahil ditemukan sebelum revolusi," tegas Ayatullah Khamenei.
Selama empat dekade terakhir, bangsa Iran terus bergerak ke arah stabilitas dan konsolidasi internal terlepas dari krisis yang dipaksakan oleh Amerika Serikat. Kesuksesan sistem Republik Islam dalam membangun sistem demokrasi telah meningkatkan pengaruh dan kekuatan regional Iran.
Pakar kebijakan luar negeri, Sayid Reza Sadr al-Hosseini menuturkan, "Salah satu alasan kemarahan AS dan sekutunya selama 40 tahun terakhir adalah karena semua pilar sistem di Iran mulai dari anggota parlemen, presiden, anggota Dewan Ahli Kepemimpinan dipilih oleh rakyat melalui kotak suara. Langkah ini telah mengilhami sekaligus mengundang kecemburuan negara-negara lain." (RM)