Motif dan Tujuan AS-Israel Meneror Syahid Qasem Soleimani (2)
Amerika Serikat di aksi terorisnya terhadap Republik Islam Iran pada 13 Dey 1398 Hs/ 3 Januari 2020 menarget serta menggugurkan Letjen Qasem Soleimani, komandan pasukan Quds IRGC.
Amerika dengan meneror komandan pasukan Quds IRGC telah menorehkan kejahatan paling bersejarahnya terhadap bangsa Iran.
Namun apa tujuan dari Amerika melakukan kejahatan ini?
Langkah teror Amerika menggugurkan Syahid Soleimani dapat dicermati sebagai sebuah peristiwa kelanjutan permusuhan lama negara ini terhadap Iran.
Permusuhan ini selama 41 tahun lalu tidak pernah berhenti, namun meski beragam konspirasi, seiring dengan perlawanan bangsa Iran terhadap kekuatan hegemoni, mulai muncul kebangkitan di antara bangsa tertindas yang membuat ketakutan AS dan Israel.
Pengaruh ini berhutang banyak kepada upaya dan pengorbanan para syuhada seperti Syahid Soleimani yang berhasil mengubah konstelasi kekuatan di kawasan melalui kemenangan besar di medan pertempuran dengan musuh.
Selama bertahun-tahun Amerika berusaha membuat Iran gagal meraih stabilitas keamanan. Penghancuran Daesh (ISIS) dengan keberanian Syahid Soleimani membuat stabilitas pulih di kawasan dan fenomena buruk ini gagal menguasai kawasan. Transformasi besar ini telah merusak rencana besar Amerika untuk memecah belah kawasan dan membuat Timur Tengah Baru.
Amerika yang mengklaim memerangi terorisme dan menjadikan alasan untuk mengintervensi kawasan, mengalami kebingungan menghadapi perubahan ini dan hasilnya adalah mereka aksi gila Donald Trump meneror Syahid Soleimani. Amerika Serikat dengan aksi terornya ini sejatinya membuat klaimnya memerangi terorisme menjadi klaim palsu dan omong kosong.
Rahbar atau Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran, Ayatullah al-Udzma Sayid Ali Khamenei dalam sebuah pidatonya ketika bertemu dengan ketua lembaga tinggi negara, para pejabat dan staf pemerintah seraya mengisyaratkan peran Amerika membentuk kelompok teroris Daesh dan dukungan militer serta logistik kepada kelompok ini mengingatkan, "Klaim koalisi anti Daesh sebuah kebohongan, tapi begitu, Amerika menentang Daesh yang tidak dapat dikontrol, namun jika seseorang benar-benar ingin menghancurkan Daesh, maka ia pasti melawan fenomena buruk ini."
Amerika sejak tahun 2012, ketika membentuk kelompok teroris di kawasan dan berencana menggulingkan pemerintahan Bashar al-Assad di Suriah serta ingin kelompok teroris menguasai Irak, senantiasa menganggap Letjen Soleimani sebagai penghalang terbesar bagi mereka.
Padahal Amerika selama bertahun-tahun dan dengan dalih memerangi terorisme serta menciptakan keamanan, berusaha memenuhi kantongnya dengan kekayaan negara-negara Arab. Trump di awal jabatannya sebagai presiden AS melawat Arab Saudi dengan tujuan ini dan ia menyebut negara-negara Arab kawasan sebagai sapi perah. Dengan menyebarkan Iranphobia, Trump sejatinya ingin menjual senjata Amerika dan menyelamatkan perusahaan negaranya dari kebangkrutan.
Pengobaran instabilitas dan pertumpahan darah sejatinya termasuk strategi Amerika menjamin kepentingan ilegalnya di kawasan. Amerika sejak perang dunia kedua dan selanjutnya, menganggap dirinya sebagai kekuatan adi daya dan polisi dunia, namun selama satu dekade terakhir mulai tampak indikasi keruntuhan kekuatan Amerika di tingkat dunia.
Alexander Knyazev, pakar politik Rusia di analisasnya seraya mengkaji dimensi teror Syahid Soleimani, komandan pasukan Quds IRGC oleh Amerika mengatakan, "Bahwa Daesh (ISIS) dibentuk di lembaga think tank RAND Amerika adalah hal yang jelas serta Jenderal Soleimani merupakan penghalang bagi terealisasinya program Washington untuk membuat kondisi Timur Tengah tak manusiawi dan kemudian menyebarkannya ke seluruh wilayah tetangga serta seluruh dunia."
Pakar politik ini menambahkan, "Ada keyakinan bahwa sejarah akan menghakimi siapa dan apa saja, namun Jenderal Soleimani sejatinya di masa hidupnya telah menjadi tokoh sejarah."
Letjen Qasem Soleimani dengan rasa percaya diri melawan teroris Takfiri dukungan Amerika Serikat, Israel dan Arab Saudi serta mengorganisir poros muqawama di kawasan.
Teror Syahid Soleimani bagi Trump dan penasihatnya berdasarkan analisas keliru sebuah langkah untuk menangguhkan tumbangnya hegemoni negara ini, namun Amerika dengan langkahnya ini bukan saja gagal meraih ambisinya, tapi dengan jelas menjadi titik awal berakhirnya kehadiran negara ini di kawasan.
Noam Chomsky, teoretikus terkenal Amerika seraya mengkritik kebijakan Washington mengatakan, "Ketidakstabilan merupakan konsep yang menarik dalam wacana politik. Ketika Iran membantu pemerintah Irak dan Kurdistan untuk menahan serangan Daesh (ISIS), ini dianggap sebagai langkah instabilitas, namun ketika Amerika menginvasi Irak dan membantai ratusan ribu orang, memaksa jutaan lainnya mengungsi, menghancurkan negara dan menciptakan bentrokan sektarian demi memecah belah Irak serta memporak-porandakan seluruh kawasan, memperluas terorisme di seluruh dunia, maka hal itu disebut sebagai salah satu misi Amerika untuk menciptakan stabilitas dan harus dilanjutkan demi kepentingan dunia."
Amerika dengan aksinya dengan congkak mempermainkan hukum dan norma-norma internasional demi Israel dan menjaga kepentingan ilegalnya di Asia Barat. Proses ini telah membuat keamanan kawasan dan dunia dalam bahaya besar. Di kondisi seperti ini tanggung jawab setiap insiden dan peristiwa berada di pundak Amerika Serikat.
Menteri Pertahanan Iran, Amir Hatami menilai teror Syahid Soleimani ditujukan untuk menghidupkan kembali hegemoni Amerika di kawasan dan mereduksi kekuatan pengaruh dan pertahanan Republik Islam Iran. Ia mengisyaratkan poin ini bahwa kehadiran rakyat di lapangan dan balasan rudal IRGC telah menghancurkan hegemoni rapuh Amerika dan kekuatan arogan serta membuktikan kepada dunia level kekuatan pertahanan dan kekuatan Iran.
Najah Mohammad Ali, pakar internasional Irak mengatakan, Trump dengan meneror Syahid Soleimani telah tertipu dan jatuh ke dalam perangkap yang disebarkan untuk menyingkirkannya.
Trump dengan langkah terorisnya ini sejatinya telah melakukan kesalahan strategis yang besar. Amerika di aksi teroris tersebut telah menginjak-injak independensi dan kedaulatan wilayah serta hukum internasional. Mungkin bungkamnya sejumlah negara dan PBB membuat AS berpikir bisa melakukan apa saja, namun opini publik dunia kini menyadari bahwa Washington tidak menginginkan perdamaian dan stabilitas di kawasan dan dunia, tapi ingin menguasai sumber minyak dan merampok kekayaan negara-negara kawasan serta menghapus isu Palestina.
Rahbar terkait hal ini menyebut menggagalkan seluruh rencana ilegal Amerika di Asia Barat sebagai contoh keberanian Syahid Soleimani. Ketika menjelaskan pengaruh besar Jenderal Soleimani di isu Palestina, Rahbar menambahkan, Amerika berusaha membuat isu Palestina terlupakan, dan berusaha membuat Palestina lemah sehingga mereka tidak berani berjuang, namun manusia besar ini (Soleimani) memenuhi tangan Palestina dan memberi mereka keberanian dan kemampuan berjuang. Kegagalan operasi berat dan ofensif Israel ke Jalur Gaza dalam beberapa terakhir adalah sebuah fakta bahwa AS dan pemimpin Zionis di bumi pendudukan mengalami mimpi buruk dan ketakutan.
Aksi teroris ini dengan motivasi dan tujuan apapun, merupakan pelanggaran terhadap prinsip dan hukum internasional dan oleh karena itu telah menciptakan tanggung jawab berat internasional bagi Amerika di komunitas global.