Aug 19, 2023 18:48 Asia/Jakarta
  • Kudeta 28 Mordad adalah salah satu dokumen kejahatan AS-Inggris di Iran.
    Kudeta 28 Mordad adalah salah satu dokumen kejahatan AS-Inggris di Iran.

Kudeta Amerika-Inggris pada Agustus 1953 (28 Mordad 1332 Hijriyah Syamsiah) di Iran mengingatkan sebuah tindakan bermusuhan dan upaya penggulingan sebuah pemerintahan yang demokratis.

Dokumen kudeta yang sudah dirilis ke publik oleh Dinas Intelijen Pusat AS (CIA) menunjukkan bahwa AS-Inggris secara langsung terlibat dalam aksi makar itu.

Kudeta 28 Mordad adalah sebuah bukti yang memperlihatkan upaya musuh untuk memisahkan rakyat Iran dari Revolusi Islam melalui berbagai konspirasi. Meski melakukan segala upaya, namun musuh gagal untuk merusak pilar-pilar revolusi dan sistem Republik Islam.

Sejak kemenangan Revolusi Islam pada 22 Februari 1979, kekuatan-kekuatan arogan bangkit menentang Republik Islam Iran demi mempertahankan dominasinya di wilayah Timur Tengah (Asia Barat).

Kudeta 28 Mordad dilakukan oleh Dinas Intelijen Pusat AS (CIA) dengan dukungan langsung Dinas Intelijen Inggris (MI6). Kudeta ini bertujuan untuk menggulingkan Perdana Menteri Iran, Mohammad Mosaddegh dan mengembalikan posisi Mohammad Reza Pahlavi sebagai raja Iran.

CIA menggunakan sandi TPAJAX (Operation Ajax) untuk plot penggulingan Mossadegh pada 19 Agustus 1953. Dokumen rahasia CIA menyinggung kehadiran Kermit Roosevelt Jr, salah satu agen seniornya di Timur Tengah di Tehran menjelang pelaksanaan kudeta.

Kudeta ini dimulai dengan embargo minyak sehingga Iran tidak memperoleh pendapatan dari penjualan minyak. Dinas intelijen AS dan Inggris kemudian menjalankan sebuah proyek yang rumit secara bersamaan. Ia terdiri dari beberapa langkah; menggunakan propaganda untuk melemahkan Mossadegh secara politik, mendorong Shah Pahlevi untuk bekerja sama, menyuap anggota parlemen, mengorganisir pasukan keamanan, dan memulai demonstrasi jalanan.

Makar ini dirancang ketika Iran tercatat sebagai salah satu eksportir minyak terbesar di dunia, tetapi industri minyak Iran dikuasai oleh perusahaan minyak Iran-Inggris. Saat itu pemerintah Iran hanya menerima keuntungan yang sedikit, sementara keuntungan yang besar dinikmati oleh Inggris.

Foto Mohammad Mossadegh (paling depan).

Kemarahan atas ketidakadilan ini berubah menjadi sebuah krisis. Pada 1951, Mosaddegh berkuasa dan menasionalisasi industri minyak Iran. Sebagai aksi balasan, Inggris memberlakukan sanksi minyak terhadap Iran.

Sanksi ini membuat perusahaan-perusahaan besar minyak enggan untuk bekerja sama dengan pemerintah Mossadegh. Produksi minyak Iran mencapai angka nol pada 1952 dari 660.000 barel per hari pada 1950. Tanpa ekspor minyak pada waktu itu, pemerintah Iran mengalami keruntuhan finansial. Ini adalah tujuan yang dikejar oleh Inggris-Amerika.

Para pejabat Washington mendukung sanksi tersebut. Nasionalisasi industri minyak Iran tidak boleh berhasil, karena ini dapat memiliki konsekuensi berbahaya bagi perusahaan minyak AS yang beroperasi di kawasan. Mereka berharap tekanan ekonomi dapat menumbangkan Mossadegh dari kekuasaan.

Pada 18 Maret 2000, Menteri Luar Negeri AS waktu itu, Madeleine Albright dalam sebuah statemen mengatakan, "AS memainkan peran penting dalam mengatur penggulingan Perdana Menteri Iran Mohammad Mossadegh. Pemerintahan Eisenhower percaya tindakannya itu dibenarkan karena alasan strategis, tetapi kudeta itu secara nyata membawa kemuduran bagi proses kemajuan politik Iran. Jadi, tidak mengherankan jika banyak orang Iran masih tidak senang dengan intervensi AS dalam urusan internal mereka."

"Selain itu pada seperempat abad setelah itu, AS dan Barat selalu mendukung rezim Shah. Meskipun pemerintahan Shah melakukan banyak hal untuk kemajuan ekonomi Iran, tetapi ia dengan kejam membungkam oposisi," tambahnya.

Mantan Presiden AS Barack Obama – selama kunjungannya ke Mesir dan Arab Saudi pada Juni 2009) juga mengakui bahwa pelaku Kudeta 28 Mordad adalah AS dan ini telah menjadi sumber ketegangan antara Washington-Tehran.

Intervensi AS di Iran berakhir setelah kemenangan Revolusi Islam di bawah pimpinan Imam Khomeini ra. Namun, permusuhan negara itu tetap berlanjut. Para pemimpin AS terus mengeluarkan pernyataan intervensif seperti, "semua opsi di atas meja" atau "opsi militer" dengan maksud menggertak Iran.

Setelah revolusi, CIA menjalankan sebuah konspirasi baru terhadap Iran dengan tujuan "perubahan rezim." Padahal, beberapa pejabat Washington mengakui intervensi AS dalam Kudeta 28 Mordad dan menganggap tindakan anti-Iran itu sebagai sebuah kesalahan.

Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran, Ayatullah Sayid Ali Khamenei bersama para komandan Angkatan Bersenjata Iran.

Permusuhan AS terhadap bangsa dan sistem demokrasi di Iran memiliki akar yang mendalam. Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran, Ayatullah Sayid Ali Khamenei mengatakan, AS menerima tamparan dari bangsa Iran dengan kemenangan revolusi, dan sekarang setelah tidak mampu lagi menjarah sumber kekayaan, sedang berkhayal untuk kembali ke era sebelumnya dan menganggap jalan untuk mencapai tujuan itu adalah mengobarkan permusuhan dan konspirasi.

Dari perspektif sejarah, Kudeta 28 Mordad -- terlepas dari kepentingan politik – telah menyingkap watak asli AS di hadapan bangsa Iran. Dengan demikian, ia dianggap sebagai titik balik dalam intervensi asing dan salah satu hari paling pahit dalam sejarah Iran.

Pengamat kebijakan luar negeri AS, David William Pear dalam sebuah laporan panjang tentang kudeta AS-Inggris di Iran menulis, "Para pemenang dari kudeta ini adalah AS dan Shah penakut yang lari dari bangsanya sendiri. AS telah mengajarinya untuk menjadi pemberani. Dia ternyata murid yang baik dan dengan dukungan AS, dia mengubah Iran menjadi negara polisi totaliter dan diperintah dengan teror.

Shah mendapat perlindungan AS dari rakyatnya sendiri dan dari musuh-musuh asing. AS menutup matanya dari korupsi yang dilakukan Shah dan tindakannya menumpuk dolar di rekening-rekening bank asing serta mempertebal kantongnya sendiri dan para kroninya.

AS mendapat bagian besar dari industri minyak Iran, dan Iran memberi AS lokasi strategis yang penting bagi kehadiran militer. Adapun orang-orang Iran, mereka terus hidup dalam kemiskinan dan buta huruf. Sekarang setelah Shah tumbang, mesin propaganda AS dan media arus utama mengeluarkan banyak cerita tentang betapa indahnya kehidupan di bawah Shah."

Dokumen Departemen Luar Negeri AS yang diterbitkan pada 2017 menunjukkan bagaimana para pejabat AS mulai dari Eisenhower sampai ke pejabat rendah di Departemen Luar Negeri dan CIA, terlibat dalam penggulingan pemerintahan Iran pimpinan Mohammad Mossadegh.

"Kudeta militer yang menumbangkan Mossadegh dan kabinet front nasional, berada di bawah pengawasan CIA dan dilakukan sebagai pelaksanaan kebijakan luar negeri AS. CIA mengakui bahwa pihaknya meluncurkan operasi yang disebut TPAJAX karena takut atas kehadiran Uni Soviet di Iran," kata dokumen tersebut.

Di bagian lain laporannya, William Pear mengatakan, "AS ingin memutar waktu kembali ke tahun 1953 dan kembalinya Shah Iran. Kenapa tidak? AS memiliki banyak kesepakatan dengan Shah Iran selama seperempat abad, sampai revolusi Iran tahun 1979. Itulah sebabnya AS membenci pemerintah saat ini dan ingin menggulingkannya."

Presiden AS Donald Trump.

Republik Islam Iran telah berada di bawah sanksi ekonomi AS selama 40 tahun. Washington mengancam Tehran dengan perang dan "semua opsi di atas meja" selama beberapa dekade. Gedung Putih juga terlibat dalam memicu kerusuhan di Iran dan mendukung serangan kelompok-kelompok teroris seperti, teroris munafikin MKO di Iran.

"AS bertekad untuk melemahkan pemerintah Iran. Pelanggaran Presiden Trump terhadap kesepakatan nuklir Iran JCPOA, telah menempatkan 'semua opsi di atas meja' lagi: sanksi ekonomi, terorisme (ekonomi), perang, dan bahkan ancaman serangan nuklir," ujar William Pear.

Saat ini ada banyak sinyal dan dokumen yang menunjukkan bahwa AS masih mengadopsi kebijakan masa lalu.

Trump mengatakan bahwa kesepakatan Iran (JCPOA) adalah perjanjian terburuk dalam sejarah. Apa yang diinginkan AS adalah kesepakatan lama dengan Iran dari tahun 1953 hingga 1979. Ini adalah "kesepakatan terbaik dalam sejarah."

AS mengejar tiga tujuan strategis dalam perang lunak melawan sistem Republik Islam yaitu: Pertama, merusak legitimasi sistem Republik Islam dengan menyebarkan Iranophobia. Kedua, merusak kepercayaan publik kepada sistem Republik Islam dengan menyebutnya tidak efektif. Dan ketiga, menciptakan keretakan antara masyarakat dan sistem dengan menggunakan sanksi ekonomi yang berat untuk memicu protes sosial.

Dengan strategi ini, para pejabat Washington berkata bahwa Republik Islam tidak akan bertahan hingga ulang tahunnya yang ke-40.

Dalam hal ini, Ayatullah Khamenei mengatakan, "AS menerima tamparan dari Revolusi Islam, ia memiliki dendam terhadap Revolusi Islam. Jadi, mereka takut akan munculnya sebuah kekuatan Islam yang besar di kawasan dan menghalangi semua ambisi mereka. Mereka ingin itu tidak terjadi, mereka takut terhadapnya dan bangkit melawannya."

AS menolak untuk menerima fakta bahwa bangsa Iran dan Republik Islam adalah bersatu. Itulah sebabnya konflik AS dengan Iran bukanlah perseteruan yang bisa diselesaikan melalui negosiasi atau kesepakatan seperti JCPOA.

Pada dasarnya, AS tidak mau menerima kehadiran negara independen seperti Republik Islam Iran, yang menolak dikte dan hegemoni Paman Sam.

Tags