Mengapa Irak dan Lebanon masih Membara?
Irak dan Lebanon diguncang demonstrasi panjang yang menyebabkan perdana menteri dari kedua negara tersebut meletakkan jabatannya.
PM Lebanon Saad Hariri mundur hanya 13 hari setelah protes pecah di negaranya, sementara PM Irak Adel Abdul Mahdi meletakkan jabatannya setelah dua bulan digoyang aksi protes.
Ada beberapa hal yang patut dicermati dalam demonstrasi di Irak dan Lebanon. Pertama, demonstrasi di Irak dan Lebanon tidak dikomandoi oleh satu figur dan tidak memiliki kepemimpinan yang satu. Meskipun demonstrasi sudah berlangsung lama, namun tidak ada figur yang bisa disebut sebagai pemimpin aksi.
Salah satu buktinya, meskipun perdana menteri mereka telah meletakkan jabatannya, namun demonstran sama sekali tidak punya tokoh yang bisa disodorkan untuk menggantikan Saad Hariri di Lebanon atau Abdul Mahdi di Irak.
Karena tidak adanya garis komando yang jelas, akhirnya peran koordinasi di antara demonstran dimainkan oleh jaringan media sosial. Isu yang diangkat oleh demonstran Irak dan Lebanon di media sosial yaitu: pertama, sistem politik yang korup di negara mereka. Jadi, sistem korup ini harus diubah total dan tidak cukup hanya dengan bongkar-pasang pejabat. Kedua, pengguna jagad maya mengarahkan aksi itu untuk menyulut kekerasan antara aparat keamanan dan demonstran.
Ribuan akun palsu dengan nama samaran dibuat untuk menggerakkan demonstrasi di Irak dan Lebanon. Khusus untuk kasus Irak, kebanyakan akun palsu itu menyerukan kekerasan dan memprovokasi demonstran untuk menyerang polisi dan aparat keamanan.
Kedua, para demonstran tidak memiliki tujuan yang jelas. Tentu ada perbedaan antara ketidakjelasan tujuan dan motivasi. Rakyat memiliki motivasi untuk bangkit karena kesulitan ekonomi dan masalah korupsi, tetapi tujuan mereka dari aksi tersebut tidak jelas.
Rakyat Irak dan Lebanon memprotes masalah korupsi, pengangguran, pelayanan sosial yang buruk, dan kesulitan ekonomi. Persoalan ini telah membangkitkan motivasi mereka untuk melakukan protes.
Para pejabat di Baghdad dan Beirut berulang kali menyatakan bahwa mereka siap memenuhi tuntutan rakyat, tetapi protes ini tetap tidak mereda. Fenomena ini menunjukkan bahwa demonstran tidak memiliki sebuah tujuan yang jelas, meskipun aksi mereka telah berubah menjadi kekerasan dan menelan banyak korban.
Ketiga, demonstrasi di Irak dan Lebanon telah ditunggangi oleh para pemain asing dan mereka terlibat langsung dalam mengarahkan aksi protes. Jaringan televisi satelit Alhurra, AlHadath, AlArabiya bersama media sosial, mendukung kubu oposisi di kedua negara itu dan terus menghasut demonstran.
Para aktor asing yang mendukung berlanjutnya demonstrasi dan kekerasan di Irak dan Lebanon adalah Amerika Serikat, rezim Zionis, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab (UEA). Hasil penelusuran pemerintah Irak mencatat bahwa 79 persen dari tweet tentang protes di Irak dilakukan oleh warga Saudi.
Dalam aksi protes di Lebanon, AS memilih memperkuat jaringan internet untuk memudahkan demonstran menggunakan media sosial. Hasil penelusuran mencatat bahwa dari 2300 akun Twitter yang aktif mendukung protes di Lebanon, sekitar 35 persen darinya dioperasikan oleh warga Saudi.
Selain propaganda media, kucuran dana besar-besaran juga diberikan kepada demonstran di Irak dan Lebanon. Pakar dunia Arab dan Timur Tengah dari Israel, Yoni Ben Menachem dalam sebuah artikelnya menulis, "Krisis saat ini di Lebanon akan mengurangi kemampuan Hizbullah untuk melawan Tel Aviv. Oleh sebab itu, krisis ini harus terus berlanjut."
Keempat, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap sistem pemerintahan di Irak dan Lebanon telah berkurang. Sejak protes pecah, pemerintah Baghdad dan Beirut memperkenalkan berbagai paket ekonomi. Pemerintah Abdul Mahdi di Irak menawarkan lima paket ekonomi dan politik. Di Lebanon, pemerintah juga membatalkan rencana kenaikan pajak, tetapi tawaran ini tidak mampu meredam protes.
Dalam pandangan masyarakat, pemerintah – karena tarik ulur faksi-faksi politik – tidak memiliki kemampuan yang diperlukan untuk memperbaiki situasi dan juga tidak punya tekad yang cukup untuk menciptakan reformasi.
Mungkin salah satu alasan utama menurunnya kepercayaan publik kepada pemerintah di Irak dan Lebanon adalah karena sistem pembagian kekuasaan yang berbasis etnis.
Pakar masalah Timur Tengah, Lina Khatib menuturkan, "Para demonstran di Irak dan Lebanon menuntut sebuah reformasi besar-besaran. Mereka mendesak diakhirinya sistem pembagian kekuasaan tradisional dan mengadopsi sistem baru non-etnis."
Pembagian kekuasaan berbasis etnis telah sedikit mengurangi atau mencegah kekerasan sektarian di Irak dan Lebanon dalam beberapa dekade terakhir. Namun, sistem ini telah mencegah lahirnya sebuah pemerintahan yang nasionalis dan efektif.
Oleh karena itu, para politisi di Irak dan Lebanon dalam dua bulan terakhir berulang kali menyerukan pembentukan pemerintahan teknokrat, yang merangkul semua tokoh yang memenuhi syarat.
Kelima, tingkat kekerasan selama demonstrasi di Irak dan Lebanon terbilang cukup tinggi. Angka kematian di Irak sangat tinggi dan fasilitas publik mengalami kerusakan parah. Orang-orang dengan penutup wajah memainkan peran penting dalam meningkatkan kekerasan dan pembunuhan demonstran, terutama di Irak.
Ada dua hal yang bisa dipahami dari tingginya tingkat kekerasan ini. Pertama, budaya protes damai belum terbentuk di kedua negara tersebut, dan kedua para perusuh dan penyusup terlibat langsung untuk memprovokasi kekerasan.
Jaringan media sosial ikut berperan dalam memprovokasi rakyat untuk melawan pemerintah dan aparat keamanan sehingga mengundang tekanan komunitas internasional terhadap pemerintah Irak dan Lebanon.
Dan keenam, ada upaya untuk menyudutkan kelompok-kelompok perlawanan dalam aksi protes di Irak dan Lebanon. Kubu oposisi di dalam negeri serta poros Amerika, rezim Zionis, Saudi, dan UEA, memperkenalkan kubu perlawanan sebagai kambing hitam kerusuhan di Irak dan Lebanon.
Amerika Cs gagal mencapai tujuannya untuk memperlemah poros perlawanan di Timur Tengah selama satu dekade lalu. Mereka sekarang berusaha mencapai tujuan itu dengan menunggangi aksi protes di Irak dan Lebanon.
Di Lebanon, Amerika Cs memperkenalkan Hizbullah sebagai penganggu jalannya roda pemerintahan dan maraknya kasus korupsi. Di Irak, mereka menuduh kelompok Hashd al-Shaabi sebagai penyulut serangan dan kekerasan terhadap demonstran.
Meskipun demonstrasi di Irak dan Lebanon merupakan sebuah isu domestik, namun poros Amerika, rezim Zionis, Arab Saudi, dan UEA sedang mengejar kepentingan regionalnya dengan menunggangi aksi tersebut. (RM)