Misi Kunjungan PM Jepang ke Asia Barat
Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe pada 11-15 Januari lalu, melakukan kunjungan ke Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), dan Oman untuk mendiskusikan perkembangan regional dan dunia, serta menjalin kerja sama bilateral dengan negara-negara tersebut di bidang pariwisata, kecerdasan buatan, dan energi terbarukan.
Abe dalam konferensi pers di Tokyo, mengatakan agenda utama kunjungannya adalah melakukan penjajakan dengan pemimpin Saudi, UEA, dan Oman untuk membantu menciptakan stabilitas dan keamanan di jalur pengiriman energi.
Saat ini jalur pengiriman energi dari Selat Hormuz dan Teluk Persia ke pasar Asia Timur tidak menghadapi ancaman. Negara-negara regional termasuk Republik Islam Iran berulang kali menekankan kemampuan mereka untuk menjamin keamanan jalur pengiriman energi dari Teluk Persia dan hal ini juga dibuktikan dengan tindakan.
Seorang pakar masalah energi di Jepang, Mari Yamaguchi menuturkan keamanan di perairan Teluk Persia dan untuk pasokan minyak dari Timur Tengah adalah prioritas keamanan nasional Jepang, yang mengimpor hampir 90 persen minyaknya dari kawasan itu. Masalah keamanan energi juga menjadi prioritas bagi negara-negara di kawasan.
Abe meminta negara-negara yang terlibat konflik untuk melakukan upaya diplomatik demi meredakan ketegangan dan menghindari eskalasi lebih lanjut. "Kami berencana mengirim Pasukan Bela Diri ke kawasan untuk memperkuat pengumpulan informasi dan mengamankan jalur pelayaran kapal-kapal Jepang," tegasnya.
Jepang berencana mengerahkan pasukan angkatan laut, sebuah kapal perusak, dan dua pesawat patroli di lepas pantai Yaman dan Laut Oman untuk membantu melindungi pasokan energinya. Di sini, pemerintah Tokyo mengejar dua prioritas sekaligus yaitu meningkatkan upaya diplomasi dan mengerahkan pasukan militer ke kawasan.
Seorang pejabat Kementerian Pertahanan Jepang mengatakan, pemerintah bermaksud memulai operasi pesawat patroli pada Januari ini, sementara kapal perusak kemungkinan akan memulai kegiatannya di wilayah itu pada Februari mendatang.
Shinzo Abe – sebagai politisi generasi baru Jepang – berusaha menghidupkan kembali kehadiran militer negaranya di luar negeri. Ia percaya bahwa dengan mengandalkan kekuatan militer, Jepang dapat memiliki pengaruh di berbagai perkembangan regional dan internasional. Oleh sebab itu, Abe berusaha untuk merevisi Pasal 9 Konstitusi Jepang, yang melarang negara itu memiliki pasukan tempur.
Pemerintah Jepang menolak permintaan AS untuk bergabung dalam koalisi maritim di Teluk Persia dan bersikeras pada tindakan independen untuk membantu mengamankan jalur pengiriman energi di kawasan.
Jepang mengambil posisi ini untuk mencegah sensitivitas di Iran dan menunjukkan sebuah kebijakan yang bebas dari pengaruh AS. Namun, dari perspektif kalangan politik, langkah ini tidak berarti Tokyo sedang menjalankan sebuah kebijakan militer-keamanan yang independen dari Washington di daerah-daerah yang ditempati oleh Pasukan Bela Diri Jepang.
Para pejabat Tokyo berulang kali menyatakan bahwa kehadiran pasukannya di Asia Barat untuk membantu keamanan jalur pelayaran melalui pengumpulan informasi intelijen. Ini bisa bermakna bahwa pasukan Jepang akan berbagi informasi intelijen dengan militer AS. Dari segi keamanan, masalah ini bisa mengundang kekhawatiran bagi negara-negara di kawasan.
Para pengamat politik di kawasan menyambut upaya diplomatik Jepang untuk membantu mengurangi ketegangan di kawasan, dan menganggap kerja sama regional untuk memperkuat keamanan kolektif – yang ditawarkan oleh Iran lewat Proposal Perdamaian Hormuz – akan sangat efektif untuk membantu mewujudkan keamanan di kawasan.
Mereka percaya bahwa pemerintah Tokyo melalui proposal itu, dapat membantu memperkuat kerja sama regional sehingga proses pengiriman energi ke Jepang, akan semakin aman dan terbebas dari setiap gangguan.
Direktur Japanese Institute of Middle East, Koichiro Tanaka percaya bahwa PM Jepang harus membuktikan kebijakan independennya membantu menciptakan keamanan di kawasan dalam tindakan nyata sehingga dapat meraih kepercayaan dari para pemimpin regional.
Tidak diragukan lagi, pemerintah Jepang juga mengakui bahwa ketegangan di kawasan disebabkan oleh kehadiran pasukan asing. Oleh karena itu, Tokyo harus bertindak sedemikian rupa agar tidak terkesan ikut campur dalam urusan regional dengan kehadiran militernya. Pasca Perang Dunia II, publik di kawasan terkesan dengan kemajuan ekonomi dan industri Jepang, dan ini dapat memberikan kontribusi besar bagi kesuksesan upaya diplomatik Shinzo Abe.
Selain masalah keamanan, kunjungan Abe ke Riyadh, Abu Dhabi, dan Muscat juga mengejar peluang kerja sama ekonomi dan bisnis. PM Jepang tampaknya ingin mengejar ketertinggalan dari rival regionalnya yaitu Korea Selatan dan Cina. Kedua negara itu bahkan telah memiliki kerja sama keamanan dengan beberapa negara di wilayah Teluk Persia.
Abe datang dengan sebuah delegasi yang mencakup para menteri, yang bertanggung jawab untuk meningkatkan hubungan perdagangan dan bisnis.
Momoyo Kondo, seorang peneliti di Japanese Institute of Middle East, menuturkan, "Kunjungan Abe ke kawasan untuk membantu meredam ketegangan, karena hubungan Jepang dengan negara-negara di Teluk Persia penting dari segi politik dan ekonomi."
Kunjungan PM Jepang dapat dilihat sebagai agenda rutin untuk meningkatkan hubungan bilateral dengan para pengekspor energi terbesar di dunia, dan pada saat yang sama membuka ruang untuk kehadiran pasukan militernya di kawasan. Untuk itu, Jepang perlu menjaga keseimbangan dan memperhatikan kepentingan semua negara regional sehingga tidak memicu sensitivitas. (RM)