Sepak Terjang Rusia di Idlib; Visi dan Langkah (2-habis)
Militer Suriah dan sekutunya termasuk Rusia memulai operasi pembebasan Provinsi Aleppo pada akhir Desember 2019 dan sejak Januari 2020, bergerak ke arah Provinsi Idlib sebagai basis terakhir kelompok teroris di Suriah.
Anehnya, Turki menentang langkah itu dan mengerahkan pasukannya ke Idlib dengan alasan memerangi terorisme. Ini dilakukan di tengah kemenangan beruntun militer Suriah dalam menumpas teroris di wilayah itu. Turki mengancam militer Suriah dan mendesak segera diakhirinya operasi militer Suriah di Idlib.
Pemerintah Damaskus dan Moskow bertekad membersihkan basis terakhir teroris, yang didukung Turki dan Barat di Suriah. Presiden Recep Tayyip Erdogan pada 2 Maret lalu mengklaim kehadiran pasukan Turki di Suriah bukan untuk menduduki negara itu, tapi untuk memerangi terorisme.
Turki juga mengklaim bahwa serangan militer Suriah telah menyebabkan warga sipil bergerak ke arah perbatasan Turki dan dengan alasan ini, Ankara menerjunkan pasukannya ke Provinsi Idlib untuk menggelar operasi militer. Tindakan ini diprotes keras oleh Suriah dan Rusia, dan mereka juga memperingatkan Ankara tentang konsekuensi dari aksinya itu.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia, Maria Zakharova mengatakan Moskow menolak keras tudingan Ankara bahwa serangan Rusia di Idlib menyasar warga sipil. “Kami menolak klaim seperti itu dan kami menyampaikan sikap kami secara terbuka,” tegasnya.
Erdogan sebelum ini mengklaim bahwa pasukan Suriah dan Rusia melakukan serangan terhadap warga sipil di Provinsi Idlib.
Pada dasarnya, Turki – sebagai sponsor utama teroris – telah mempersenjatai dan mendukung mereka, dan kemudian melakukan intervensi militer secara langsung untuk melawan pasukan Suriah. Hal ini memicu kritikan dan peringatan keras dari Moskow.
Sikap Turki telah memicu krisis di Idlib, membuka konfrontasi langsung Turki-Suriah, dan mengundang reaksi keras Rusia. Angkatan Udara Suriah kemudian menyerang posisi pasukan Turki yang sedang memberikan dukungan kepada teroris untuk melawan pasukan darat Suriah dan sekutunya. Pada Kamis malam (27 Februari 2020), serangan udara militer Suriah menewaskan sedikitnya 33 tentara Turki di Idlib.
Kementerian Pertahanan Rusia pada 28 Februari mengumumkan bahwa kelompok bersenjata dan teroris pada Kamis malam, melakukan serangan besar-besaran terhadap posisi militer Suriah di Idlib dan berusaha mematahkan barisan pertahanan mereka.
“Ankara tidak memberitahu kami tentang kehadiran pasukannya di Idlib. Pasukan Turki tidak seharusnya berada di sana. Pasukan Turki berada di tengah anasir bersenjata yang menjadi sasaran serangan udara di Provinsi Idlib,” jelas Kemenhan Rusia.
Statemen ini menambahkan bahwa pasukan Rusia tidak terlibat dalam serangan Kamis malam ke wilayah tersebut. “Turki telah melanggar kesepakatan dengan Rusia mengenai Idlib dengan mendukung teroris, menembakkan artileri, dan menerbangkan drone-dronenya di zona udara Idlib,” tegasnya.
Turki mengklaim bahwa jet-jet tempur Suriah secara terarah menargetkan pos-pos pasukan mereka di Idlib. Jika benar demikian, lalu apa yang dilakukan pasukan Turki di sarang teroris yang sedang ditumpas oleh Suriah?
Tindakan tegas militer Suriah terhadap pasukan agresor Turki telah memicu kemarahan para pejabat Ankara. Erdogan seraya menyinggung terbunuhnya puluhan tentara Turki di Idlib, mengatakan militer Turki akan mengambil tindakan tegas jika pasukan Suriah tidak mundur dari Idlib.
Erdogan meminta pemerintahan sah Suriah dan militer negara itu mundur dari wilayah kedaulatannya. Lalu, atas dasar apa ia mengajukan permintaan seperti itu kepada Damaskus?
Moskow menunjukkan sikap tegas dalam mendukung Damaskus untuk menghadapi tindakan ilegal Turki di wilayah Suriah. Rusia secara praktis bergabung dengan militer Suriah untuk melakukan serangan besar-besaran terhadap basis teroris di Idlib.
Juru bicara presiden Rusia, Dmitry Peskov mengatakan sikap Moskow dalam menyikapi krisis Suriah sama sekali tidak berubah dan posisinya masih sama seperti yang disampaikan berulang kali oleh Presiden Vladimir Putin dan Menlu Sergei Lavrov. “Kami mematuhi kesepakatan Sochi dan mendukung Suriah dalam perang melawan teroris dan kelompok-kelompok teroris,” tegasnya.
Sikap Rusia ini sebenarnya merupakan sebuah kecaman terhadap Turki, yang mendukung dan membantu serangan teroris takfiri terhadap pasukan Suriah di Provinsi Idlib. Menlu Rusia Sergei Lavrov menegaskan militer Suriah berhak melakukan perang menumpas teroris di Idlib.
Ankara terjebak dalam sebuah permainan yang berbahaya dengan tetap mendukung kelompok-kelompok teroris dan bahkan terlibat konfrontasi langsung dengan militer Suriah. Petualangan ini pada akhirnya bisa membuka konfrontasi langsung antara pasukan Rusia dan Turki di Idlib.
Dalam menanggapi eskalasi serangan militer Turki terhadap pasukan Suriah, Rusia telah mengerahkan dua kapal perangnya yang dilengkapi dengan rudal jelajah ke perairan Suriah. Kemenhan Rusia menganggap Turki sebagai pemicu krisis di Idlib dan meminta negara itu mematuhi kesepakatan Sochi.
“Pasukan Rusia di Suriah melakukan tugas-tugasnya berdasarkan kesepakatan Sochi dan faktor yang telah menciptakan krisis di Idlib adalah pengiriman senjata termasuk tank dan panser dari perbatasan Turki ke wilayah tersebut. Turki harus bertanggung jawab atas perkembangan terbaru di barat laut Suriah,” tandas Kemenhan Rusia dalam sebuah pernyataan.
Posisi tegas Rusia juga disampaikan dalam pertemuan Dewan Keamanan PBB untuk membahas situasi di Idlib. Pemerintah Rusia menekankan pentingnya membersihkan wilayah Idlib dari keberadaan teroris dan menolak sikap Barat, yang berpura-pura membela warga sipil Idlib.
“Dewan Keamanan telah menggelar banyak pertemuan tentang Suriah dan Barat selalu mengulangi sikap yang sama. Satu-satunya solusi jangka panjang adalah mengusir teroris dari Suriah,” tandas Duta Besar Rusia untuk PBB, Vasily Nebenzya.
Sebaliknya, Barat yang dipimpin Amerika Serikat mengambil posisi mendukung Turki dan membela operasi militer negara itu di Suriah. Negara-negara Barat anggota tetap Dewan Keamanana PBB (AS, Prancis, dan Inggris) menyerukan penghentian segera konflik di Idlib, tentu saja maksud mereka adalah penarikan pasukan Suriah dari Idlib sehingga teroris bisa bernafas lega.
Duta Besar AS untuk PBB, Kelly Craft mengatakan, “Seluruh upaya kita harus fokus untuk segera menghentikan konflik. Ini berarti Rusia harus memaksa pemerintah Suriah menarik pasukannya dari Idlib.”
Uni Eropa juga memperingatkan tentang potensi meluasnya perang di Idlib sebagai pertempuran terakhir di Suriah. Namun tidak satu pun dari Barat tertarik untuk mendukung pasukan Turki di Idlib. Pendekatan ini tentu saja membangkitkan kemarahan Ankara dan untuk itu, Turki membuka perbatasannya dengan Yunani untuk pengungsi sebagai cara menekan Uni Eropa.
Barat bersama sekutunya Turki dan Arab, memainkan peran utama dalam menyulut krisis dan perang di Suriah dengan mendukung kelompok-kelompok teroris untuk menumbangkan pemerintahan sah Damaskus. Akan tetapi upaya ini gagal total setelah delapan tahun.
Tindakan Turki di wilayah Suriah, bukan hanya melanggar hukum internasional, tapi juga dapat memperluas konflik di Idlib dan membuka konfrontasi langsung antara pasukan kedua negara.
Setelah posisi pasukannya terdesak di Idlib, Erdogan berniat melakukan pertemuan dengan Presiden Putin di Moskow. Istana Presiden Turki menyatakan bahwa Presiden Erdogan akan berkunjung ke Rusia pada 5 Maret ini.
Erdogan pada 2 Maret lalu, menyampaikan harapan bahwa pertemuannya dengan Putin, dapat mendorong terciptanya gencatan senjata di Idlib. “Saya akan mendiskusikan perkembangan yang terjadi dengan Putin. Saya berharap akan segera mencapai gencatan senjata atau langkah-langkah terkait lainnya,” ujarnya.
Namun, Putin tampaknya akan meminta pasukan Turki meninggalkan Provinsi Idlib dan mengakhiri dukungannya kepada kelompok teroris. Karena, Rusia menekankan kedaulatan pemerintah Suriah atas seluruh wilayahnya termasuk Idlib dan pentingnya menumpas habis teroris yang bersembunyi di wilayah itu. (RM)