Islamophobia di Barat (12)
Di kota Munster, Jerman pada 11-12 September 2017 dihelat dialog internasional antaragama bertema "Avenues of Peace. Religions and cultures in a dialogue" atau jalan damai, dialog agama dan budaya. Dialog itu dihadiri oleh sekitar 3000 orang dari berbagai negara.
Dialog antaragama diyakini sebagai salah satu metode efektif untuk mengenalkan agama dan menyelesaikan masalah serta menekankan persamaan di antara masyarakat, di dunia yang penuh dengan turbulensi dan kegaduhan ini. Karena semua ajaran agama mengajak pada kebaikan dan mencegah keburukan.
Baik dan buruk adalah dua kata kunci dalam setiap agama. Hampir seluruh agama Ibrahimik dan non-Ibrahimik memiliki pandangan yang sama tentang hal ini. Akan tetapi masing-masing agama, dengan memperhatikan ajaran-ajarannya, memiliki banyak cara untuk menyampaikan kebaikan dan keburukan, dan mengajak para pengikutnya untuk berbuat baik dan menjauhi keburukan.
Nabi Muhammad Saw adalah nabi terakhir dan utusan Allah Swt di muka bumi, dan kitab suci sebelum Islam juga sudah mengabarkan tentang kedatangan seorang nabi bernama Muhammad. Kenyataannya, Nabi Muhammad Saw mengajak umat manusia ke agama sempurna yaitu Islam, dan Islam adalah penyempurna seluruh agama langit.
Allah Swt mengutus para nabi kepada manusia untuk membimbing dan menyeru mereka untuk berbuat kebaikan, dan menyampaikan bahwa kehidupan manusia tidak hanya terbatas di dunia semata, tapi akan hidup abadi di alam lain. Kedudukan manusia di alam sana tergantung pada perbuatannya di dunia ini.
Para nabi diangkat dengan tujuan yang sama, dan dengan memperhatikan kapasitas yang dimiliki manusia di masanya, mereka menyampaikan pesan Ilahi. Nabi Muhammad Saw adalah penyempurna ajaran nabi-nabi sebelumnya. Dalam kesempatan ini, kami tidak bermaksud berbicara tentang kebenaran satu agama tertentu, tapi mengenalkan secara umum ajaran Islam dan agama lain.
Tidak ada satu agamapun yang mengajak kepada ekstremisme dan kekerasan serta memaksakan keyakinannya kepada orang lain. Jika ada orang yang mengajak kepada ekstremisme dan kekerasan dengan bersandar pada sebagian ajaran agama, maka sebenarnya ia hanya ingin melegitimasi pemikiran dan perbuatannya yang menyimpang di hadapan para pengikut agama tersebut.
Oleh sebab itu, karena pemahaman-pemahaman yang keliru dari sebagian orang ekstrem dari ajaran agama tertentu, maka mereka menyerang agamanya sendiri dan menciptakan ketakutan bagi orang lain.
Namun di sini ada pengecualian dan itu terkait dengan Islam. Kata Islamofobia adalah istilah yang banyak di gunakan dalam terminologi media dan politik Barat. Tidak ada satu agamapun selain Islam yang mendapat predikat menakutkan semacam ini. Jelas ada tendensi-tendensi politik besar di balik munculnya istilah Islamofobia.
Islamofobia adalah sebuah istilah yang merujuk pada ketakutan, prasangka dan diskriminasi tidak rasional terhadap Islam dan Muslim. Istilah Islamofobia mengandung arti bahwa Dunia Islam secara umum dan Muslim yang tinggal di negara-negara Barat secara khusus, dianggap sebagai sumber ancaman dan bahaya bagi masyarakat, budaya dan peradaban Barat.
Pendeknya, Islamofobia berarti bahwa Islam sama sekali tidak punya kesamaan dengan agama dan budaya lain. Ia adalah sebuah agama kekerasan, jumud dan tidak adil, pada saat yang sama, peradaban Islam dibandingkan peradaban Barat dianggap lebih rendah dan lebih pantas disebut sebagai ideologi politik daripada agama.
Oleh karena itu, umat Islam selalu dianggap mengancam nilai-nilai nasionalisme dan budaya Barat. Pemerintah dan media Barat menggunakan konsep-konsep keadilan dan perdamaian sebagai dasar untuk menjustifikasi dan menyebarluaskan keyakinan serta pemikiran kelirunya ini.
Mereka mengumumkan kepada masyarakat dunia bahwa Islam melakukan tindakan kekerasan dan kejahatan sebagaimana yang dilakukan kelompok teroris Takfiri semacam Daesh. Padahal mereka punya agenda besar dengan menciptakan istilah Islamofobia di tengah masyarakat Barat dan dunia.
Namun disesalkan, dialog-dialog antaragama yang diselenggarakan di sejumlah negara Barat ternyata tidak menjadi momen untuk bertukar pikiran dan pendapat, serta menyingkirkan prasangka-prasangka serta pandangan keliru tentang agama, tapi lebih merupakan ajang untuk menyebarluaskan keyakinan keliru para pejabat pemerintah Barat terkait Islam kepada para pengikut agama lain.
Dialog agama di Munster, Jerman termasuk di antaranya. Pembicara pada acara pembukaan dialog ini adalah Kanselir Jerman, Angela Merkel dan Presiden Parlemen Eropa, Antonio Tajani.
Merkel dalam pidatonya mengajak perwakilan agama-agama dan gereja untuk melawan dominasi agama oleh kelompok-kelompok yang memusuhi kemanusiaan. Merkel menuturkan, agama adalah penjamin terwujudnya perdamaian, oleh karena itu tidak ada alasan untuk membenarkan perang dan kekerasan atas nama salah satu agama.
Di saat yang sama, Kanselir Jerman dalam pidatonya sama sekali tidak menyinggung peran Barat dalam menumbuhkan ekstremisme dan terorisme di dunia. Realitasnya, sebagian besar gerakan ekstrem di dunia ini berusaha melegitimasi kejahatannya dengan bersandar pada agama.
Akan tetapi gerakan-gerakan ekstrem ini tidak lahir begitu saja. Ada pihak di balik munculnya gerakan-gerakan ekstrem dan teror yang sama sekali bertentangan dengan klaimnya sebagai perisai kemanusiaan, mereka tidak pernah mematuhi prinsip moral, kemanusiaan dan aturan internasional.
Instabilitas dan ketidakamanan yang melanda banyak negara Muslim adalah buah dari kebijakan negara-negara Barat. Barat memainkan peran asli dalam merusak citra Islam dan menyebarluaskan propaganda Islam sebagai agama yang mendukung ekstremisme dan kekerasan. Saat Muslim menjadi korban ekstremisme dan kekerasan, mereka dengan mudah menutup mata dan mengabaikannya.
Namun ketika menyaksikan kejahatan Daesh dan Al Qaeda yang dilakukan atas nama Islam, maka mereka akan meliput dan memberitakannya besar-besaran di seluruh penjuru dunia. Reaksi negara-negara Barat atas pembunuhan massal Muslim Rohingya di Myanmar adalah bukti nyata standar ganda yang diterapkan pemerintah Barat dan medianya.
Kebisuan pemerintah dan media arus utama Barat menyaksikan kejahatan kemanusiaan terhadap orang-orang lemah, tertindas, tanpa perlindungan dan rumah-rumahnya dibakar di Myanmar, pemerkosaan gadis-gadis Muslim Rohingya dan pembunuhan anak-anak, penyaliban kaum laki-lakinya dan pembakaran hidup-hidup mereka serta pemutusan hak warga negara kaum Rohingya, menggambarkan dengan jelas praktik standar ganda Barat terhadap genosida, apartheid, ekstremisme dan terorisme.
Negara-negara Barat tidak mau bahkan hanya untuk sekadar memprotes dan meminta Aung San Suu Kyi, si pemenang Nobel perdamaian itu untuk menghentikan pembunuhan terhadap Muslim Rohingya.
Apakah jika bukan Muslim Rohingya yang dibunuh tapi Kristen atau Yahudi, Barat akan bersikap seperti ini ? Apakah mereka akan tetap memberikan hadiah Nobel perdamaian kepada Suu Kyi ?. (HS)