Des 17, 2020 14:56 Asia/Jakarta
  • Islamophobia di Barat (70-Habis)

Islamophobia dan sentimen anti-Islam telah menembus lapisan sosial masyarakat di negara-negara Barat. Anggota parlemen Belgia, Mahinur Ozdemir mengakui keberadaan kelompok-kelompok rasis dan anti-Islam di benua Eropa.

“Faktanya menjadi seorang Muslim di Eropa sangat sulit, karena Anda harus berjuang di berbagai front secara bersamaan untuk melawan serangan terhadap keyakinan Anda,” kata perempuan berjilbab ini.

“Menjadi Muslim di Eropa jauh lebih sulit bagi wanita yang memakai jilbab, karena Anda kemungkinan akan mendapatkan penghinaan atau serangan rasial dan agama setiap saat,” ujar Ozdemir.

Mahinur Ozdemir.

Seorang wanita Muslim dari Wales, Inggris telah mengekspos berbagai wujud dari Islamophobia dan sentimen anti-Islam yang ditemukan di tengah masyarakat Barat.

Ayesha Abdol-Hamid (23 tahun) dalam sebuah wawancara televisi tentang kasus sentimen anti-Islam yang dihadapinya, mengatakan bahwa dia selalu harus membela diri karena warna kulitnya. Wanita berjilbab ini menuturkan bahwa setelah satu matanya membiru karena serangan berbau agama dan rasis, beberapa orang datang ke rumah mereka dan mengancam mereka.

“Saya kehilangan banyak teman di sekolah ketika saya memutuskan untuk memakai jilbab,” tambahnya.

Ayesha Abdol-Hamid mengisahkan, “Saya masih ingat suatu ketika di sekolah, seseorang berkata kepada saya bahwa saya akan cantik jika saya berkulit putih. Ketika seseorang mengancam Anda atau menyuruh Anda untuk kembali ke negara Anda, rasa sakitnya bahkan lebih besar daripada saat Anda diserang secara fisik.”

Gadis Muslim ini masih teringat bahwa ketika dia masih remaja, sekelompok preman tak dikenal yang menutupi wajah mereka mengancam dia dan keluarganya di rumah mereka di sebuah desa di Wales, Inggris. Para preman ini membuang sampah di depan rumah mereka dan mengancam mereka.

Ayesha Abdol-Hamid.

Tidak hanya imigran dan ekspatriat Muslim yang dihadapkan pada perilaku diskriminatif dan rasis. Warga muallaf juga menjadi sasaran serangan anti-Islam. Ronja Wilhelmina Andersson, kiper timnas perempuan sepak bola nasional Swedia yang baru masuk Islam, mengungkapkan dalam sebuah wawancara televisi bahwa ia menghadapi berbagai intimidasi dan penghinaan selama tujuh bulan terakhir karena memeluk Islam.

Ronja Andersson dalam sebuah acara televisi, menuturkan bahwa ia mencoba menjalankan kewajiban Islam bersama dengan sebuah keluarga Turki dan memutuskan untuk menjadi seorang Muslim. “Saya memiliki kehidupan yang damai setelah menjadi seorang Muslim, saya membaca al-Quran, saya melakukan shalat dan berpuasa,” tambahnya.

“Saya bangga dan senang menjadi seorang Muslim,” tegas Ronja Andersson. Dia menjadi topik hangat di Swedia ketika ia masuk Islam pada Mei 2018. Setelah peristiwa ini, ia menghadapi berbagai intimidasi termasuk lewat surat yang dikirimkan ke rumahnya.

Berdasarkan statistik terbaru, jumlah warga Muslim sekarang membentuk 450.000 hingga 500.000 dari 9 juta populasi Swedia. Gelombang Islamophobia telah mencapai Swedia, sebuah negara yang terkenal dengan kerukunan beragama. Statistik tahun 2018 menunjukkan peningkatan proporsi serangan rasis anti-Muslim di sepanjang tahun itu.

Ronja Wilhelmina Andersson.

Hans Bertil Mattias Gardell, seorang pakar perbandingan agama asal Swedia dan dosen di Universitas Uppsala Swedia, mengatakan penelitian tentang Islamophobia menunjukkan bahwa gelombang Islamophobia pada tahun 2018 meningkat secara signifikan.

“Menurut penelitian ini, gelombang serangan terhadap umat Islam dan masjid selama tahun 2018 mengalami peningkatan sebesar 59 persen. Pemberitaan media dan pers yang bias tentang Muslim, turut meningkatkan fenomena ini. Menurut beberapa laporan di Swedia, sebagian besar serangan rasis anti-Muslim terjadi di ibukota Swedia, Stockholm,” jelasnya.

Ajaran Islam sangat selaras dengan jiwa setiap orang yang mencari jalan kebahagiaan, keadilan, dan keselamatan dari kesesatan, sehingga menarik bahkan orang-orang yang benci Islam untuk memahami hakikat Islam yang sebenarnya.

Mantan anggota parlemen dan politisi Belanda, Joram van Klaveren – setelah bertahun-tahun membenci Islam – akhirnya menjadi seorang Muslim setelah meneliti dan mengenal prinsip-prinsip Islam secara menyeluruh dan akhirnya ia menerbitkan sebuah buku tentang keutamaan Islam. “Dalam studi saya, saya menemukan sejumlah masalah yang mengubah pandangan saya tentang Islam,” ujarnya.

Klaveren adalah anggota parlemen Belanda dari tahun 2010 hingga 2014 dan anggota Partai untuk Kebebasan, yang dipimpin oleh Geert Wilders, seorang tokoh anti-Islam dan politisi sayap kanan Belanda.

Joram van Klaveren (kiri) dan Geert Wilders.

Meskipun adanya propaganda anti-Islam secara besar-besaran, ketertarikan orang-orang terhadap Islam juga terus meningkat. Seorang tokoh Syiah Argentina, Syeikh Abdul Karim Paz dalam sebuah pidato bertepatan dengan perayaan ulang tahun kemenangan Revolusi Islam Iran ke-40 di Buenos Aires, mengatakan tidak ada prinsip dan nilai seperti kebebasan, hak asasi manusia, dan lain-lain yang diagung-agungkan oleh Amerika Serikat, tidak ditemukan di Barat dan hanya merupakan sebuah klaim.

“Sentiman anti-Islam sangat umum di Barat, namun jumlah orang Muslim di Argentina dan masyarakat Barat meningkat dari hari ke hari, yang merupakan sebuah mukjizat,” tambahnya.

Syeikh Abdul Karim Paz menuturkan, “Memang benar bahwa Taurat dan Injil juga merupakan kitab langit, tetapi sayangnya itu disimpangkan oleh beberapa orang yang memperoleh keuntungan pada waktu itu. Al-Quran adalah kitab yang meskipun dibaca ribuan kali, tetap menarik dan baru.”

Kaum Muslim memperlakukan orang-orang yang membenci Islam dengan cara yang berbeda. Alih-alih melakukan balas dendam, mereka – dengan meneladani akhlak Rasulullah Saw – membalas kejahatan dengan kebaikan dan menunjukkan perilaku kemanusiaan dalam tindakan, bukan dalam slogan.

Dalam hal ini, masyarakat Muslim menggunakan setiap kesempatan di Barat untuk membantu orang-orang yang membutuhkan dan miskin. Mereka tidak membiarkan orang-orang miskin dan yang membutuhkan kelaparan di tengah musim dingin yang membeku di Eropa dan Amerika Utara. Seperti yang dilakukan panitia Masjid al-Rashid di kota Edmonton, Alberta, Kanada. Masjid ini selalu siap untuk melindungi para tunawisma dan migran dari hawa dingin.

Masjid al-Rashid di kota Edmonton, Alberta, Kanada.

Ketua Dewan Urusan Publik Muslim Alberta, Faisal Khan Suri mengatakan, “Ini adalah semangat orang-orang Edmonton, semangat orang-orang Alberta, untuk membantu dan yang paling penting, sebagai Muslim, itulah yang kami yakini.”

“Orang-orang akan ditawari makanan panas, tempat tinggal dan kebutuhan lainnya. Para relawan akan menginap untuk membantu. Pintu masjid terbuka untuk semua orang, tidak peduli agama mereka,” ungkapnya.

“Kami adalah komunitas yang penuh kasih dan merangkul, dan tidak ada perbedaan,” kata Faisal Khan.

“Sungguh menakjubkan bahwa masjid membuka pintunya bagi yang membutuhkan dan menyediakan mekanisme pendukung lain bagi orang-orang yang membutuhkan. Ada banyak organisasi luar biasa lainnya yang berperan efektif dalam memerangi cuaca yang sangat dingin ini,” pungkasnya. (RM)

Tags