Islamophobia di Barat (68)
Edisi kali ini akan mengangkat momen perayaan 40 tahun kemenangan Revolusi Islam Iran sebagai titik awal dimulainya babak baru serangan terhadap Islam.
Rakyat Iran merayakan ulang tahun ke-40 kemenangan Revolusi Islam dengan megah sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Revolusi Islam Iran adalah sebuah titik balik dalam sejarah kontemporer dunia. Revolusi ini terjadi ketika agama di dua blok Timur dan Barat dianggap sebagai candu masyarakat atau persoalan pribadi.
Revolusi Islam merupakan titik awal dari kebangkitan pemikiran Islam, yang kemudian memunculkan kebangkitan Islam dalam berbagai bentuk dan dengan landasan ideologis yang saling terkait dalam pergerakan masyarakat Irak, Afghanistan, Mesir, Lebanon, Arab Saudi, Bahrain, Aljazair, Tunisia, Palestina, dan bangsa-bangsa Muslim lainnya.
Sebuah kebangkitan yang oleh Zbigniew Brzezinski, mantan Penasihat Keamanan Nasional Presiden AS Jimmy Carter, dianggap sebagai ancaman yang berkelanjutan terhadap kepentingan Barat di kawasan. Michel Foucault, seorang filsuf Prancis dan ahli teori sosial, melihatnya sebagai wujud dari semangat kolektif sebuah bangsa di bawah kepemimpinan tanpa kompromi, yang percaya pada penolakan hegemoni dan dominasi Barat dan setiap negara asing atas takdir Iran.
Majalah Partai Komunis Italia, L'Unita menyebutnya sebagai sebuah kebangkitan baru global di mana tidak sejalan dengan tatanan dunia yang ada dan sekarang Revolusi Islam Iran adalah penyerunya. Peneliti Amerika, James Bill menganggap Revolusi Islam Iran sebagai gelombang kegairahan massa yang dipengaruhi oleh Islam. Meskipun secara lahiriyah tidak saling terkait di mana pun di dunia, tetapi secara ideologis mereka satu.
Pada dasarnya, kemenangan Revolusi Islam Iran mengindikasikan kemenangan ide dan pembangunan Islam. Ide ini menjadi model bagi bangsa-bangsa Muslim yang tertindas. Oleh karena itu, sebuah revolusi yang dipimpin oleh seorang ulama dan otoritas tingkat tinggi keagamaan, dipandang oleh Uni Soviet di blok Timur serta Amerika Serikat dan sekutunya di blok Barat, sebagai ancaman terhadap hegemoni dan supremasinya di sebagian besar dunia.
Kedua kekuatan adidaya dan sekutu mereka kemudian mengambil sikap konfrontatif terhadap Iran, mazhab Syiah, dan Islam. Musuh Revolusi Islam di dua blok Timur dan Barat, meluncurkan beragam aksi permusuhan di bidang politik, ekonomi, dan militer serta mendukung kubu anti-revolusi untuk menggulingkan sistem Republik Islam yang baru berdiri, dan melancarkan propaganda dan perang psikologis melawan Revolusi Islam.
Propaganda dan perang psikologis ini dilancarkan dalam wujud Iranphobia di tingkat regional, Syiahphobia di tingkat trans-regional, dan Islamphobia di tingkat global.
Islamphobia bukanlah sebuah fenomena baru di Barat dan akarnya dapat ditemukan pada Perang Salib. Namun pasca kemenangan Revolusi Islam, kampanye Islamphobia membesar dan menjadi sebuah fenomena global. Gelombang pertama Islamophobia dalam setengah abad terakhir muncul bersamaan dengan Revolusi Islam.
Revolusi Islam mendorong munculnya kebangkitan Islam di kawasan dan dunia serta merusak perimbangan internasional. Dengan runtuhnya sistem komunis dan Uni Soviet pada awal 1990-an, maka strategi Islamphobia menjadi perhatian AS dan sekutunya di Eropa.
Berkaitan dengan hal itu dan pada tahun 1992, muncullah teori benturan peradaban yang diperkenalkan oleh Samuel Huntington. Dalam teorinya, Huntington menjelaskan bahwa garis patahan antar peradaban merupakan batas konflik masa depan, dan peradaban Islam akan menjadi ancaman terbesar bagi peradaban Barat.
Dengan teori ini, pusat-pusat pembuat keputusan berusaha menanamkan anggapan bahwa batas geografis dunia Islam itu berdarah. Kampanye Islamophobia kemudian diintensifkan lewat propaganda media-media Zionis setelah serangan 11 September.
Mengaitkan serangan itu kepada kelompok Islam telah menciptakan sentimen di Barat bahwa dengan lebih banyak kebebasan bertindak, mereka dapat menyiapkan propaganda dan serangan militer terhadap Muslim. Seorang Barat menulis sebuah buku pada saat itu yang menyatakan bahwa Tuhan memberikan mandat kepada Amerika Serikat untuk mengalahkan Islam.
Sebagian pakar teori dan peneliti yang dekat dengan spektrum Neo-konservatif Amerika telah berbicara tentang kemunculan era baru Perang Salib. Beberapa legislator atau politisi Barat menganggap penyebaran Islam di Eropa sebagai “tsunami Islam.”
Kaum Zionis kemudian berusaha untuk memadamkan dialog antar-agama dan mencegah penyebaran Islam di masyarakat Barat. Mereka memperingatkan tentang konsekuensi dari meningkatnya kekuatan dunia Islam serta menggunakan instrumen diplomasi untuk merusak citra Islam dan mazhab Syiah di tengah publik Barat. Sebagian partai sayap kanan menyerukan kebijakan yang lebih ketat terhadap imigrasi Muslim ke Eropa.
Bersamaan dengan kampanye Syiahphobia, lembaga-lembaga propaganda yang berafiliasi dengan Zionis melancarkan perang media dengan menyebarkan sentimen anti-Islam, sehingga pasca peristiwa 11 September, raksasa media rezim Zionis memulai babak baru Perang Salib. Mereka memperingatkan AS dan Uni Eropa tentang tsunami Islam.
Zionis berusaha menciptakan ketakutan, kecemasan, dan ketidakpercayaan terhadap umat Islam. Semua ini bertujuan untuk mencegah masuknya pemeluk agama lain ke Islam, memadamkan slogan dialog antar-agama, dan memperingatkan tentang meningkatnya kekuatan negara-negara Muslim.
Gelombang keempat Islamophobia muncul menyusul kegagalan AS dalam menduduki Irak pada tahun 2003. Setelah AS gagal di Irak, perhatian yang lebih besar kemudian ditujukan ke Iran. Gelombang keempat Islamophobia dirancang dan dilaksanakan dengan cara yang lebih agresif, meluas, dan rumit. Mereka menggunakan cara-cara seperti sindiran, ejekan, penghinaan, dan distorsi terhadap ajaran dan kesucian Islam.
Dari sudut pandang psikologis, Islamophobia juga dapat dianalisis sebagai sejenis penyakit mental kelompok dan sosial. Salah satu jenis penyakit mental, seseorang akan mencari kekurangannya pada orang lain dan menyerang mereka karena itu.
Dalam kasus Islamophobia, situasi ini telah berubah menjadi penyakit yang menjangkiti sebuah kelompok. Dengan kata lain, peradaban Barat – dengan sejarah panjang dalam perang, pengadilan akidah (inkuisisi), Perang Salib, dan pembantaian – melihat kekerasan historisnya di pihak lain setelah peristiwa 11 September dan mencari refleksi di tempat lain, di luar dirinya.
Juga ada sejenis ketakutan dalam penyakit mental ini. Eropa dan AS kini menyumbang 65 persen dari belanja militer dunia, Amerika dengan sendirinya menyumbang 41 persen dari total belanja militer dunia. Dapat dikatakan bahwa hanya orang-orang yang takut akan menghabiskan begitu banyak uang untuk senjata.
Ketidakamanan hidup masyarakat adalah salah satu dari dampak pertama kampanye Islamophobia. Artinya, ketika ada ketakutan umum terhadap minoritas Muslim di suatu negara, maka kehidupan mayoritas masyarakat juga menjadi tidak aman, dan bukan hanya minoritas Muslim. Jadi, dapat disimpulkan bahwa masyarakat Barat sendiri akan menjadi komunitas pertama yang merasakan dampak dari kebijakan dan strategi Islamophobia. (RM)