Islamophobia di Barat (19)
Para pemimpin kanan ekstrem Eropa pada 15-16 Desember 2017 bertemu di Praha, Republik Ceko, untuk menyatukan pandangan mereka tentang imigrasi dan isu-isu lainnya.
Pertemuan itu dihadiri oleh para tokoh anti-imigran dan anti-Muslim Eropa seperti Marine Le Pen dari Prancis, Geert Wilders dari Belanda, Matteo Salvini dari Italia, serta para politisi sayap kanan Austria, dan juga sejumlah perwakilan dari Kelompok Bangsa-Bangsa dan Kebebasan Eropa (ENF).
Pertemuan Praha digagas oleh tokoh anti-imigran dan anti-Islam, Tomio Okamura, ketua Partai Kebebasan dan Demokrasi Langsung (SPD) Republik Ceko. Pada pemilu legislatif 2017, partai ini memperoleh hampir 11 persen suara dan masuk ke parlemen Ceko untuk pertama kalinya.
Partai-partai sayap kanan mencatat kesuksesan besar dalam pemilu beberapa tahun terakhir di Eropa, dan mereka telah mengubah peta politik di banyak negara Eropa. Kubu ekstrem kanan meraih sukses di tengah krisis finansial yang dihadapi beberapa pemerintah Eropa, serbuan para imigran, dan ancaman terorisme di benua itu.
Kebijakan pemerintah dan media-media Eropa tentu saja ikut mendorong pertumbuhan kubu sayap kanan di sana. Sebenarnya, partai-partai kanan moderat Eropa sedang berusaha meniru kebijakan dan slogan kubu ekstrem kanan agar tidak kehilangan basis massanya. Sayap ekstrem kanan bahkan menuding kubu kanan moderat telah membajak slogan-slogan mereka.
Sebelum munculnya perkembangan baru di Eropa, masyarakat Eropa telah meninggalkan partai-partai ekstrem kanan dan kelompok nasionalis-ekstrem tidak memiliki basis massa yang kuat. Kemenangan mereka dalam sebuah pemilu, tidak akan terulang di pemilu berikutnya.
Namun saat ini perimbangan itu telah berubah. Kubu kanan dan kiri moderat telah kehilangan basis massanya dan mereka menelan kekalahan besar di setiap pemilu.
Pemilu legislatif Republik Ceko menjadi contoh terbaru dalam kasus ini. Kubu ekstrem kanan dan anti-Islam meraih kemenangan yang belum pernah terjadi sebelumnya di Ceko, sejak pembagian Cekoslowakia menjadi Republik Ceko dan Slowakia.
Di Austria, kubu ekstrem kanan, Partai Kebebasan mencatat kemenangan besar dengan mengantongi hampir 26 persen suara dan menduduki posisi kedua di parlemen Austria. Partai Rakyat Austria (OVP) sebagai pemenang pemilu, hanya memiliki satu opsi untuk membentuk pemerintah yaitu berkoalisi dengan Partai Kebebasan.
Partai Sosial Demokrat Austria (SPO) mengumumkan bahwa mereka tidak akan lagi berkoalisi dengan OVP, setelah 10 tahun menjadi mitra partai tersebut. dengan demikian, kubu ekstrem kanan sekarang resmi duduk di pemerintahan di Republik Ceko dan Austria.
Transformasi lain di Eropa adalah naiknya popularitas partai-partai ekstrem kanan di Jerman. Partai Alternatif Jerman (AfD) meraih 92 kursi parlemen (Bundestag) pada pemilu legislatif 24 September 2017. Ini pertama kali setelah Perang Dunia II di mana kubu ekstrem kanan berhasil duduk di parlemen Jerman.
Tahun 2017 adalah tahun kemenangan partai-partai ekstrem kanan di Benua Biru. Mereka berhasil mengubah peta politik di Eropa dan mendobrak tradisi politik bipolar yang mendominasi sebagian besar negara Eropa. Krisis politik, ekonomi, sosial, dan identitas di Eropa telah menggeser para pemain lama dari panggung politik di benua itu.
Partai moderat kanan dan kiri Eropa dianggap tidak memiliki program untuk memecahkan krisis di Eropa. Oleh karena itu, banyak dari slogan dan program-program mereka tidak berhasil menyita perhatian publik.
Masyarakat Eropa sedang mencari ide-ide baru untuk perubahan politik dan ekonomi di negara mereka. Mereka berpikir partai-partai ekstrem kanan bisa menciptakan perubahan di negaranya.
Banyak pihak lupa bahwa dukungan kepada kubu ekstrem kanan justru akan menyeret negara-negara Eropa dan Uni Eropa dalam banyak persoalan baru serta membuat mereka rentan terhadap krisis. Masalah utama yang dihadapi Uni Eropa saat ini adalah ancaman terhadap integrasi Eropa.
Selain itu kebijakan kubu ekstrem kanan membahayakan kehidupan damai dan rukun di antara berbagai etnis dan imigran (generasi pertama) terutama komunitas Muslim dengan warga lain Eropa. Sekitar 20 juta Muslim tinggal di berbagai negara anggota Uni Eropa. Jika partai-partai ekstrem kanan ingin menjalankan kebijakan anti-Islam, Eropa akan menghadapi sebuah krisis identitas yang serius.
Salah satu kebanggaan orang-orang Eropa adalah upaya untuk membentuk sebuah masyarakat dengan multikulturalisme. Dalam Piagam Eropa dan konstitusi negara-negara Eropa, menghormati keyakinan beragama diakui sebagai salah satu hak dasar warga negara.
Organisasi dan kubu ekstrem kanan ini mengancam prinsip-prinsip dasar toleransi dan kebebasan yang telah dibangun di Eropa sejak jatuhnya Nazi Jerman.
Saat ini transformasi global bergerak berlawanan dengan proses politik di Eropa. Batas geografi tidak lagi menjadi garis pemisah negara-negara. Kubu ekstrem kanan – dengan kebijakan anti-imigran dan anti-Islam – tidak akan bisa menetapkan bahwa negaranya terpisah dari komunitas dunia dan kemudian membangun tembok di sekelilingnya.
Sebuah bangsa yang mampu berinteraksi dengan dunia dan menerima orang-orang dengan berbagai latar belakang agama dan etnis, akan lebih baik dalam merawat keragaman budaya mereka.
Secara geografis, negara-negara Eropa tidak mungkin bisa mengabaikan perkembangan yang terjadi di sekitar mereka di Timur Tengah dan Afrika. Mereka membutuhkan tenaga kerja murah dan juga keahlian yang dimiliki oleh sebagian imigran.
Tanpa memperhatikan kebutuhan ini dan perkembangan di Timur Tengah dan Afrika, masyarakat Eropa akan menghadapi krisis serius di dalam wilayah mereka sendiri dan dalam hubungannya dengan negara-negara tetangga di kawasan tersebut.
Untuk menenangkan sayap kanan, pemerintah di seluruh Eropa telah menerapkan apa yang hanya dapat dianggap sebagai hukum yang diskriminatif dan anti-Islam. Kebijakan diskriminatif tersebut termasuk larangan jilbab untuk profesi tertentu, larangan niqab di tempat, dan aturan larangan pembangunan menara masjid, yang semuanya membatasi kebebasan Muslim. (RM)