Nov 18, 2019 18:47 Asia/Jakarta
  • Aksi protes terhadap Islamophobia di Prancis.
    Aksi protes terhadap Islamophobia di Prancis.

Jilbab dalam Islam memiliki kedudukan khusus. Ia merupakan salah satu simbol penting yang membedakan antara masyarakat Muslim dan non-Muslim serta antara perempuan Muslim dan non-Muslim.

Panduan khusus mengenai jilbab dapat ditemukan di al-Quran, hadis Rasulullah Saw, dan ucapan para imam maksum. Mayoritas Muslim juga berusaha mengamalkan ajaran tersebut.

Kubu anti-Islam di Barat – dengan alasan kebebasan dan pembebasan perempuan – menciptakan pembatasan bagi masyarakat Muslim di negara-negara Barat. Kebijakan pemerintah Barat telah mendorong kelompok anti-Islam untuk menyerang dan menyakiti wanita Muslim.

Prancis – tempat lahirnya kebebasan berekspresi di Barat – adalah salah satu negara yang memolopori larangan jilbab bagi wanita Muslim. Pelajar putri Muslim Prancis menjadi korban pertama undang-undang larangan jilbab. Mereka dilarang memakai jilbab di sekolah-sekolah atas keputusan pemerintah Prancis yang juga disetujui oleh parlemen.

Berdasarkan UU tersebut, masyarakat dilarang memakai simbol-simbol yang menunjukkan identitas agama tertentu. Padahal, pemilihan jenis pakaian adalah bagian dari hak asasi setiap individu dan warga negara. Model kebebasan berekspresi seperti ini mengundang tanda tanya, karena pengikut sebuah agama tidak dapat memilih pakaian berdasarkan ajaran agamanya.

Perempuan Muslim memilih jilbab atas dasar keyakinannya dan bukan karena tekanan atau paksaan. Pemerintah dan lembaga peradilan Prancis – dengan berbagai alasan – berusaha memaksa perempuan Muslim untuk menanggalkan jilbabnya dan menetapkan denda untuk mereka yang menolaknya, seakan perempuan Muslim telah melakukan tindak kriminal.

Sebuah pengadilan di kota Toulouse, Prancis, menjatuhkan vonis enam bulan penjara terhadap seorang wanita Muslim yang menolak permintaan polisi untuk melepaskan cadarnya. Kejahatan wanita tersebut adalah menutup wajahnya di muka umum.

Prancis berada di garda terdepan dalam memberlakukan larangan untuk wanita Muslim. Pembatasan dan larangan ini menjalar ke negara-negara lain Eropa, dan hampir di semua negara Eropa disahkan aturan yang melarang wanita Muslim mengenakan jilbab di tempat umum dan sekolah-sekolah.

Larangan memakai cadar juga berlaku di Austria.

Dalam sebuah kasus terbaru, pengadilan di kota Berlin melarang kehadiran seorang guru berjilbab di sekolah dasar. Berdasarkan undang-undang netralitas di Berlin, pengadilan menganggap aktivitas guru berjilbab di sekolah dasar, melanggar hukum dan menyimpulkan bahwa undang-undang netralitas tidak melanggar Konstitusi Jerman.

Pengadilan Berlin juga menolak permohonan yang diajukan oleh wanita Muslim dan berdasarkan undang-undang netralitas, ia tidak bisa mengenakan jilbab saat mengajar di sekolah. Undang-undang netralitas melarang pekerja/pegawai untuk mengenakan simbol-simbol agama.

Putusan pengadilan Berlin mendapat penentangan dari dalam Jerman. Senator kota Berlin dari Partai Hijau, Dirk Behrendt memprotes undang-undang tersebut dan berjanji akan mengubah undang-undang netralitas.

"Undang-undang netralitas Berlin tidak dapat menjadi acuan berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Federal. Larangan publik terhadap orang-orang yang ingin menggunakan simbol-simbol agama adalah diskriminatif," tegasnya.

Juru bicara partai kiri di Bundestag Jerman, Christine Buchholz mengatakan, "Wanita Muslim diperlakukan diskriminatif di bursa kerja. Dengan putusan itu, para hakim telah mengirim sebuah sinyal rahasia kepada masyarakat bahwa mereka tidak selaras dengan tantangan yang dihadapi kota-kota seperti Berlin."

"Masalahnya di Jerman bukan tentang menara, jilbab, atau muazin, tetapi tentang rasisme terhadap minoritas agama," ungkapnya.

Pada tahun 2017, seorang guru Muslimah berhasil mendapat ganti rugi 8.680 euro dari Kementerian Pendidikan di kota Berlin. Ia menuturkan bahwa dirinya dilarang mengajar di sekolah karena memakai jilbab dan mendapat perlakukan diskriminatif.

Ini menunjukkan bahwa ada perbedaan penafsiran dari sebuah undang-undang di Jerman, dan menjadi bukti atas pengaruh kubu anti-Islam di lembaga pemerintah dan peradilan.

Pembatasan untuk wanita Muslim di Eropa dimulai seiring dengan meningkatnya sentimen anti-Muslim di Barat. Fenomena ini tidak ada hubungannya dengan masalah kebebasan berekspresi dan pembebasan wanita dari "pengekangan" atau melanggar undang-undang sekuler di Prancis.

Jilbab merupakan ajaran agama Islam dan wanita Muslim mematuhinya dengan kesadaran penuh. Islam – sama seperti agama lain – memiliki seperangkat aturan dan kewajiban untuk membangun masyarakat berdasarkan ajaran Allah Swt dan nilai-nilai moral. Allah telah mengutus para nabi untuk membimbing manusia ke arah kebaikan.

Jadi, ajaran sebuah agama tidak bisa dituding menyebarkan ekstremisme dan kekerasan serta melanggar kebebasan, karena ia bertentangan dengan pemikiran liberal yang dianut Barat.

Para pemimpin Barat tidak dapat memberlakukan pembatasan terhadap warga Muslim bahkan berdasarkan pemikiran liberal. Sebab, menjalani hidup berdasarkan landasan ideologi dan pemikiran adalah bagian dari kebebasan individu yang diakui oleh prinsip-prinsip liberalisme sendiri.

Namun, kubu anti-Islam di Barat berusaha memperkenalkan warga Muslim sebagai sumber ketidakamanan dan ancaman terorisme di Barat. Dengan alasan ini, mereka menerapkan pembatasan terhadap warga Muslim. Dengan alasan yang sama, kubu sayap kanan ekstrem dan rasis melancarkan serangan rasis dan pelecehan terhadap warga Muslim khususnya perempuan.

Dalam sebuah kasus rasial, seorang wanita Muslim di Jerman mendapat serangan karena mengenakan jilbab. Seorang wanita Muslim di wilayah Spandau di Berlin menjadi korban serangan. Seorang pria di halte bus bertannya kepadanya tentang alasannya memakai jilbab. Wanita ini menjawab bahwa sebagai seorang Muslim ia suka mengenakan jilbab. Pria tersebut kemudian menampar wanita Muslim itu.

Pada April 2018, dua ekstremis Jerman menyerang seorang wanita Muslim dan temannya di Berlin, dan membiarkan anjingnya untuk menyerang wanita tersebut. Di bulan yang sama, seorang pria di kota Osnabruck menarik paksa jilbab yang dikenakan oleh gadis 11 tahun.

Serangan terhadap masjid-masjid di Jerman juga mendapat sorotan luas dari komunitas Muslim di negara itu. Dalam hal ini, Ketua Dewan Muslim Jerman, Aiman Mazyek mengatakan, "Kita setiap hari menyaksikan kebencian terhadap Muslim di dunia maya dan hampir setiap minggu menerima surat ancaman tentang pemusnahan kaum Muslim. Kami selalu memperingatkan bahwa serangan fisik terjadi setelah serangan verbal."

Ketua Badan Anti Diskriminasi Jerman, Bernard Frank memperingatkan tentang intoleransi bergama di masyarakat Jerman. Dalam wawancaranya dengan surat kabar Tagesspiegel, Bernard Frank mengatakan, "Insiden seperti itu memalukan. Kita tidak dapat membiarkan serangan anti-agama apakah itu terhadap Yahudi atau Muslim. Bahkan ketika orang-orang sedang mencari pekerjaan, bekerja di stadion olahraga atau di sekolah, mereka tidak boleh disingkirkan hanya karena simbol-simbol agama, tapi sayangnya kita menyaksikan kejadian seperti itu."

Salah satu kebanggaan negara-negara Barat adalah upayanya untuk membangun masyarakat multikulturalisme dan kebebasan beragama, tetapi kubu anti-Islam di Barat telah merusak prinsip-prinsip hidup damai dan toleransi antar-berbagai pengikut agama. (RM)