Jan 20, 2020 18:00 Asia/Jakarta
  • Islamophobia di Barat (47)

Politisi anti-Islam dari Belanda, Geert Wilders menentang keanggotaan Turki di Uni Eropa. Setelah Recep Tayyip Erdogan memenangi pemilu presiden Turki, Wilders dalam sebuah pesan video menyatakan Uni Eropa tidak akan pernah menerima keanggotaan Turki.

Ketua Partai Kebebasan (PVV) – partai terbesar kedua di parlemen Belanda – dalam pesannya kepada rakyat Turki mengatakan, "Lupakanlah keanggotaan di Uni Eropa, kalian bukan orang Eropa dan tidak akan pernah menjadi anggota Uni Eropa. Seluruh nilai-nilai seperti kebebasan, demokrasi, dan hak asasi manusia yang dibela Eropa, tidak dapat disandingkan dengan dengan Islam."

Geert Wilders dikenal anti-Islam dan anti-imigran di Belanda. Dia menyerukan pembatasan terhadap kegiatan sosial warga Muslim dan penghapusan simbol-simbol agama Islam termasuk masjid di Belanda dan seluruh Eropa. Sebelumnya dia pernah menyerukan agar al-Quran dilarang dan menyebut Islam sebagai keyakinan totalitarian.

Wilders menjustifikasi penghinaan terhadap sakralitas Islam sebagai kebebasan berekspresi. Ia mulai dikenal luas di dunia setelah memproduksi sebuah film pendek anti-Islam yang berjudul "Fitna" pada tahun 2008.

Turki telah mengajukan permohonan keanggotaan di Uni Eropa sejak sekitar enam dekade lalu. Organisasi itu menerima permohonan Turki pada 2005. Namun keanggotaan ini membutuhkan proses panjang.

Negara pemohon harus menyelaraskan kondisi politik, ekonomi, peradilan, sosial, dan budayanya dengan Uni Eropa. Untuk dapat memperoleh keanggotaan penuh, Turki harus memenuhi 35 bab negosiasi yang harus disetujui oleh semua negara anggota Uni Eropa.

Negara pemohon harus menegosiasikan satu per satu isi bab tersebut dengan Uni Eropa serta melakukan reformasi dan langkah-langkah untuk menyesuaikan dirinya dengan ketentuan blok Eropa.

Namun, syarat keanggotaan Turki di Uni Eropa dan kondisi perundingan dengan Ankara, benar-benar berbeda dengan para kandidat lain yang ingin menjadi anggota. Perbedaan perlakuan ini disebabkan oleh keengganan beberapa negara kunci blok Eropa seperti Prancis, Jerman, Austria, dan Belanda, untuk menerima kehadiran Turki.

 

Permohonan Turki untuk menjadi anggota Uni Eropa diterima karena beberapa pertimbangan politik dan ekonomi. Misalnya, Uni Eropa pada 2005 secara bersamaan dengan Turki, juga menerima permohonan keanggotaan dari Kroasia. Kroasia bergabung dengan Uni Eropa setelah tujuh tahun negosiasi pada 2013.

Tetapi, negosiasi Eropa dengan Turki belum mengalami kemajuan walaupun satu bab dari 35 bab syarat keanggotaan. Ada banyak alasan untuk menolak kehadiran Turki di Uni Eropa. Salah satu alasan paling penting adalah populasi Turki yang mayoritas beragama Islam. Para penentang Turki selalu beralasan bahwa Uni Eropa adalah sebuah komunitas Kristen dan tidak ada ruang untuk negara Muslim Turki.

Mantan Presiden Prancis, Valerie Giscard d’Estaing pernah menyatakan bahwa Turki bukanlah negara Eropa dan bergabungnya Turki ke Uni Eropa akan menjadi akhir dari Eropa.

Lalu, mengapa ia menganggap masuknya Turki ke Uni Eropa sebagai akhir dari organisasi itu? Apakah ini sebuah pandangan pribadi? Ungkapan yang pendek ini memiliki makna yang sangat dalam, tapi tidak susah untuk mencari tafsirnya.

Tafsir ungkapan mantan presiden Prancis ini bisa dibaca dari kalimat terkenal yang diucapkan oleh mantan Kanselir Jerman, Helmut Kohl bahwa Uni Eropa adalah Christian Club.

Mantan Presiden Prancis, Nicholas Sarkozy dan Kanselir Jerman Angela Merkel, termasuk di antara politisi yang menentang keras bergabungnya Turki ke dalam Uni Eropa. Mereka mendukung Turki untuk memperoleh “priviledged partnership” dibandingkan dengan “full membership.” Tetapi, Ankara menolak status kemitraan istimewa ini.

Sementara itu, negara-negara seperti Spanyol dan Polandia serta Partai Sosial-Kristen Jerman, menyerukan agar ajaran Kristen dapat diterima sebagai inti dari identitas Eropa. Namun, permintaan ini bertentangan dengan pandangan para perancang proyek integrasi Eropa. Proyek integrasi Eropa melampaui masalah ras, etnis, dan agama.

Proyek integrasi ini – yang dikenalkan pasca Perang Dunia II – bertujuan untuk menghapus semua perselisihan dan permusuhan serta membawa negara lebih dekat bersama dan meningkatkan hubungan mereka. Tetapi apa yang terjadi di Eropa sekarang adalah justru memperkuat sekat-sekat identitas, etnis, dan agama, dan membatasi masalah integrasi hanya pada isu ekonomi dan perdagangan. Jika ini yang dikejar, tentu ia telah melenceng dari ide para perancang integrasi Eropa.

Setelah Perang Dunia II, para perancang proyek integrasi Eropa membentuk Komunitas Batubara dan Baja Eropa, dan melalui pasar bersama ini, mereka berharap tercipta integrasi di sektor-sektor lain, mengurangi konflik internal Eropa secara drastis, dan memenuhi kepentingan negara-negara Eropa melalui kerja sama dan konvergensi di semua bidang.

Protes terhadap perilaku rasis dan Islamophobia di Inggris.

Proses integrasi di Eropa telah berjalan sebaliknya seiring dengan bangkitnya partai-partai ekstrem kanan dan anti-Islam. Jika 10 tahun lalu, masalah kebijakan luar negeri dan keamanan kolektif menjadi salah satu perdebatan penting dalam proses integrasi Eropa, maka saat ini perdebatan utama Eropa terfokus pada masalah identitas, budaya, dan sosial.

Ini terjadi setelah partai-partai ekstrem kanan dan anti-Islam bangkit di beberapa negara Eropa. Partai Kebebasan (PVV) pimpinan Geert Wilders bahkan menjadi partai terbesar kedua di parlemen Belanda. Salah satu isu perdebatan di bidang sosial adalah mengenai cara-cara menghalau pengungsi dan imigran.

Dengan perkembangan ini, aksesi Turki ke Uni Eropa menjadi jauh lebih sulit daripada sebelumnya.

Dalam beberapa tahun terakhir, menyusul kebijakan yang diambil oleh Presiden Erdogan, telah muncul banyak ketegangan antara Ankara dan Eropa. Beberapa negara Eropa seperti Jerman dan Belanda, bahkan tidak mengizinkan partai AKP melakukan kampanye terkait amandemen konstitusi di tengah imigran Turki.

Penentangan Wilders dan para politisi kanan ekstrem dan anti-Islam terhadap keanggotaan Turki di Uni Eropa, telah melampaui perseteruan politik antara pemerintah Eropa dan Ankara. Oposisi ini sekarang berakar pada Islamophobia.

Mereka sama sekali tidak mau menerima Turki Islami dengan penduduk 85 juta Muslim di Uni Eropa. Alasan mereka menolak keanggotaan Turki adalah karena interpretasi keliru para politisi Barat tentang Islam. Mereka menganggap Islam sebagai paham radikalisme.

Padahal, keyakinan dan pandangan kubu ekstrem kanan dan anti-Islam di Eropa seperti Geert Wilders, sama sekali tidak sesuai dengan ajaran agama Kristen dan bahkan dengan paham liberal demokrasi di Barat.

Eropa sangat terpukul dengan kebangkitan partai-partai kanan ekstrem dan rasis pada dekade 1930-an. Eropa masih syok jika mengingat pengalaman pahit kebangkitan Nazi di Jerman dan Fasis di Italia pada dekade 1930-an. Proyek integrasi Eropa dirancang untuk mencegah terulangnya tragedi Perang Dunia II, namun semuanya berbalik sekarang. (RM)