Mengenal Para Ulama Besar Syiah (5)
Muhammad bin Ali bin Husein bin Musa bin Babawaih Qommi adalah seorang ulama besar Syiah dan ia dikenal dengan Syeikh Shaduq, karena sangat amanah dan jujur dalam menukil hadis.
Kerja keras Syeikh Shaduq dalam mengumpulkan hadis dari timur ke barat Dunia Islam telah memungkinkan kaum Muslim memanfaatkan mutiara makrifat Ahlul Bait Nabi as dalam bentuk yang sahih dan dapat dipercaya. Perjuangan ulama besar ini membuat mutiara Ahlul Bait terjaga dari distorsi dan hilang ditelan masa.
Syeikh Shaduq telah menulis lebih dari 300 buku di berbagai tema seperti ushul fiqh, fiqih, tafsir, ilmu rijal, dan hadis. Kitab Man La Yahdhuruhu al-Faqih sangat populer di antara karya-karyanya yang lain dan merupakan salah satu dari Kutub Arba'ah di kalangan Syiah Imamiyah.
Setelah al-Quran, hadis-hadis Nabi Saw dan Ahlul Bait adalah sumber penting hukum dan akidah dalam mazhab Syiah. Prestasi ini dicapai Syeikh Shaduq berkat kecerdasan, ketekunan, dan ketertarikanhya untuk melestarikan makrifat Ahlul Bait as.
Dalam literatur Islam, ucapan yang dinukil dari Rasulullah Saw dan para imam maksum dari Ahlul Bait Nabi disebut hadis. Setelah al-Quran, hadis selalu memainkan peran sentral bagi kaum Muslim untuk memahami agama, ia berperan sebagai penafsir al-Quran dan penjelas agama.
Al-Quran dalam banyak ayatnya berbicara secara garis besar, dan tugas menerangkan dan menafsirkan diserahkan kepada Rasulullah Saw dan para khalifah setelahnya. Di ayat 44 surat an-Nahl disebutkan, “Dan Kami turunkan kepadamu al-Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.”
Rasulullah dan para imam maksum mendorong kaum Muslim untuk mempelajari, menuliskan, dan menyebarkan hadis, dan yang lebih penting dari itu adalah menyemangati mereka untuk memahami dan mendalami maknanya. Dari sini menjadi semakin jelas tentang kedudukan hadis-hadis sahih.
Imam Jakfar Shadiq as menukil dari ayahnya, Imam Muhammad al-Baqir as yang berkata, “Wahai putraku! Kenalilah derajat orang Syiah kami dengan timbangan periwayatan mereka atas hadis-hadis Ahlul Bait dan makrifat mereka atas hadis-hadis tersebut. Dan makrifat adalah pengetahuan atas riwayat dan dirayah hadis. Dengan diriyah dan pemahaman riwayah inilah seorang mukmin mencapai derajat iman paling tinggi.”
Kitab Man La Yahdhuruhu al-Faqih adalah karya Syeikh Shaduq yang paling populer dan paling besar setelah kitab Madinah al-Ilm. Kitab Madinah al-Ilm merupakan sebuah karya yang sangat penting dan lengkap, tapi sayangnya ia telah lenyap beberapa abad yang lalu. Deskripsi tentang kitab ini ditemukan dalam beberapa buku lain dan para ulama salaf menjadikan kitab tersebut sebagai rujukannya.
Kitab Man La Yahdhuruhu al-Faqih menyandang status sebagai salah satu dari empat kitab hadis Syiah selama 12 abad. Kitab ini memuat 6.000 hadis yang disusun berdasarkan tema-tema dalam fiqih.
Mengenai kitab tersebut, Syeikh Shaduq menulis, “Kitab ini adalah sebuah kitab mengenai persoalan fiqih, masalah halal dan haram, dan hukum-hukum syariat di mana ia memuat berbagai tema fiqih – dari perkara bersuci sampai hukum diyah – yang sejauh ini pernah saya tulis dan saya menamainya dengan Man La Yahdhuruhu al-Faqih yaitu kitab (bagi) orang yang tidak menemukan seorang faqih, sehingga ketika dibutuhkan ia dapat menjadi rujukan yang bisa dipercaya dan meyakinkan bagi orang yang tidak menemukan seorang faqih… Tujuan saya adalah membawakan sekumpulan dari riwayat yang dengannya saya mengeluarkan fatwa dan menghukumi keabsahannya.”
Sejauh ini 23 syarah (penjelasan) telah ditulis untuk kitab Man La Yahdhuruhu al-Faqih, yang selalu mendapat perhatian dari para ulama Syiah. Sayangnya, kebanyakan dari syarah itu sudah hilang atau hanya naskah tulisan yang tersisa dan tidak dipublikasikan secara luas.
Raudhah al-Muttaqin karya Majlisi Awal, tercatat sebagai syarah yang paling terkenal untuk kitab kitab Man La Yahdhuruhu al-Faqih. Sebagaimana diketahui bahwa Man La Yahdhuruhu al-Faqih adalah salah satu dari empat kitab hadis Syiah di samping kitab al-Kafi karya Syeikh Abu Ja'far Kulaini, Tahdzib al-Ahkam ditulis oleh Syeikh al-Thaifah Abu Ja'far bin Hasan Thusi, dan kitab Al-Istibshar juga ditulis oleh Syeikh Thusi. Masing-masing dari kitab induk ini memiliki keistimewaan sendiri.
Perbandingan antara kitab al-Kafi dan Man La Yahdhuruhu al-Faqih menunjukkan bahwa karya Syeikh Shaduq ditulis dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan hukum praktis dan persoalan fiqih, sedangkan al-Kafi selain selain masalah hukum dan fiqih, juga memuat hadis-hadis tentang akidah dan akhlak.
Syeikh Shaduq tidak menyebutkan sanad riwayat secara sempurna dalam Man La Yahdhuruhu al-Faqih sehingga volume kitabnya tidak terlalu banyak dan menyulitkan pembaca. Namun, sanad hadis secara lengkap dikumpulkan dalam sebuah kitab berjudul Masyikhah untuk para peneliti.
Sebagian pembahasan dalam Man La Yahdhuruhu al-Faqih adalah masalah air, thaharah (bersuci) dan najis, kewajiban-kewajiban shalat dan pendahuluannya seperti wudhu, mandi, dan tayammum, persoalan mengurusi mayit, hukum-hukum shalat, hukum-hukum peradilan, hukum-hukum seputar jual-beli, bab pernikahan, hukum warisan, dan masalah-masalah lain.
Metode penulisan kitab Man La Yahdhuruhu al-Faqih mengikuti medote yang umum dipakai pada abad-abad pertama Islam, di mana para fuqaha Syiah hanya menukil riwayat dari Rasulullah Saw dan para imam maksum.
Sejak masa Syeikh Mufid, – murid Syeikh Shaduq yang paling hebat – metode tersebut mulai berubah secara perlahan, karena beradaptasi dengan tuntutan zaman dan kebutuhan untuk menjawab persoalan-persoalan yang dikemukakan oleh orang-orang di luar Islam dan musuh.
Seiring masuknya filsafat Yunani ke Dunia Islam dan munculnya masalah-masalah baru di ilmu kalam, para ulama dituntut untuk menjawab persoalan yang belum pernah ditanyakan ini. Oleh karena itu, para ulama dan fuqaha Syiah menggunakan metode baru untuk memenuhi tuntutan tersebut. (RM)