Manuver Mencurigakan Jelang Pemilu Dini di Irak
(last modified Sun, 11 Oct 2020 11:13:36 GMT )
Okt 11, 2020 18:13 Asia/Jakarta
  • unjuk rasa di Irak
    unjuk rasa di Irak

Transformasi politik dan keamanan di Irak pasca lawatan Perdana Menteri Mustafa Al Kadhimi ke Amerika Serikat bulan Agustus 2020 lalu, sekarang memasuki fase baru.

Dalam kunjungannya ke Amerika, PM Irak bertemu Presiden Donald Trump. Penguatan kerja sama ekonomi, dan kesepakatan penarikan pasukan Amerika dari Irak dalam jangka waktu tiga tahun, disebut-sebut sebagai hasil kunjungan Mustafa Al Kadhimi ke Washington.
 
Namun demikian, perkembangan politik Irak, pasca lawatan Al Kadhimi ke Amerika lebih memiliki ciri rumit, dan ambigu. Sekembalinya Al Kadhimi dari Amerika, serangan-serangan ke pangkalan militer, dan kedutaan besar Amerika di Irak mengalami peningkatan. Amerika menyalahkan kelompok-kelompok perlawanan Irak atas serangan ini, dan mengumumkan penutupan kedubesnya di Baghdad.
 
Kelompok-kelompok perlawanan tak hanya membantah tuduhan semacam ini bahkan menganggap serangan tersebut sebagai upaya terorganisir pasukan bayaran Amerika untuk merusak citra kelompok perlawanan Irak di hadapan publik negara ini, dan merupakan bentuk serangan baru terhadap kelompok perlawanan.
 
Sehubungan dengan hal ini, Juru bicara Batalion Sayyid Al Shuhada, salah satu kelompok afiliasi Hashd Al Shaabi, Kadhim Al Fartousi mengatakan, ada sejumlah bukti yang menunjukkan bahwa kedubes Amerika di Irak melalui tangan pasukan bayaran, melancarkan serangan roket ke tempat-tempat diplomatik termasuk kedubes Amerika, pasalnya Washington sedang berusaha merusak kondisi Irak, dan mempengaruhi opini publik negara ini.
 
PM Irak baru-baru ini, bertepatan dengan setahun demonstrasi bulan Oktober 2019, membantah pemberitaan seputar ancaman Amerika untuk menutup kedubesnya di Baghdad. Ia mengatakan, sampai kapanpun kami tidak akan menolerir ancaman apapun, dan dari negara manapun. Meski demikian, reaksi atas ancaman penutupan kedubes Amerika di Baghdad oleh sebagian pejabat negara itu menunjukkan bahwa ada rencana terselubung strategis di balik rumor tersebut. 
 
Tujuannya adalah menyebarkan ketakutan di tengah masyarakat Irak, bahwa dengan ditutupnya kedubes Amerika di Baghdad, tekanan ekonomi, dan isolasi politik Irak akan terjadi. Oleh karena itu, bukan hanya masalah penutupan kedubes Amerika atau penarikan pasukan negara itu dari Irak, yang disebut-sebut sama sekali tidak akan menguntungkan Baghdad, bahkan pemerintah dan kelompok politik Irak yang setuju dengan kehadiran militer Amerika, juga berusaha mempertahankan, serta memperkuat kehadiran pasukan Amerika disertai keamanan misi diplomatik, dan militernya.
 
Mustafa Al Kadhimi terkait hal ini dalam pidatonya memperingati setahun demonstrasi Oktober 2019 mengatakan, ancaman untuk mengucilkan Irak akan berpengaruh langsung pada perekonomian negara ini, karena investasi finansial Irak dilakukan melalui perantara Amerika. Menteri Luar Negeri Irak, Fuad Hussein pada 8 Oktober 2020 dalam sebuah wawancara televisi mengatakan, kami menjalin kontak dengan Amerika di berbagai level berbeda, dan kami juga melakukan kontak dengan sejumlah menlu negara Barat agar mendesak Amerika membatalkan keputusan menutup kedubesnya di Baghdad.
 
Poin lain yang diperingatkan PM Irak dalam pidatonya terkait dampak penutupan kedubes Amerika, adalah penarikan 2.500 tentara Amerika. Ia menuturkan, Amerika banyak melakukan kesalahan saat menduduki Irak. Sepertinya Mustafa Al Kadhimi dari satu sisi berusaha membuka kesempatan pada pasukan Amerika untuk bertahan di Irak, sementara di sisi lain mencegah meningkatnya protes kelompok-kelompok perlawanan serta beberapa faksi politik Irak terhadap dirinya, karena Al Kadhimi juga mempertimbangkan pemilu parlemen bulan Juni 2021 mendatang.
 
Selain perkembangan keamanan dan politik terkait kehadiran Amerika di Irak, masalah lain yang muncul dalam sebulan terakhir adalah potensi terjadinya kudeta terhadap pemerintahan Mustafa Al Kadhimi. Silang pendapat terkait masalah ini di antara tokoh-tokoh senior, dan beberapa anggota parlemen Irak, terjadi cukup panas.
 
Ketua Majelis Tinggi Islam Irak, Baqir Jabir Al Zubaidi, merupakan salah satu tokoh paling berpengaruh yang memperingatkan soal konspirasi baru anasir-anasir rezim Baath yang masih tersisa di Irak. Baru-baru ini surat kabar elektronik Rai Al Youm mengutip Al Zubaidi menulis, konferensi-konferensi partai Baath Irak, terus digelar di Amerika dan beberapa negara Barat, dan akan menjadi pijakan langkah-langkah milisi bersenjata partai ini.
 
Al Zubaidi yang juga mantan menteri dalam negeri Irak itu mengatakan, sejumlah orang yang bertanggung jawab menyelenggarakan konferensi-konferensi ini adalah buron, dan merupakan anggota partai Baath yang tinggal di Kurdistan, dan beberapa negara Barat.
 
Ia menjelaskan, saat ini sedang dijalankan skenario kudeta militer di Irak yang dipimpin Izzat Ibrahim al-Douri pengganti mendiang Saddam Hussein, diktator Irak. Selain itu Baqir Jabir Al Zubaidi juga mengabarkan soal berlangsungnya pelatihan padat milisi bersenjata partai Baath di utara Provinsi Diyala, timur Irak, dan wilayah yang dikenal sebagai “segitiga kematian”.
 
Sekalipun kecil kemungkinan Amerika berusaha menaikkan lagi partai Baath ke tampuk kekuasaan di Irak, namun anasir-anasir partai ini memiliki sejumlah program penting yang ditawarkan kepada Washington dan sekutunya. Anggota partai Baath dari satu sisi mendapat dukungan dari beberapa negara kawasan Teluk Persia, di sisi lain memainkan peran signifikan dalam menciptakan kerusuhan di Irak. Sisa-sisa anggota partai Baath pada demonstrasi Oktober 2019, yang berubah menjadi kerusuhan dan berujung dengan pengunduran diri pemerintahan Adil Abdul Mahdi, memainkan peran kunci.
 
Pada saat yang sama, Amerika juga berusaha memasukkan sejumlah anasir Partai Baath ke dalam struktur kekuasaan Irak seperti parlemen, karena merusak soliditas parlemen, terutama melemahkan posisi kelompok-kelompok Syiah di Irak, merupakan tujuan terpenting Washington, dan sekutu Arabnya di kawasan Asia Barat. Salah satu anggota Aliansi Al Fath di Parlemen Irak, Mohammed Al Baldawi memperingatkan konspirasi baru negara-negara Arab Teluk Persia, dan Amerika.
 
Ia mengatakan, poros Amerika dan pendukungnya dalam lingkaran politik Irak, berusaha memasukkan para petinggi Partai Baath ke arena politik dengan transaksi-transaksi mencurigakan. Tujuan dari langkah ini, katanya, adalah kudeta halus terhadap proses politik. Bukan hanya Amerika yang berusaha mengembalikan para petinggi Partai Baath, negara-negara Arab pesisir Teluk Persia juga sama.
 
Seluruh manuver yang terjadi ini membawa beberapa pesan penting terkait proses politik Irak. Pertama, Amerika dan sekutu-sekutu Arabnya di kawasan, begitu juga rezim Zionis Israel mulai saat ini sudah menyusun langkah untuk pemilu parlemen bulan Juni 2021 mendatang di Irak, dan berusaha sebagaimana pada pemilu tahun 2018, bukan saja tidak kalah, bahkan berhasil menciptakan perubahan asasi sesuai keinginan mereka dalam pemilu Irak mendatang.
 
Kedua, beberapa tokoh politik Irak yang ada di kelompok segitiga yaitu Syiah, Ahlu Sunnah dan Kurdi, dalam hal ini sejalan, dan berkoordinasi dengan Amerika, dan sudah memulai program mereka dari sekarang untuk pemilu mendatang. Ketiga, dengan memperhatikan situasi politik, dan keamanan terkini Irak, terbuka kemungkinan pecahnya kerusuhan dalam bentuk unjuk rasa atau kekerasan jalnan dalam beberapa bulan ke depan dengan maksud untuk menekan kelompok-kelompok perlawanan Irak. (HS)

Tags