Nestapa Muslim Rohingya (2)
(last modified Sun, 05 Mar 2017 04:13:41 GMT )
Mar 05, 2017 11:13 Asia/Jakarta

Oleh: Purkon Hidayat. Siang itu, orang-orang Budha Rakhine, yang sebagian besar perempuan berdiri berjajar dengan laki-laki dalam satu barisan berderet membentuk kereta api manusia diapit tali rapia plastik yang membentang di bahu jalan. Mereka meneriakan yel-yel anti-Rohingya.

Dengan tangan mengepal, mereka berteriak nyaring dalam bahasa Burma, yang artinya kira-kira, “Pendukung Rohingya, musuh kita!”, “Pelobi Rohingya pengkhianat!”, “Kami tidak memiliki Rohingya sepanjang sejarah negara bagian Arakan!”, dan “Tidak ada Rohingya dalam sensus”.

 

Unjuk rasa tiga tahun lalu ini berlangsung jauh sebelum digelar pemilu presiden dan pendataan pemilih serta sensus penduduk. Kantor berita lokal Rakhine, Narinjara (17 Maret, 2014) dalam sebuah tulisan berjudul “Protests erupt in Arakan against allowing Rohingya Title (protes meletus menentang penggunaan nama Rohingya)” menyajikan tulisan mengenai penolakan warga Budha Rakhine terhadap penyebutan nama Rohingya, dan penentangan dimasukannya nama etnis Muslim Rakhine ini dalam sensus resmi pemerintah daerah.

 

Media lokal pro-pemerintah Myanmar mengklaim aksi protes menentang dimasukkannya Rohingya dalam sensus penduduk Rakhine terjadi di berbagai tempat antara lain: Kyauk Phyu, Mra Oo, Maypon, Min Pyar, Rambray, Kyauk Taw, Punna Kyun, Rathetaung, Buthetaung, Maung daw dan juga Sittwe.

 

Di tempat lain, iring-iringan biksu berpakaian merah dan oranye meneriakan protes serupa, menentang kehadiran Muslim Rohingya sebagai bagian dari elemen bangsa Myanmar.

 

Aksi protes anti-Rohingya yang masif tidak bisa dilepaskan dari peran pemerintahan Thein Sein, yang menjabat sebagai presiden ketika itu. Sebagaimana dilaporkan situs Narinjara, dalam pawai anti-Rohingya, mereka juga mengusung slogan mendukung kebijakan Presiden Thein Sein mengusir Rohingya.

 

Thein Sein di masa jabatannya sebagai presiden Myanmar pernah mengatakan bahwa pengusiran Muslim Rohingya sebagai penyelesaian konflik di negara bagian Rakhine. "Kami bertanggung jawab terhadap warga negara etnis kami sendiri, tetapi tidak mungkin menerima Rohingya yang bukan warga etnis kami, yang telah memasuki Mynamar secara ilegal. Satu-satunya solusi adalah menyerahkan mereka yang ilegal [Rohingya] ke UNHCR, atau mengirim mereka ke negara ketiga yang akan menerimanya, "kata Thein Sein dalam pertemuan dengan Antonio Guterres kepala Komisaris tinggi PBB urusan Pengungsi, seperti dilansir Huffington Post, 12 Juli 2012.

 

Kebijakan rasis Thein Sein melanjutkan pendahulunya, sejak negara ini dipimpin rezim junta militer. Masalah identitas menjadi problem utama yang dihadapi Rohingya. Etnis minoritas di Myanmar ini terganjal pengakuan identitas etnisnya oleh undang-undang kewarganegaraan tahun 1982.

 

Hingga kini, pemerintah Myanmar mengklaim Rohingya tidak memenuhi syarat untuk mendapat kewarganegaraan sesuai undang-undang kewarganegaraan yang disusun junta militer di tahun 1982. Bahkan, ketika Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), yang dimotori Aung san Suu Kyi memimpin Myanmar saat ini tetap tidak mampu memulihkan kondisi Muslim Rohingya.

 

UU kewarganegaraan 1982 berpijak pada kategori bahwa kelompok etnis yang secara permanen telah menetap dalam batas-batas modern Myanmar sebelum tahun 1823, yaitu sebelum meletusnya perang pertama Anglo-Burma. Junta militer di bawah Jenderal Ne Win menyusun daftar 135 kelompok etnis resmi yang dianggap memenuhi syarat sebagai warga negara.

 

Pemerintahan Ne Win secara sistematis melucuti kewarganegaraan Rohingya yang dimulai dengan pemberlakuan UU Imigrasi Darurat 1974 dan puncaknya UU Kewarganegaraan 1982. Padahal sebelumnya, antara tahun 1948 hingga 1962, Rohingya pernah diakui sebagai salah satu kelompok etnis Burma.

 

Sebagian sumber menyebutkan Uni Burma memasukan Rohingya dalam 144 kelompok etnis. Tapi setelah kudeta militer, Ne Win hanya menempatkan 135 kelompok etnis tanpa Rohingya, yang disetujui oleh konstitusi rezim Partai Program Sosialis Burma (BSPP) di tahun 1974. Sebanyak tiga kelompok etnis Muslim yaitu: Rohingya (Muslim Arakan), Panthay (Muslim China), Bashu atau Pashu (Muslim Melayu), dan enam etnis lainnya dihapus dari daftar kelompok etnis resmi Burma. Menurut Benedict Rogers dalam bukunya Burma: A Nation at the Crossroads (2012), kebijakan jenderal Ne Win ini bertujuan menyingkirkan warga Muslim, Kristen, dan beberapa etnis minoritas lainnya.

 

Berdasarkan UU Keimigrasian tahun 1974, Pemerintah Myanmar memberikan tanda pengenal penduduk kepada seluruh etnis, bahkan suku bangsa Cina dan India, kecuali kepada suku Rohingya. Minoritas Rohingya hanya memperoleh sertifikat terdaftar Orang Asing (Foreign Registration Cards). Kondisi tersebut diperparah dengan keluarnya UU Kewarganegaraan 1982.

 

Aturan ini membagi kewarganegaran ke dalam tiga kelompok yaitu: kewarganegaraan penuh (full citizen), warga negara asosiasi (accociate citizens) dan penduduk karena naturalisasi (naturalization citizens). Rohingya tidak memperoleh kewarganegaraan, karena mereka hanya memiliki status sebagai orang asing. Berdasarkan pasal 3 ayat 2 UU kewarganegaraan tahun 1982, Muslim Rohingya tidak diakui sebagai warga negara yang sah, tapi dianggap sebagai Bengali.

 

Hingga kini, kebijakan anti-Rohingya di era Ne Win masih dilanjutkan. Meski terjadi transisi kekuasaan dari junta militer ke tangan sipil, reproduksi narasi kebencian terhadap Rohingya dalam skala nasional, terutama di Rakhine terus berlanjut. Akibatnya, kebencian warga  Myanmar yang mayoritas Budha terhadap Rohingya yang Muslim semakin masif menjalar ke mana-mana, terutama setelah muncul gerakan 969 yang dipimpin Ashin Wirathu.

 

Para analis hukum dan politik internasional menilai lahirnya UU kewarganegaran tahun 1982 sebagai pemicu persekusi terhadap Rohingya, sehingga sebagian dari mereka akhirnya memilih lari meninggalkan Rakhine ke negara lain untuk menyelamatkan diri.

 

Mereka dikenai aturan pembatasan bepergian, bahkan dari satu desa ke desa lainnya harus mendapatkan izin resmi dari otoritas lokal. Selain itu, mereka juga diminta untuk menandatangani komitmen untuk tidak memiliki lebih dari dua anak.

Banyak anak Rohingya tidak dapat memiliki akta kelahiran, sehingga status mereka tanpa kewarganegaraan sejak lahir.

 

Pada tahun 1995, Pemerintah Myanmar menanggapi tekanan UNHCR dengan mengeluarkan kartu pengenal bagi Rohingya, tapi kemudian sebagian besar dokumen itu musnah pada aksi kerusuhan tahun 2012 dan yang terbaru 2016. Tanpa identitas, orang-orang Rohingya tinggal di kamp-kamp liar dan kumuh dalam kondisi yang mengenaskan.

 

Pembatasan dilakukan junta militer di bidang ekonomi dengan memperketat pemberian izin usaha kepada Rohingya. Selain itu, otoritas lokal Rakhine juga menarik pajak dari penduduk yang mayoritas petani dan nelayan. Akibatnya, sebagian besar lahan pertanian, tambak dan properti milik warga Rohingya disita secara paksa, karena tidak mampu membayar pajak yang semakin menumpuk.

 

Di bidang pendidikan, orang-orang Rohingya tidak diberikan akses untuk mengenyam pendidikan tinggi. Mereka juga tidak diberi izin melanjutkan pendidikan di luar negeri. Lebih dari itu, persekusi terhadap Rohingya muncul dalam berbagai bentuk kekerasan seperti penyerangan, penjarahan hingga pembunuhan terhadap minoritas Muslim Myanmar itu.

Tags