Nestapa Muslim Rohingya (4)
(last modified Sat, 11 Mar 2017 04:18:21 GMT )
Mar 11, 2017 11:18 Asia/Jakarta

Gelombang persekusi terhadap minoritas etnis Rohingya tidak pernah berhenti hingga kini. Peristiwa terbaru terjadi Oktober 2016 lalu, ketika otoritas keamanan Myanmar melancarkan operasi militer dengan dalih memburu pelaku penyerangan tiga pos polisi di Rakhine.

Human Rights Watch (HRW) memublikasikan sejumlah foto satelit yang memperlihatkan sekitar 820 struktur bangunan hancur antara 10 hingga 18 November 2016. Foto satelit ini menggambarkan adanya penghancuran 1.200 rumah di beberapa permukiman etnis Rohingya di Myanmar tahun lalu.

 

Pemerintah Mynamar membantah klaim bahwa militer menghancurkan rumah-rumah warga. Rezim Naypyidaw justru balik menuding orang-orang Rohingya sengaja membakar rumahnya sendiri demi menarik perhatian publik internasional. Tapi, wakil direktur HRW untuk Asia, Phil Robertson mengungkapkan citra satelit menunjukkan 'pergerakan' desa yang hangus dari timur ke barat yang konsisten dengan pergerakan militer Myanmar di Rakhine. "Akal sehat yang umum, memberitahu Anda bahwa militer bertanggung jawab atas hal ini," ujar Robertson.

 

Rekam jejak militer Myanmar, terutama di era junta mengindikasikan deretan bukti terjadinya persekusi terhadap Rohingya. Pasalnya, gelombang kekerasan tidak terjadi kali ini saja, tapi berlangsung terus-menerus dalam skala luas dan masif.

 

Pada tahun 2012 terjadi aksi serupa yang menewaskan lebih dari 80 orang, dan menyulut pengungsian sekitar 20.000 orang Rohingya ke negara lain. Meskipun konflik tersebut juga menewaskan korban dari pihak warga Budha Rakhine, tapi Rohingya menjadi korban terbesar konflik sektarian tersebut.

 

Peneliti Mynamar, Shwe Lu Maung dalam penelitiannya yang berjudul “Burma: Nationalism and Ideology-An Analysis of Society, Culture and Politics” (1989:63-64) menjelaskan data persekusi yang masif dilakukan terhadap Rohingya antara tahun 1978 hingga 1983 yang terjadi di berbagai daerah di negara bagian Arakan.

 

Data lapangan dari sejumlah daerah di Rakhine yaitu: Kyauktaw, Ponnakyann,  Rethedaung, Minbya, Mrohaung, Buthidaung dan Maungdaw menunjukkan korban tewas sebanyak 2.162 orang. Selain itu, di tujuh daerah tersebut terjadi aksi perkosaan dan penyerangan terhadap perempuan dengan korban sebanyak 4.396 orang. Tidak hanya itu, terjadi perusakan 253 desa di tujuh daerah di negara bagian Rakhine.

 

Selama rentang lima tahun, aksi paling represif dilancarkan militer Burma dalam operasi Naga Min yang dimulai 6 Februari 1978. Dilaporkan, sebanyak 200.000 orang Rohingya mengungsi ke Bangladesh untuk menyelamatkan diri.

 

Hingga kini, ratusan ribu orang Rohingya tersebar di berbagai negara dunia. Dilaporkan, Bangladesh menampung sekitar 300.000 hingga 500.000 orang Rohingya di kamp-kamp pengungsian yang menyedihkan. Dilaporkan, sebanyak 200.000 orang Rohingya mengungsi ke Pakistan. Pengungsi Rohingya di India sebesar 36.000 orang.  Sedangkan di Thailand jumlahnya diperkirakan sebanyak 100.000 orang.

 

Orang-orang Rohingya juga melintasi laut untuk menghindari konflik di negaranya menjadi manusia perahu dan mencari suaka di berbagai negara dunia. Jumlah pengungsi Rohingya di Malaysia sekitar 40.070, orang dan di Indonesia sebesar 11.941 orang.

 

Amnesti Internasional menilai sepak terjang militer Myanmar terhadap minoritas Muslim Rohingya sebagai bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan. PBB menyebutnya sebagai aksi yang mengarah pembersihan etnis.

 

Sebagai bentuk solidaritas terhadap Rohingya, pemerintah Indonesia mengirimkan paket bantuan kemanusiaan kepada warga Rohingya yang berada di negara bagian Rakhine, Myanmar. Bantuan tersebut dilepas langsung Presiden Joko Widodo di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara pada Kamis (29/12/2016) Presiden datang ke lokasi sekitar pukul 08.40 WIB. Didampingi Menteri Sekretaris Negara Pratikno dan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, Presiden meninjau beberapa kontainer.

 

Pelepasan paket bantuan tersebut juga disaksikan langsung oleh perwakilan dari Kementerian Luar Negeri Myanmar. Pada pertengahan Januari 2017, Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi menuju Switte, Provinsi Rakhine, Myanmar untuk menyampaikan bantuan kemanusiaan dari Indonesia. Kunjungan Menlu RI ke Myanmar itu merupakan yang ketiga sejak dua bulan terakhir.

 

Atas inisiatif Indonesia dan Malaysia, Organisasi Kerja Sama Negara Islam (OKI) Januari lalu menggelar sidang membahas masalah minoritas Muslim Rohingya. OKI  mendesak Myanmar mengakui minoritas Muslim Rohingya sebagai etnis resmi dengan mengamandemen undang-undang kewarganegaraan tahun 1982.

 

Komunike resmi hasil pertemuan luar biasa OKI di Kuala Lumpur, Malaysia, yang berlangsung Januari lalu menegaskan urgensi pengakuan dan pemenuhan hak, serta kebijakan transparan terhadap etnis beragama sebagai salah satu solusi untuk mengakhiri diskriminasi dan konflik kemanusiaan di Myanmar selama ini.

 

Dalam pertemuan tingkat menteri yang dihadiri sekitar 56 negara itu, OKI juga mengadopsi sebuah resolusi yang mendorong negara anggota untuk turut memberikan bantuan kemanusiaan bagi Myanmar.

 

Resolusi OKI meminta pemerintahan de facto Aung San Suu Kyi untuk membuka akses bagi bantuan kemanusiaan ke negara bagian Rakhine, tempat bentrokan dan kekerasan terhadap kaum Rohingya marak terjadi. Kelompok pemerhati HAM di Myanmar, Burma Human Rights Network (BHRN), mengapresiasi upaya OKI yang mau turun tangan menangani konflik kemanusiaan dan dugaan pelanggaran HAM ini. Direktur Eksekutif BHRN, Kyaw Win, berharap usaha OKI dan negara ASEAN benar-benar bisa membantu mengurangi penderitaan yang dialami oleh kaum Rohingya.

 

Dari Malaysia, Perdana Menteri Malaysia Najib Razak meluncurkan satu kapal berisi ribuan ton makanan dan persediaan darurat untuk para Muslim Rohingya di Myanmar, Jumat (3/2/2017). Kapal membawa 2.200 ton barang, dan 500 ton di antaranya akan diturunkan di kota terbesar Myanmar, Yangon.

 

Ironisnya, bantuan kemanusiaan dari Malaysia disambut aksi  unjuk rasa anti-Rohingya yang berkumpul di pelabuhan Yangon pada Kamis (9/2/2017) Demonstrasi itu diikuti oleh puluhan biksu Buddha sambil mengibarkan bendera nasional bertuliskan “Tolak Rohingya” di pelabuhan internasional Myanmar, Thilawa.

 

Para biksu itu menolak kapal Malaysia untuk berlabuh di sana. Kapal Malaysia, Nautical Aliya, bertolak dari Malaysia dengan membawa 2.200 ton beras, bantuan kesehatan, pakaian, serta ratusan pekerja kesehatan dan aktivis.

 

Sebagian bantuan akan diturunkan di Yangon lalu dikirimkan lewat jalan darat ke negara bagian Rakhine. Sisa bantuan kemudian diserahkan ke pelabuhan Teknaf di Bangladesh utara, tempat sekitar 70.000 warga Rohingya mengungsi sejak kekerasan militer Myanmar pada Oktober lalu.

 

Tampaknya, penolakan penolakan masih mengusung narasi besar “tabu politik” pengakuan terhadap Rohingya sebagai kelompok etnis.

 

“Kami ingin mereka tahu, kami tidak punya Rohingya di sini!,” kata seorang biksu Buddha bernama Thuseitta dari Persatuan Biksu Patriotik Myanmar, pada Kamis (9/2/2017).

 

Myanmar awalnya menolak untuk mengizinkan kapal masuk ke perairannya juga melarangnya berlayar ke ibu kota Sittwe, Rakhine. Pemerintah juga menuntut bantuan itu didistribusikan baik untuk Rohingya maupun warga etnis Buddha di Rakhine.

 

Politik identitas yang dimainkan rezim junta dan diteruskan oleh pemerintah sipil Myanmar hingga kini melibatkan peran sebagian biksu Budha, terutama setelah munculnya gerakan 969 yang dimotori Ashin Wirathu. Meskipun kerap mengusung sentimen sektarian, tapi sejatinya keyakinan Wirathu dan pengikutnya tidak ada hubungannya dengan ajaran agama Budha, sebagaimana ajaran agama lainnya, yang mengusung nilai-nilai perdamaian.

 

Tags