Dengan Presidensi G20, Menuju Perpajakan Global yang Adil
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengungkapkan potensi penerimaan pajak global yang hilang akibat penggerusan basis pajak atau Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) mencapai Rp3.360 triliun per tahun.
"Basis pajak semua negara mengalami penggerusan karena begitu dinamisnya kegiatan antarnegara tersebut dengan difasilitasinya ekonomi digital," kata Sri Mulyani dalam Rapat Kerja bersama Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Jakarta, sebagaimana dikutip Parstodayid dari Antaranews, Kamis (04/11/2021).
Ia menjelaskan globalisasi dan perkembangan teknologi informasi telah membawa perubahan fundamental terhadap sistem perekonomian global dan Indonesia, transaksi lintas negara alias cross border transactions, dan transaksi ekonomi digital yang meningkat sangat dinamis.
Penelitian di tahun 2008 menunjukkan bahwa praktik BEPS dilakukan dengan memanfaatkan isu kerahasiaan bank atau bank secrecy dan isu perbedaan tarif Pajak Penghasilan (PPh) atau race to the bottom, di banyak negara atau yurisdiksi.
"Agenda reformasi perpajakan di Indonesia juga dipengaruhi oleh kondisi dan perubahan dinamika global, terutama munculnya teknologi digital," tegas Sri Mulyani.
Selain isu BEPS, Bendahara Negara menyebutkan dunia juga dihadapkan pada isu bagaimana membagi hak pemajakan yang adil atas laba usaha perusahaan berbasis digital dan beroperasi di yuridiksi yang bermacam-macam.
Menuju Perpajakan Global yang Adil
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu menyatakan Presidensi G20 pada tahun depan yang digelar di Indonesia akan menjadi kunci penentuan arah dalam menciptakan perpajakan global yang adil.
Hal ini terjadi karena akan ada penandatanganan suatu konvensi multilateral terkait Two-Pillar Solution to Address the Tax Challenges Arising from the Digitalisation of the Economy atau Solusi Dua Pilar Pajak Digital.
“Kepemimpinan Indonesia dalam forum G20 tahun 2022 menjadi sangat krusial agar target tersebut dapat direalisasikan tepat waktu,” katanya di Jakarta, Senin.
Pilar 1 dan Pilar 2 akan dituangkan dalam suatu konvensi multilateral ini rencananya akan mulai ditandatangani pada pertengahan 2022 dan berlaku efektif pada 2023.
Sejauh ini, terdapat peningkatan jumlah negara anggota OECD/G20 Inclusive Framework on Base Erosion and Profit Shifting yang telah menyetujuinya yaitu 136 negara dari yang sebelumnya 132 negara anggota.
Pilar 1 mengenai reformasi sistem perpajakan internasional yang adil dilakukan dengan pengalokasian hak pemajakan secara adil ke negara yang cenderung menjadi pasar produk barang dan jasa digital.
Pilar 1 mencakup perusahaan multinasional atau multinational enterprise (MNE) dengan peredaran bruto EUR20 miliar dan tingkat keuntungan di atas 10 persen.
Keuntungan MNE itu akan dibagikan kepada negara pasar jika MNE tersebut memperoleh setidaknya EUR1 juta atau EUR250 ribu untuk negara pasar dengan PDB lebih kecil dari EUR40 miliar dari negara pasar tersebut.
Salah satu perkembangan dari kesepakatan G20/BEPS Juli 2021 adalah pengalokasian 25 persen keuntungan MNE ke negara pasar berdasarkan porsi penjualannya di masing-masing negara pasar tersebut.
Menurut Febrio, dengan alokasi 25 persen maka sistem perpajakan menjadi lebih adil karena tidak ada alokasi pajak untuk negara pasar tanpa adanya Bentuk Usaha Tetap (BUT).
“Padahal sebagian besar MNE yang menjual barangnya di Indonesia bukan merupakan BUT melainkan hanya kantor perwakilan saja sehingga tidak bisa dipajaki,” ujarnya.
Sementara Pilar 2 adalah pemastian bahwa semua MNE membayar pajak minimum di semua tempat MNE tersebut beroperasi.
Pilar 2 mengenakan tarif pajak minimum pada MNE yang memiliki peredaran bruto tahunan sebesar EUR750 juta atau lebih sehingga tidak ada lagi persaingan tarif tidak sehat di antara negara-negara.
Pilar 2 yang dikenal dengan sebutan Global anti-Base Erosion (GLoBE) rules akan memastikan MNE dikenakan tarif pajak minimum sebesar 15 persen.
Selain itu, Pilar 2 turut melindungi hak negara-negara berkembang untuk mengenakan pajak atas penghasilan tertentu seperti bunga dan royalti menjadi minimal sebesar 9 persen.
Pilar 2 memiliki ini memiliki dua makna bagi Indonesia yaitu bisa meningkatkan penerimaan pajak yang semula terhambat praktik penghindaran pajak dengan pemberlakuan tarif yang rendah.
Kesepakatan Global Pajak Minimum Pengaruhi Insentif
Staf Ahli Bidang Kepatuhan Pajak Kementerian Keuangan Yon Arsal mengatakan kesepakatan global terkait pajak minimum untuk perusahaan multinasional akan mempengaruhi nilai insentif yang diberikan kepada pelaku usaha, seperti tax allowance atau tax holiday.
"Tidak hanya di Indonesia tapi semua negara. Selain itu kita juga sedang menindaklanjuti dan masih memiliki waktu untuk pembahasan yang lebih detil karena kesepakatan ini baru berlaku mulai 2023," kata Yon dalam Media Gathering Direktorat Jenderal Pajak di Bali, Kamis.
Menurutnya, Kementerian Keuangan, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) akan mengkaji bersama dampak kesepakatan global pajak tersebut terhadap insentif pajak yang biasa digunakan untuk menarik pelaku usaha agar mau berinvestasi di Indonesia.
"Ini tidak cuma tax holiday dan allowance tapi juga insentif lain akan terpengaruh konsensus pajak global. Tentunya kita berdiskusi dengan harapan walau nanti akan ada perubahan kebijakan tapi tujuan kita untuk meningkatkan investasi tentu tidak bomeh dikorbankan," ucapnya.
Sebelumnya, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Febrio Kacaribu mengatakan sebanyak 136 negara anggota G20 telah menyetujui Solusi Dua Pilar untuk mengatasi tantangan perpajakan di ekonomi digital.
Salah satu fokus forum G20 yang akan terus dilanjutkan pada Presidensi Indonesia di G20 tahun 2022 adalah reformasi perpajakan dengan mengkonkretkan Solusi Dua Pilar tersebut melalui Konvensi Multilateral. (Antaranews)