Mengatur Surga Khatulistiwa untuk Investasi Berkelanjutan ke Anak-Cucu
(last modified Sat, 26 Feb 2022 05:20:53 GMT )
Feb 26, 2022 12:20 Asia/Jakarta
  • Surga Khatulistiwa
    Surga Khatulistiwa

Raja Ampat, Bunaken, Labuan Bajo, Wakatobi, adalah berbagai lokasi wisata di Indonesia yang dapat disebut sebagai sepotong surga di khatulistiwa.

Bahkan, seluruh Indonesia juga kerap disebut sebagai Zamrud Khatulistiwa.

Keindahan kawasan perairan nasional itu sendiri, yang sudah diakui kecantikan alamnya hingga ke tingkat mancanegara, merupakan sebuah potensi yang layak untuk digarap untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia.

Untuk itu, tidak heran bila pemerintah juga berupaya memberdayakan berbagai potensi yang ada di berbagai kawasan perairan itu, antara lain dengan menerbitkan sejumlah Peraturan Presiden terkait zonasi laut.

Berbagai regulasi itu adalah Peraturan Presiden tentang Rencana Zonasi Kawasan Antarwilayah yang mengatur Laut Jawa, Laut Sulawesi, dan Teluk Tomini di Sulawesi, sebagai momentum mempercepat investasi kelautan.

Rencana Zonasi Kawasan Antarwilayah (RZ KAW) menjadi acuan bagi Menteri Kelautan dan Perikanan dalam menerbitkan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL) yang merupakan prasyarat perizinan berusaha sesuai Pasal 37 Ayat (1) PP Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang. Penetapan RZ KAW merupakan amanat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan.

Setelah terbitnya berbagai beleid itu, KKP melalui Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut selanjutnya akan mewujudkan pusat pertumbuhan kelautan yang efektif, berdaya saing, dan ramah lingkungan di berbagai wilayah tersebut.

Dengan lahirnya tiga beleid tersebut pada 2022, maka sudah ada empat Perpres tentang Rencana Zonasi Kawasan Antarwilayah. Sedangkan pada 2020 telah ada Perpres Nomor 83 Tahun 2020 tentang Rencana Zonasi Kawasan Antarwilayah Selat Makassar.

Dengan demikian masih tersisa 16 kawasan antarwilayah lagi yang terdiri dari selat, teluk, dan laut lintas provinsi. Sebagai informasi, di Perpres tersebut juga diatur mengenai kawasan konservasi dan kawasan pemanfaatan umum di wilayah perairan.

Plt Dirjen Pengelolaan Ruang Laut KKP Pamuji Lestari juga dapat sejumlah kesempatan menyatakan bahwa pihaknya bakal meningkatkan investasi di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil dalam rangka menambah Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di sektor kelautan nasional.

Menurut Pamuji Lestari, dalam rangka perizinan berusaha di ruang laut, maka pihaknya juga bekerja sama dengan pihak Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan KKP.

Kerja sama tersebut dilakukan antara lain dengan berkoordinasi memberikan peringatan terhadap perusahaan yang tidak berizin atau izinnya sudah kedaluwarsa terkait dengan kawasan ruang laut. Sedangkan bagi perusahaan yang belum memiliki izin maka diharapkan dapat segera mengurus perizinan berusaha tersebut khususnya ke Ditjen Pengelolaan Ruang Laut.

Pamuji Lestari mengungkapkan bahwa capaian PNBP Ditjen PRL pada tahun 2021 mencapai lebih dari Rp27 miliar, atau meningkat sekitar 400 persen dibandingkan dengan capaian PNBP Ditjen PRL pada 2020 yang hanya sekitar Rp6 miliar.

Keseimbangan ekologi-ekonomi

Program terkait investasi di sektor kelautan dan perikanan KKP juga ada yang berkolaborasi dengan sejumlah pihak lain, misalnya dengan Republik Seychelles dalam rangka menjajaki peluang kerja sama strategis dan investasi berbasis ekonomi biru.

Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mengemukakan, Seychelles sebagai negara pionir ekonomi biru melalui program blue bond sovereign, menyadari bahwa potensi perikanan suatu daerah dapat menjadi jaminan bagi investor khususnya dalam pembangunan wisata bahari.

Hal itu dinilai dirinya selaras dengan KKP sebagai pengelola wilayah laut RI yang terus berupaya mewujudkan keseimbangan ekologi dan ekonomi serta inovasi teknologi.

Utusan Khusus Presiden Seychelles untuk ASEAN, Nico Barito, menuturkan bahwa sebagai negara kepulauan Seychelles memberi perhatian yang amat serius terkait isu penyelamatan lingkungan, khususnya kelautan.

Untuk itu, pihaknya mengusulkan kolaborasi bidang kelautan, khususnya di pulau-pulau kecil dan pariwisata bahari berkelanjutan, perikanan yang bertanggung jawab, pelestarian dan monitoring keanekaragaman hayati serta kepulauan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sekaligus pelestarian lingkungan.

Sedangkan pihak Indonesia mengusulkan adanya kerja sama dalam pengembangan destinasi wisata seperti Maratua di Pulau Kalimantan dan lokasi potensial Indonesia lainnya melalui perluasan jejaring hotel internasional kelas dunia; sinergi aktif dalam menarik investasi asing dengan jaminan kekayaan laut Indonesia (Blue Bonds) sebagai upaya membangun sektor kelautan dan perikanan Indonesia yang berkelanjutan; hingga pengembangan SDM kelautan dan perikanan serta tolok ukur pengembangan wisata bahari sebagai pengembangan modul pelatihan wisata bahari di lokasi wisata Indonesia.

Terkait kerja sama RI-Seychelles, Plt. Kepala Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan KKP Kusdiantoro, menuturkan bahwa KKP melalui skema investasi bersama dan pengembangan SDM telah berkomitmen untuk bersinergi dengan Republik Seychelles dalam pengembangan ekonomi biru di Indonesia dengan proyek rintisan berupa pengembangan pariwisata bahari berbasis lingkungan.

Keberhasilan Seychelles dalam menerapkan wisata bahari berbasis ekonomi biru, dinilai perlu menjadi panduan praktik terbaik bagi generasi muda bahari untuk mengembangkan potensi wisata bahari di Indonesia.

Akses OSS

Terkait dengan investasi domestik, Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, Moh Abdi Suhufan menginginkan berbagai instansi terkait dapat membantu pelaku usaha sektor perikanan di berbagai daerah guna mengakses layanan Online Single Submission (OSS).

Kendala yang dihadapi oleh pelaku usaha adalah terkait teknis pembuatan akun OSS dan proses input persyaratan administrasi. Untuk itu, ujar dia, Kementerian Investasi, KKP dan pemerintah daerah perlu melakukan evaluasi atas pelaksanaan OSS pada sub sektor perikanan tangkap di daerah.

Selain itu, Abdi juga menginginkan agar investasi di berbagai pulau kecil dan kawasan pesisir jangan sampai menghambat akses nelayan untuk melaut.

Investasi di pesisir pulau-pulau kecil adalah salah satu alternatif pemerintah untuk PNBP. Namun demikian, perlu dilakukan sesuai peruntukan dan arahan tata ruang, alokasi ruang dan zonasi pemanfaatan.

Untuk itu, investasi yang berjalan harus tetap mengedepankan dan tidak mengesampingkan akses nelayan, masyarakat lokal dan masyarakat adat dalam mengakses laut yang berdampingan dengan kawasan pesisir tempat tinggal mereka.

Ia mengingatkan bahwa tidak sedikit investasi yang masih menghambat akses nelayan, seperti ada ada kegiatan tambang di pulau Bangka, Minahasa utara, serta di pulau Talaud.

Mengenai regulasi yang bisa mengantisipasi permasalahan tersebut, Abdi menyatakan bahwa sebenarnya aturan yang ada terkait dengan hal tersebut sudah ada, namun disayangkan masih belum sinkron antarsektor, seperti masih adanya ketidaksinkronan antara sektor pertambangan, sektor kehutanan dan sektor kelautan.

Senada, Ketua Harian Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Dani Setiawan mengingatkan bahwa konsep pembangunan pesisir yang dilakukan oleh pemerintah jangan hanya menitikberatkan pada capaian PNBP dari investasi sektor kelautan dan perikanan.

Bila investasi di kawasan pesisir dan pulau kecil hanya memperhatikan target penerimaan PNBP saja, maka hal tersebut merupakan pendekatan yang usang dan ketinggalan zaman.

Menurut dia, berdasarkan pengalaman sudah terbukti bahwa investasi yang hanya mengejar target PNBP berpotensi menimbulkan permasalahan sosial dan ekstraksi ekosistem yang memiliki daya rusak.

Hal yang kerap dilupakan adalah keikutsertaan masyarakat sejak dalam proses perencanaan hingga implementasi. Dengan demikian, masyarakat pesisir tidak boleh lagi hanya jadi obyek dari sebuah rencana pembangunan atau investasi, tapi subyek aktif di dalamnya.

Keterlibatan aktif masyarakat, ditambah dengan penerapan konsep ekonomi biru yang seutuhnya menyeimbangkan antara aspek ekologi dan ekonomi, diyakini bakal dapat mampu menciptakan investasi berkelanjutan bagi lautan agar terus lestari hingga masa anak-cucu atau generasi Indonesia mendatang.

Oleh M Razi Rahman
Editor: Royke Sinaga
COPYRIGHT © ANTARA 2022