Revisi UU MD3 dan Bagi-bagi Jatah Kursi DPR
(last modified Tue, 13 Feb 2018 04:24:30 GMT )
Feb 13, 2018 11:24 Asia/Jakarta

Pengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3) dinilai sarat dengan kompromi politik. Hal itu dilakukan untuk mengakomodir kepentingan bagi-bagi jatah kursi di parlemen.

Apalagi di dalam UU MD3 yang disahkan kemarin memberikan satu kursi pimpinan di DPR dan 3 pimpinan di MPR. Artinya, jumlah pimpinan DPR menjadi 6 sementara MPR menjadi 8.

"Ini sekaligus menjadi ajang kompromi paripurna antar fraksi-fraksi di DPR," ujar Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus kepada Kompas.com, Jakarta, Selasa (13/2/2018).

Dikatakan kompromi paripurna lantaran Lucius menilai DPR sejak awal nyaris selalu disibukkan dengan kompromi-kompromi terkait kepentingan bagi-bagi jatah kekuasaan.

Mulai dari diborong habis kursi pimpinan oleh Koalisi Merah Putih (KMP), hingga perjuangan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) mendapatkan jatah kursi pimpinan. Hal ini terwujud lantaran berbekal cairnya koalisi Pilpres dengan menyeberangnya Golkar dan PAN ke partai pendukung pemerintah.

Lucius menduga, kenapa partai-partai ngotot mengejar kursi pimpinan, karena dalam banyak kasus, peran pimpinan ini krusial. Khususnya dalam menentukan agenda DPR dan juga dalam berhubungan dengan lembaga lain.

"Tentu yang paling jelas adalah tambahan anggaran bagi figur yang didapuk mengisi kursi, yang mungkin bisa disumbangkan sebagiannya untuk Parpol," kata dia.

demokrasi di Indonesia

Lucius tidak yakin penambahan kursi pimpinan di dalam UU MD3 akan berjalan lurus dengan bertambah baiknya kinerja DPR. Justru, kebijakan yang hanya dibuat untuk menampung kompromi politik hanya akan melahirkan kebijakan-kebijakan baru yang juga kompromistis.

Apalagi, tutur dia, kompromi dalam dunia politik sangat dekat dengan transaksi. Jika kepentingan tak terpenuhi, maka uang atau jabatan jadi solusi demi ratanya jatah kekuasaan tersebut.

Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak menilai DPR telah membawa Indonesia ke era kegelapan demokrasi. Hal ini bisa dilihat dari revisi undang-undang tentang MPR, DPR dan DPD ( UU MD3) yang baru disahkan dalam rapat paripurna kemarin.

"Bagi saya UU MD3 menyeret Indonesia ke era kegelapan demokrasi," kata Dahnil dalam keterangan tertulisnya, Selasa (13/2/2018).

Dahnil menyoroti tiga pasal dalam UU MD3 yang baru. Pertama, adalah tambahan pasal 73 mengenai mekanisme pemanggilan paksa dengan bantuan polisi. Lalu ada tambahan pasal 122 mengenai langkah hukum Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) kepada siapa pun yang merendahkan DPR dan anggota DPR.

Terakhir, ada juga tambahan pasal 245 mengenai pemanggilan dan permintaan keterangan penyidikan kepada anggota DPR harus mendapat persetujuan tertulis presiden dan pertimbangan MKD.

"Ternyata politisi kita ingin berkuasa tanpa batas, bahkan mau mempersulit proses hukum dan memperoleh kekebalan hukum, dan anti kritik," ucap Dahnil.

Dahnil menilai, watak otoritarian menjadi virus yang menyebar dan menjangkit semua politisi yang memiliki kekuasaan. DPR dan parpol telah kehilangan otoritas moral untuk bicara demokrasi serta hak masyarakat sipil yang ada didalamnya.

"Karena mereka secara berjamaah membunuh demokrasi yang sudah dibangun sejak reformasi lalu," ujarnya.

Dahnil berharap publik tidak boleh berdiam diri. Ia sendiri akan memerintahkan seluruh Kader Pemuda Muhammadiyah untuk tidak memilih partai politik yang telah menyeret Indonesia ke era kegelapan demokrasi dan hukum tersebut. Selain itu, ia juga mempertimbangkan untuk menggugat UU MD3 yang baru ke Mahkamah Konstitusi.

"Tentu, saya dan kawan-kawan Pemuda Muhammadiyah serta masyarakat Sipil akan membahas terkait rencana ke MK," kata dia.

Ketua Badan Legislasi (Baleg) Supratman Andi Agtas menyatakan terdapat 14 substansi dalam Revisi MD3 yang disahkan menjadi UU saat rapat paripurna.

Supratman menyatakan yang pertama yaitu penambahan pimpinan MPR, DPR dan DPD serta penantian wakil pimpinan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Kedua adanya perumusan kewenangan DPR dalam bahas RUU yang berasal dari presiden dan DPR maupun diajukan oleh DPD.

"Ketiga adanya penambahan rumusan tentang pemanggilan paksa dan penyanderaan terhadap pejabat negara atau warga masyarakat secara umum yang melibatkan Kepolisian," kata Supratman di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (12/2/2018).

Keempat, penambahan rumusan penggunaan hak interpelasi, hak angket, hak mengatakan pendapat kepada pejabat negara. Politikus Gerindra ini melanjutkan dalam draf itu ada juga yang menghidupkan kembali badan akuntabilitas keuangan negara.

Indonesia

Keenam ada penambahan pula rumusan tentang kewenangan sama Baleg dalam penyusunan RUU tentang pembuatan laporan kinerja inventarisasi masalah di bidang hukum.

Untuk substansi ketujuh yaitu perumusan ualng terkait tugas dan fungsi MKD. Kedelapan ada penambahan rumusan kewajiban mengenai laporan hasil pembahasan APBN dalam rapat pinjaman sebelum pengambilan keputusan pada pembicaraan tingkat satu.

"Kesembilan ada penambahan rumusan mekanisme pemanggilann WNI dan orang asing secara paksa dalam hal tidak memenuhi pemanggilan panitia angket," lanjut dia.

Selanjutnya untuk substansi ke-10 itu adanya penguatan hak imunitas anggota DPR dan pengecualian hak imunitas. Poin sebelas ada penambahan rumusan wewenang tugas DPD dalam pantau dan evaluasi Raperda dan Perda.

"Selanjutnya keduabelas penambahan rumusan kemandirian DPD dalam rumusan anggaran," ujarnya.

Poin ketigabelas ada penambahan rumusan Badan Keahlian Dewan (BKD) dan terakhir adanya penambahan rumusan mekanisme pimpinan MPR, DPR dan alat kelengkapan dewan hasil Pemilu dan ketentuan mengenai mekanisme penetapan pimpinan MPR, DPR dan kelengkapan dewan setelah Pemilu 2019.

"Demikian pokok-pokok substansi perubahan dan beberapa catatan hasil RUU perubahan kedua tentang MD3," jelas Supratman. (Kompas, Liputan6)

Tags