Melihat Kembali Gunung Anak Krakatau
Letusan gunung berapi memiliki tipe dan karateristik letusan. Ada yang begitu aktif tak lama kemudian meletus hebat, seperti Gunung Kelud. Ada yang kadang aktif lalu meletus dalam skala besar maupun kecil kemudian tenang lagi seperti Merapi.
Ada yang meletus cukup hebat dalam jangka waktu cukup lama dan terus-menerus seperti Sinabung. Ada pula yang terus-menerus aktif dalam skala kecil kemudian pada saat tertentu meletus hebat seperti Anak Krakatau.
Perlu diketahui bahwa gunung Anak Krakatau di Selat Sunda sampai saat ini masih dalam pencermatan, pengamatan serta pemantauan serius Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) dan Badan Meteorologi dan Geoisika (BMKG) sejak letusan kuat pada Sabtu (22/12) malam. Letusan itu menyebabkan tsunami di Selat Sunda yang kemudian melanda lima kabupaten dan kota di Provinsi Banten dan Lampung. Demikian dilaporkan Antaranews Sabtu, 13/01/2019.
Sebelum letusan hebat itupun, Anak Krakatau selalu dalam pemantauan PVBMG dan BMKG. Terbukti dalam adanya rilis yang disampaikan secara rutin hari demi hari, bahkan jam per jam kepada masyarakat sebelum tsunami.
Terlebih sejak terjadinya tsunami di Selat Sunda, pemantauan dan pengamatan semakin diintensifkan dan masyarakatpun mendapatkan informasi yang memadai, terutama yang berada di dua provinsi.
Hal itu tentu sangat penting bagi masyarakat agar bisa mengantisipasi apabila sewaktu-waktu terjadi kejadian luar biasa lagi. Tsunami pada 22 Desember 2018 itu menjadi pelajaran bagi masyarakat sekitar pantai di dua provinsi.
Uniknya tsunami itu dideteksi bukan dampak langsung letusan (vulkanik) maupun pergeseran lempeng bumi (tektonik), tetapi akibat longsor dan runtuhnya sebagian tubuh Gunung Anak Krakatau. Longsoran dan runtuhnya sebagian tubuh gunung yang berada di tengah laut inilah yang dideteksi oleh para ahli dan juga PVMBG sebagai penyebab gelombang tsunami.
Pelajaran yang bisa dipetik adalah bahwa tsunami tidak semata-mata karena gelombang laut akibat gempa tektonik dan vulkanik dalam sekala besar, namun juga akibat longsoran dan runtuhnya tubuh gunung. Longsoran dan runtuhnya tubuh gunung melesak atau mendesak ke laut pun bisa menyebabkan gelombang besar.
Kalau dicermati dari sejarahnya, tipe dan karakteristik Gunung Anak Krakatau ini memang berbeda dengan umumnya gunung-gunung berapi lainnya. Letusan Gunung Anak Krakatau sebagai gunung di tengah laut tampak sama dengan induknya, Gunung Krakatau.
Jika umumnya letusan menyebabkan gunung menjadi besar dan tinggi karena keluarnya magma bercampur pasir, debu, air dan bebatuan atau kerikil, tidak demikian dengan Krakatau. Gunung Krakatau yang waktu itu setinggi 813 meter di atas permukaan laut (mdpl) sirna karena letusannya sendiri pada 26-27 Agustus 1883.
Letusan dahsyat waktu itu menyebabkan awan panas dan tsunami yang menewaskan sekitar 36 ribu orang. Daya ledaknya diperkirakan mencapai 30.000 kali bom atom yang diledakkan di Hiroshima dan Nagasaki (Jepang) di akhir Perang Dunia II.
Gunung Krakatau lenyap dan pecah yang disebut-sebut pecahannya menjadi beberapa pulau. Yakni Pulau Rakata, Rakata Kecil dan Pulau Sertung.