Menjawab Lelucon Baru AS
Juru bicara Departemen Luar Negeri Iran, Hossein Jaberi Ansari pada Ahad (5/6/2016) mereaksi langkah terbaru Amerika Serikat yang menempatkan nama Iran di puncak daftar negara-negara pendukung teroris.
Dalam statemennya, Jaberi Ansari menyatakan bahwa laporan terorisme global Departemen Luar Negeri AS secara terang-terangan melecehkan fakta dengan melontarkan tudingan palsu terhadap Republik Islam Iran. Dia menandaskan bahwa ketika AS di kawasan mendukung Daesh dan kelompok teroris lainnya dengan berbagai cara, Iran justru berada di garda depan dalam memerangi teroris di Irak dan Suriah.
"Pada saat sejumlah negara dunia serta sebagian politikus AS dan Eropa menjadi pendukung utama terorisme, atau paling tidak pemerintah AS menjadi sekutu dekatnya; dengan mempertimbangkan tudingan terorisme terhadap Iran, maka laporan tahunan terbaru Kemenlu AS mengenai terorisme, menjadikan realitas yang begitu jelas sebagai lelucon belaka. Masalah ini menjadi dokumen terbaik yang menunjukkan rendahnya kredibilitas laporan Kemenlu AS," tegas jubir Kemenlu Iran.
Menurut Jaberi Ansari, pendekatan standar ganda AS dalam masalah terorisme telah menjadi salah satu kontributor utama terorisme di kawasan dan dunia.
Dalam pandangan AS, terorisme memiliki definisi yang sesuai dengan tujuan-tujuan politik Washington. Definisi ini memperkenalkan perjuangan sah bangsa-bangsa tertindas untuk mencapai kemerdekaan dan kebebasan serta membebaskan dirinya dari penjajahan sebagai bentuk dari aksi terorisme.
Sebagai contoh, AS menganggap perjuangan bangsa Palestina dalam melawan rezim Zionis Israel yang menduduki tanah air mereka sebagai aksi terorisme. Oleh karena itu, dukungan Iran kepada perjuangan bangsa Palestina dianggap tindakan mendukung terorisme.
AS – sebagai pendukung terbesar terorisme negara – memberikan dukungan mutlak kepada Israel selama beberapa dekade dan membuat bangsa Palestina kehilangan hak-hak dasarnya serta memaksa mereka hidup dalam penderitaan abadi di bawah pendudukan Zionis.
Kebijakan standar ganda AS tidak hanya dalam isu terorisme, tapi juga berlaku dalam masalah hak asasi manusia.
Klaim-klaim Barat dalam perang kontra-terorisme pada dasarnya merupakan sebuah tipu muslihat, sebab AS dan Barat berperan dalam membentuk kelompok-kelompok teroris seperti, Al Qaeda, Daesh, dan organisasi-organisasi serupa. Mereka memanfaatkan teroris untuk mengejar kepentingan ilegalnya.
Sebenarnya, standar ganda, kemunafikan, dan propaganda AS dalam perkara terorisme telah menjadi salah satu faktor penyebaran teroris di kawasan dan dunia. Dukungan AS dan sekutunya kepada ekstremisme dan terorisme membuat jutaan Muslim mulai dari Yaman hingga Libya hidup dalam penderitaan, ketakutan, dan bahkan terusir dari tanah airnya.
Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran, Ayatullah Sayid Ali Khemenei dalam surat terbuka kepada pemuda Barat pada 29 November 2015, menyatakan bahwa wajah lain dari kontradiksi itu dapat disaksikan dalam dukungan terorisme Israel. Rakyat tertindas Palestina telah lebih dari 60 tahun merasakan terorisme dalam bentuknya yang terburuk… Rezim ini tanpa pernah dikecam secara tegas dan efektif oleh sekutu-sekutu berpengaruhnya atau paling tidak lembaga-lembaga internasional yang secara lahiriyah tampak independen.
AS – di bawah klaim perang kontra-terorisme – mengejar tiga tujuan utama di kawasan. Pertama, menciptakan krisis regional dan memperburuk situasi dengan alasan memerangi terorisme. Kedua, memperluas kampanye Iranphobia dengan misi membangun zona aman untuk Israel. Dan ketiga, membentuk Timur Tengah baru atau Timur Tengah Raya yang sudah lama direncanakan oleh AS dan Israel.
AS tentu saja memanfaatkan sekutunya untuk memajukan tujuan tersebut termasuk Arab Saudi, Turki, dan Qatar dengan cara mengobarkan kekacauan di Irak dan Suriah. (RM)