Mengenal Bapak Iranologi dan Historiografi
(last modified Thu, 14 Apr 2016 11:53:52 GMT )
Apr 14, 2016 18:53 Asia/Jakarta
  • Mengenal Bapak Iranologi dan Historiografi

Profesor Doktor Manouchehr Sotoudeh, pakar Iranologi, historiografi, peneliti senior Iran, dan guru besar Universitas Tehran, meninggal dunia pada 8 April 2016 di Rumah Sakit Taleghani di Chalus, Iran Utara. Ia dilahirkan pada tahun 1913 di Tehran dan sepanjang usianya selama 103 tahun, telah menulis sekitar 60 jilid buku dan hampir 300 makalah, dan ia tercatat sebagai akademisi pertama Iran yang berhasil mempersembahkan kamus dialek.

Keluarganya berasal dari Mazandaran, Iran Utara, tapi ia lahir dan dibesarkan di Tehran. Setelah memasuki usia 50 tahun, Profesor Sotoudeh memutuskan kembali ke kampung orang tuanya dan menyibukkan diri dengan kegiatan penelitian dan penulisan di lingkungan yang teduh.

Ia telah memperlihatkan minat besar untuk membaca dan menulis sejak duduk di Sekolah Dasar. Di bangku SMA Alborz Tehran, ia dipercaya sebagai pustakawan di sekolahnya. Profesor Sotoudeh menulis makalah pertamanya pada usia 23 tahun tentang studi sejarah dan geografis seputar perjalanan ke Kastil Alamut.

Pada tahun 1934, ia memasuki Perguruan Tinggi dan mengambil jurusan sastra Persia dan kemudian menekuni studi geografi dan sejarah ketika menempuh pendidikan doktor. Pada tahun 1951, Profesor Sotoudeh melakukan perjalanan ke Amerika Serikat atas undangan Fulbright Association, dan bergabung dengan National Geographic Society of America pada tahun 1952.

Pada tahun berikutnya, ia menjadi anggota Asosiasi Studi Iran, dan kemudian mulai belajar Bahasa Pahlevi dan menerbitkan buku pertamanya berjudul "Kamus Gilaki" dari seri publikasi Iranologi pada tahun 1953.

Di tahun-tahun berikutnya, Profesor Sotoudeh melakukan beberapa tur riset ke luar negeri dan menjadi instruktur di Universitas Tehran dan kemudian asisten profesor sampai menjadi dosen di sana. Ia melanjutkan pengabdiannya di Fakultas Sastra di Universitas Tehran dan menjadi anggota Departemen Sejarah dan akhirnya meraih gelar profesor pada tahun 1975.

Selama periode yang sama, Profesor Sotoudeh berpartisipasi dalam sejumlah konferensi penting Iranologi seperti, Kongres Internasional Sejarah, Seni dan Arkeologi Iran di Universitas Oxford dan Kongres Internasional Abu Rayḥan di Pakistan. Perjalanan ke Cina dan Asia Tengah merupakan kegiatan lain Bapak Iranologi ini pada awal 1980-an.

Karya-karya Profesor Sotoudeh memperlihatkan minat besarnya kepada sejarah dan masa lalu budaya Iran. Di antara karyanya adalah; Farhang-e Kermani, Geografi Isfahan, Ismaili Castles in Alborz Mountain Range, dan From Astara to Estarabad dalam sepuluh jilid. Ini adalah historiografi tentang Gilan, Mazandaran dan wilayah Golestan, yang menyajikan informasi akurat dan komprehensif tentang bangunan, monumen, karya-karya sejarah dan informasi geografis dan historis daerah tersebut.

Karya-karya lain Profesor Sotoudeh adalah; Farhang-e Naini, Tarikh-e Badakhshan, Tarikh-e Banadir va Jazayir-e Khalij-i Fars, dan Historical Geography Shamiran. Ia juga aktif mengoreksi beberapa karya sastra dan geografi serta meneliti tentang sisi-sisi gelap dari budaya dan sejarah Iran.

Profesor Doktor Manouchehr Sotoudeh merupakan perwakilan generasi terakhir dari para pakar studi Iran, di mana kumpulan karyanya tidak hanya ditorehkan lewat membaca buku, makalah, dan hasil riset generasi sebelumnya, tapi selain mempelajari buku-buku yang ditulis oleh pendahulunya, Profesor Sotoudeh juga mengukir karyanya berdasarkan kesaksian langsung dan kontak dengan masyarakat.

Karya pertama Profesor Sotoudeh dengan judul "Kamus Gilaki" pada tahun 1953 merupakan buah dari pengabdiannya sebagai guru di kota Rasht, ibukota Provinsi Gilan. Ia menyusun kamus tersebut dengan melakukan kontak langsung dengan masyarakat dan ketika sedang menikmati perjalanan di pasar dan jalan-jalan kota. Ia kemudian mempertimbangkan metode ini di semua karyanya dan berkomitmen dengan cara ini sampai karya terakhirnya.

Dengan minat besar yang sudah tampak sejak usia Sekolah Dasar, Sotoudeh berjalan kaki dari Tehran menuju Alamut dan dengan rasa cintanya kepada Kastil Ismaili, ia memutuskan mendaki puncak Alamut dan kemudian menuangkan kesaksian dan kajiannya dalam sebuah buku. Buku itu diberi judul "Ismaili Castles in Alborz Mountain Range" dan diterima sebagai tesisnya di bawah bimbingan Profesor Badiozzaman Forouzanfar. Peristiwa ini memotivasi Sotoudeh untuk mempelajari dan menekuni historiografi.

Pada masa mudanya, pakar Iranologi dan historiografi Iran ini pernah berjalan kaki selama 17 hari dari Tehran ke kota Ardabil. Ia melintasi bukit, gunung, dan lembah dan kemudian menuangkan pengalamannya dalam buku "From Astara to Estarabad" dalam sepuluh jilid. Doktor Sotoudeh juga banyak melakukan studi lapangan di daerah-daerah Iran Utara dan selama hampir empat dekade, ia menjamah semua daerah di sana dan mencatat bangunan-bangunan arkeologi di wilayah itu.

Semangatnya kian memuncak setelah berkenalan dengan Doktor Iraj Afshar, seorang pakar studi Iran. Dapat dikatakan bahwa semua tempat di Iran pernah disusuri oleh kedua tokoh tersebut dengan jalan kaki. Dalam pengembaraan itu, Profesor Sotoudeh telah mengambil ribuan foto serta mengunjungi monumen-monumen arkeologi dan wisata alam. Rihlah yang melelahkan ini menjadi bekal yang dihadiahkan kepada generasi muda lewat karya-karyanya.

Profesor Sotoudeh kadang mengisahkan beratnya medan yang harus diterabas selama pengembaraannya, mulai dari ia terjatuh dari ketinggian gunung ketika mempelajari sebuah prasasti atau saat ia kesasar di tempat yang sama di pelosok belantara.

Doktor Sotoudeh percaya bahwa geografi lahir bersamaan dengan kehadiran manusia di muka bumi. Ia memiliki metode khusus tentang penelitian dan penulisan ensiklopedi geografi nasional, terutama yang ada kaitannya dengan negara seperti Iran. Mereka yang sudah akrab dengan Sotoudeh, mengetahui bahwa ia memiliki lisan yang tajam terkait isu-isu kritis dan pendekatan yang lembut terhadap masalah sosial. Dia memiliki kelembutan dalam sastra dan keberanian dalam kritik. Ia adalah tokoh yang unik dan kaya rasa.

Dalam sebuah wawancaranya, Profesor Sotoudeh menuturkan bahwa jauh sebelum Barat mengenal ilmu geografi, kita di Iran telah mengembangkan historiografi pada awal abad ketiga sampai kesepuluh Hijriyah (Abad 9-16 Masehi). Ketika kita membaca kitab Aḥsan al-Taqasim fi Ma'rifat al-Aqalim yang ditulis pada abad keempat dan kelima Hijriyah, kita akan mengerti bahwa pemikiran geografi hari ini telah ada tempo dulu dalam pikiran Aḥmad Shams al-Din al-Muqaddasi, penulis kitab tersebut.

Dalam kitab itu, al-Muqaddasi mengupas secara lugas dan jelas seluk-beluk pengetahuan tentang pembagian wilayah. Sejarah juga mencatat al-Muqaddasi sebagai geografer perintis yang mampu melukiskan secara detail tempat-tempat yang pernah disinggahinya. Ia tak cuma menggambarkan kondisi geografis sebuah wilayah, namun mencapai berbagai aspek dalam kehidupan manusia.

Dalam karyanya yang amat monumental ini, al-Muqaddasi pun memberikan gambaran tentang jumlah penduduk, adat istiadat, aktivitas perdagangan, mata uang, kelompok sosial, monumen-monumen arkeologi, alat ukur atau timbangan, hingga pada kondisi politik sebuah masyarakat.

Menurut Profesor Sotoudeh, ilmu geografi telah mencapai kemajuan pesat pada masa itu, tapi sejak bangsa-bangsa lain menyerang Iran, geografi tidak lagi mendapat perhatian.

Pada acara syukuran 100 tahun usianya, Profesor Sotoudeh berkisah tentang perjuangan panjangnya dan mengatakan, "Kita harus bisa memanfaatkan usia yang telah diberikan oleh Allah Swt kepada kita. Kita harus menggunakan seluruh waktu untuk kegiatan-kegiatan yang berguna. Kita tidak boleh membuang-buang waktu demi mencapai kesuksesan. Usia ini harus membawa manfaat untuk pemiliknya dan juga orang lain, jika tidak demikian, ia tidak ada gunanya. Usia adalah modal yang dianugerahkan Allah Swt kepada kita dan kita tidak boleh menghabiskan modal itu dengan berleha-leha…" (RM)

Tags