Uranium 60 Persen dan Pemasangan 1.000 Sentrifugal Baru Iran
Republik Islam Iran dalam kelanjutan program nuklir damainya, di bawah kerangka hak yang ditetapkan Badan Energi Atom Internasional, IAEA pada hari Selasa (13/4/2021) mengabarkan dimulainya pengayaan uranium 60 persen kepada Direktur Jenderal IAEA Rafael Grossi.
Badan Energi Atom Iran, AEOI sehubungan dengan hal ini mengumumkan akan memasang 1.000 sentrifugal baru dari tipe IR-1 di fasilitas nukir Natanz.
Wakil tetap Iran di Organisasi-organisasi Internasional di Wina, Kazem Gharibabadi, Selasa malam di akun Twitternya menulis, "Berdasarkan surat dan informasi desain yang diserahkan kepada IAEA pada Selasa petang, pengayaan uranium 60 persen akan dilakukan di dua rantai sentrifugal baru IR-4 dan IR-6 di Natanz. Mesin-mesin baru yang dibuat dengan modifikasi kualitas ini, memiliki kapasitas lebih besar 50 persen dari mesin-mesin lama."
Uranium yang dikayakan sebesar 60 persen dapat dimanfaatkan untuk memproduksi unsur kimia Molibdenum yang diperlukan untuk membuat berbagai jenis radiofarmaka, dan memainkan peran signifikan dalam meningkatkan kualitas serta kuantitas radiofarmaka yang dihasilkan AEOI.
Berdasarkan Pasa IV Traktat Non-Proliferasi Nuklir, NPT, Iran sebagai salah satu anggota IAEA berhak menggunakan pengetahuan nuklir untuk tujuan damai termasuk pengayaan uranium, dan dengan bersandar pada hak legalnya, Iran berhak mengembangkan penelitian, produksi dan penggunaan energi nuklir damai tanpa diskriminasi.
Deputi Menteri Luar Negeri Iran untuk urusan politik Sayid Abbas Araqchi mengabarkan pengiriman surat kepada IAEA pada hari Selasa. Menurutnya, dalam surat tersebut, Iran mengumumkan dimulainya pengayaan uranium 60 persen. Pengayaan uranium 60 persen merupakan salah satu kebutuhan Iran untuk memproduksi sebagian obat khusus yaitu obat-obatan radioisotop.
Peningkatan level pengayaan uranium pada kenyataannya merupakan bagian dari kapasitas teknologi dalam negeri Iran di bidang nuklir, tentunya dengan tujuan damai, dan Iran sendiri bertekad melindungi haknya di bidang ini.
Iran sebelumnya sudah menandatangani sebuah kesepakatan bernama Rencana Aksi Bersama Komprehensif, JCPOA dan menjalankan komitmennya, oleh karena itu Tehran menekankan implementasi komitmen oleh kedua belah pihak secara seimbang.
Republik Islam Iran sejak Januari 2021 dalam kerangka "Langkah Strategis Pencabutan Sanksi dan Melindungi Kepentingan Nasional" yang dikeluarkan Parlemen negara ini, telah mengambil sejumlah langkah nyata untuk menyikapi penarikan diri Amerika Serikat dari JCPOA, dan pelanggaran komitmen perjanjian ini.
Keputusan memulai pengayaan uranium 60 persen juga merupakan kelanjutan dari langkah ini. Jelas bahwa apa yang dilakukan rezim Zionis Israel terhadap industri nuklir Iran di Natanz, melanggar JCPOA dan merupakan aksi teror.
Kepala Badan Energi Atom Iran, Ali Akbar Salehi menilai insiden di situs nuklir Natanz sebagai aksi terorisme. Ia menegaskan, serangan terhadap pusat pengayaan uranium Natanz adalah bukti kekalahan pihak-pihak yang menentang kemajuan industri nuklir Iran, dan berusaha menjegal kemajuan negara ini.
Salah satu kewajiban IAEA adalah menindak secara hukum segala bentuk sabotase di bidang teknologi nuklir. Oleh karenanya Kazem Gharibabadi melayangkan surat ke Dirjen IAEA dan memintanya selain mengambil sikap transparan juga mengecam teror di Natanz. Akan tetapi IAEA tidak mengecam teror ini.
Sebagaimana yang disampaikan Araqchi, sabotase di fasilitas nuklir Natanz justru memperkuat tekad Iran untuk meraih kemajuan di bidang nuklir, dan insiden ini menyebabkan Natanz semakin kuat, dan akan terus melanjutkan aktivitas dengan sentrifugal yang lebih banyak serta lebih canggih. (HS)