Transformasi Asia Barat, 10 Juni 2023
Transformasi negara-negara Asia Barat selama sepekan lalu diwarnai sejumlah isu penting seperti; P-GCC Sambut Pemulihan Hubungan Iran dan Arab Saudi.
Selain itu, masih ada perkembangan lain seperti;
- Menlu Irak: Kamp al-Hawl di Suriah, Ancaman Nyata
- Doha: Kami Mendukung Solusi Permanen dan Inklusif bagi Krisis Suriah
- Arab Saudi dan India Perluas Hubungan
- Jenderal Lebanon: Peluncuran Rudal Fattah Pesan Tegas bagi Israel
- PM Rezim Zionis: Badan Energi Atom Dunia Menyerah pada Iran
- Intisaf: 12,6 Juta Anak Yaman Memerlukan Bantuan Kemanusiaan
- Ansarullah: AS Berusaha Menduduki Pulau-Pulau Yaman
- Jurnalis Suriah: Imam Khomeini Hidupkan Kepercayaan Diri Rakyat Iran
P-GCC Sambut Pemulihan Hubungan Iran dan Arab Saudi
Para menteri luar negeri negara-negara anggota Organisasi Kerja Sama Teluk Persia (P-GCC) seraya menekankan urgensi upaya bersama untuk meredam tensi di kawasan, menyambut pemulihan hubungan Iran dan Arab Saudi.
Pertemuan tingkat menlu P-GCC digelar Rabu (7/6/2023) di Riyadh, Arab Saudi.
Seperti dilaporkan Aljazeera Kamis (8/6/2023), para menlu P-GCC di akhir pertemuannya terkait pemulihan huubngan Iran dan Arab Saudi dengan mediasi Cina, menekankan, "Kami menyambut keputusan Arab Saudi dan Iran untuk memulai kembali hubungan diplomatiknya."
Negara-negara ini di statemennya seraya menyinggung krisis Suriah menjelaskan, "Kami berkomitmen untuk menemukan solusi politik bagi krisis Suriah dengan cara menjaga persatuan dan kedaulatannya."
Menlu enam negara anggota P-GCC terkait krisis Yaman juga menegaskan, mereka mendukung kedaulatan, kemerdekaan, persatuan dan integritas wilayah Yaman.
Anggota P-GCC terdiri dari Arab Saudi, Kuwait, Bahrain, Qatar, Uni Emirat Arab (UEA) dan Oman.
Menlu Irak: Kamp al-Hawl di Suriah, Ancaman Nyata
Menteri Luar Negeri Irak menyatakan, kondisi di Kamp al-Hawl harus diselidiki; Kondisi kamp ini jika diabaikan akan menjadi ancaman serius bagi keamanan kawasan dan dunia.
Menurut laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), sekitar 56 ribu orang hidup di Kamp al-Hawl, di timur laut Suriah.
Manajemen kamp ini berada di tangan pasukan Demokratik Kurdi Suriah (SDF) di bawah dukungan Amerika Serikat. Kamp ini juga menampung sekitar 10 ribu anggota asing Daesh (ISIS).
Penghuni kamp ini adalah keluarga pengungsi Suriah dan Irak, di mana sejumlah dari mereka masih berhubungan dengan kelompok teroris Daesh.
Menurut laporan Sputnik, Fuad Hussein Kamis (8/6/2023) dalam sidang koalisi internasional di Riyadh seraya menjeskan bahwa Baghdad memiliki pandangan khusus terhadap Kamp al-Hawl di Suriah mengatakan, sekitar 3000 di Suriah berada dalam tahanan.
"Menemukan solusi sejati untuk menyelesaikan krisis kondisi teroris yang ada di wilayah Suriah yang mengancam keamanan dan stabilitas kawasan serta internasional sebuah keharusan," papar Fuad Hussein.
Pertemuan koalisi internasional digelar di Riyadh, Arab Saudi hari Kamis dengan dihadiri lebih dari 30 menlu negara-negara anggota Dewan Kerja Sama Teluk Persia (P-GCC), kawasan, dan Eropa, sejumlah organisasi seperti Uni Eropa, Liga Arab, Interpol, NATO dan negara-negara pantai dan gurun Afrika.
Doha: Kami Mendukung Solusi Permanen dan Inklusif bagi Krisis Suriah
Menteri luar negeri Qatar mengatakan, Doha menuntut mekanisme adil di Suriah dan mendukung solusi politik.
Seperti dilaporkan Sputnik, Mohammad bin Abdulrahman Al Thani Kamis (8/6/2023) sore mengatakan, negaranya tidak memiliki konflik dengan Suriah, dan menghendaki solusi politik bagi krisis di Damaskus.
Menlu Qatar menegaskan, "Kami menghendaki mekanisme adil di Suriah dan mendukung setiap solusi politik yang akan memuaskan rakyat negara ini."
Majid bin Mohammad al-Ansari, jubir Kemenlu Qatar bulan lalu seraya menyambut dan menyatakan dukungan negaranya atas upaya negara-negara Arab guna menemukan solusi krisis suriah menekankan, solusi ini harus didasari pada transformasi positif dan jawaban sejati tuntutan rakyat Suriah.
Suriah bulan Mei lalu mendapatkan kembali kursinya di Liga Arab setelah para menlu organisasi ini dalam sidang istimewanya menyetujui kembalinya Damaskus ke organisasi ini.
Arab Saudi dan India Perluas Hubungan
Putra mahkota Arab Saudi dan perdana menteri India dalam kontak telepon membahas peningkatan kerja sama kolektif.
Selama beberapa tahun terakhir, hubungan antara Arab Saudi dan India dari sisi ekonomi, perdagangan, keamanan dan militer mengalami peningkatan.
Menurut laporan Kantor Berita Arab Saudi (SPA), Putra Mahkota Mohammad bin Salman dan PM India, Narendra Modi melakukan percakapan telepon.
Dalam kontak telepon ini, dibicarakan hubungan yang khas dalam rangka kemitraan strategis kedua negara, kerja sama kolektif yang ada di berbagai bidang, mekanisme peningkatan dan peluang pengembangannya.
Putra mahkota Arab Saudi dan perdana menteri India juga membahas sejumlah isu lain yang diminati kedua pihak.
Sampai saat ini belum ada perincian mengenai pembicaraan via telepon kedua petinggi negara tersebut.
Tahun lalu digelar manuver angkatan laut pertama antara India dan Arab Saudi di perairan Saudi.
India merupakan mitra perdagangan kedua Arab Saudi dan volume perdagangan kedua negara dalam satu tahun mencapai lebih dari 40 miliar dolar.
Jenderal Lebanon: Peluncuran Rudal Fattah Pesan Tegas bagi Israel
Seorang mantan jenderal Lebanon mengatakan, peluncuran rudal hipersonik Fattah, membawa pesan tegas bagi Rezim Zionis, agar menghindari langkah tergesa-gesa terhadap Iran.
Hisham Jaber, mantan jenderal Lebanon, dan Kepala Pusat Riset Asia Barat di Beirut, Rabu (7/6/2023) menuturkan, "Rudal Fattah adalah pesan tegas bagi Angkatan Bersenjata Israel, untuk menghindari segala bentuk tindakan tergesa-gesa terhadap Iran."
Ia menambahkan, "Angkatan Bersenjata Republik Islam Iran sudah memamerkan rudal hipersonik baru bernama Fattah, dan pada tahap pertama rudal ini akan digunakan sebagai faktor pencegahan dalam menghadapi Rezim Zionis, supaya ia menghindari segala bentuk serangan potensial ke wilayah Iran."
Menurut Hisham Jaber, memamerkan salah satu rudal hipersonik baru dari satu sisi membawa pesan bagi rakyat Iran, bahwa militer Iran, selalu siap melindungi warga sipil mereka, dan di sisi lain membawa pesan tegas bagi militer Israel, untuk menghindari segala bentuk tindakan tergesa-gesa terhadap Iran.
Mantan jenderal Lebanon ini meyakini bahwa kemajuan besar dan penting Iran, di bidang persenjataan rudal akan mempengaruhi perimbangan kekuatan kawasan secara signifikan, dan ini menjadi sebuah faktor pencegahan bagi proyek-proyek Israel, untuk menyerang wilayah Iran.
PM Rezim Zionis: Badan Energi Atom Dunia Menyerah pada Iran
Perdana Menteri Rezim Zionis yang sedang mencoba mempolitisasi aktivitas Badan Energi Atom Internasional, IAEA terhadap Iran, menuduh IAEA berubah menjadi organisasi politik.
Benjamin Netanyahu, Minggu (4/6/2023) seperti dikutip Reuters, mengklaim bahwa IAEA sekarang terancam untuk berubah menjadi sebuah organisasi politik dan tidak relevan.
Di hadapan anggota Kabinet Rezim Zionis, Nentayahu menuturkan, "Iran terus melanjutkan kebohongannya terhadap Badan Energi Atom Internasional, IAEA."
Ia menambahkan, "Jika IAEA berubah menjadi sebuah organisasi politik, maka tugas pengawasannya di Iran, dan laporan-laporannya terkait aktivitas nuklir Iran, tidak penting lagi."
Pada saat yang sama, PM Rezim Zionis kembali mengeluarkan ancaman untuk menyerang fasilitas nuklir Iran, setelah ia menuduh inspektur PBB gagal menghadapi Iran.
Rezim Zionis telah sejak lama mengatakan bahwa jika diplomasi internasional gagal, maka Iran harus dihadapkan dengan ancaman militer yang kredibel.
Negara-negara Barat terutama Amerika Serikat, dan Rezim Zionis selama bertahun-tahun menuduh Iran memajukan program nuklir bertujuan militer, namun Tehran berulangkali membantahnya.
Iran menegaskan sebagai salah satu negara penandatangan Traktat Non-Proliferasi Nuklir, NPT, dan anggota Badan Energi Atom Internasional, IAEA, tidak seperti Rezim Zionis yang menolak bergabung dengan dua organisasi ini, punya hak menguasai teknologi nuklir bertujuan damai.
Intisaf: 12,6 Juta Anak Yaman Memerlukan Bantuan Kemanusiaan
Organisasi untuk Hak-hak Perempuan dan Anak, Intisaf mengumumkan bahwa lebih dari 12 juta anak Yaman membutuhkan bantuan kemanusiaan.
Arab Saudi dengan dukungan Amerika Serikat, Uni Emirat Arab, dan beberapa negara lainnya, telah melancarkan invasi militer ke Yaman sejak Maret 2015.
Mereka juga memblokade negara Arab tersebut melalui darat, laut, dan udara, yang mengakibatkan ribuan warga Yaman tewas, puluhan ribu lainnya terluka serta jutaan lainnya terpaksa mengungsi.
Menurut al-Masirah, Intisaf dalam pernyataan terbaru mengenai Hari Internasional tentang Anak Korban Kekerasan dan Perang, mengumumkan bahwa anak-anak Yaman mengalami penderitaan terburuk dan menghadapi masalah mental, fisik, kesehatan, pembunuhan dan pengungsian.
Berdasarkan laporan organisasi tersebut, 12,6 juta anak Yaman membutuhkan bantuan atau dukungan kemanusiaan. Kondisi ini sebagai akibat dari agresi militer Arab Saudi dan sekutunya selama delapan tahun.
"Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tidak memenuhi kewajiban dan tugasnya dalam melindungi anak-anak, sehingga sejak awal agresi Saudi-Amerika ke Yaman, 8.218 anak telah kehilangan nyawa atau terluka," tambah pernyataan itu.
Berdasarkan pernyataan Intisaf, data terbaru menyebutkan bahwa angka kemiskinan di Yaman telah mencapai 80%. Dari setiap 10 anak, 8 anak hidup dalam keluarga yang tidak memiliki cukup penghasilan untuk memenuhi kebutuhan dasar dan utama mereka.
Selama lebih dari delapan tahun, rakyat Yaman menyaksikan perang terus-menerus Angkatan Bersenjata dan Komite Rakyat Yaman melawan pasukan koalisi agresor yang dipimpin Arab Saudi.
Agresi militer ke Yaman ini telah membawa beragam konsekuensi yang sangat buruk, dan menurut PBB, invasi tersebut telah menciptakan krisis kemanusian terburuk di dunia
Ansarullah: AS Berusaha Menduduki Pulau-Pulau Yaman
Seorang anggota Biro Politik Pemerintah Keselamatan Nasional Yaman mengatakan, Amerika Serikat sedang mencoba menempatkan pasukannya di pulau-pulau dan wilayah strategis Yaman.
Arab Saudi, dengan dukungan Amerika Serikat, Uni Emirat Arab, dan beberapa negara lainnya, telah melakukan invasi militer ke Yaman sejak Maret 2015 dan memblokade negara tersebut melalui darat, laut, dan udara. Akibat agresi ini, ribuan warga Yaman tewas, puluhan ribu orang terluka, dan jutaan orang mengungsi.
Menurut laporan IRNA, Ali Al-Qahoum, seorang anggota Biro Politik Pemerintah Keselamatan Nasional Yaman menulis dalam sebuah tweet, Upaya Amerika untuk menetap di pulau-pulau dan wilayah strategis Yaman telah meningkat setelah perubahan berbagai koalisi di kawasan, perang di Ukraina dan pergerakan Cina baru-baru ini.
Al-Qahoum menambahkan, Amerika adalah pihak utama dan penting dalam agresi terhadap Yaman dan situasi bangsa saat ini, dan memiliki rencana yang jelas untuk menciptakan perpecahan di struktur nasional Yaman dan menargetkan bangsanya.
Pejabat Yaman ini menyatakan, Kami tidak akan berkompromi terkait pelanggaran atas independensi dalam pengambilan keputusan kedaulatan nasional negara, dan jika kami puas dengan ini, Amerika dan Saudi akan mencapai kesepakatan dengan kami.
Menyatakan bahwa hari ini setelah 8 tahun, tidak mungkin tunduk pada perintah Amerika Serikat dan Inggris, Al-Qahoum menambahkan, Sejak awal, kami selalu meminta Arab Saudi untuk mengambil langkah-langkah perdamaian dan keluar dari kendali Amerika Serikat. Karena konsekuensi perdamaian atau perang mencakup seluruh wilayah.
Jalal Al-Rowaishan, Deputi Pertahanan dan Keamanan Perdana Menteri Pemerintah Keselamatan Nasional Yaman telah memperingatkan akan keterlambatan Arab Saudi dalam memenuhi kewajibannya di bidang penyelesaian kasus kemanusiaan Yaman.
Deputi Menteri Pertahanan dan Keamanan Perdana Menteri Pemerintah Keselamatan Nasional Yaman menekankan, Proyek disintegrasi Yaman menunjukkan upaya negara-negara agresor untuk memperumit situasi di Yaman dan mendapatkan konsesi dari Sana'a dalam negosiasi.
Jurnalis Suriah: Imam Khomeini Hidupkan Kepercayaan Diri Rakyat Iran
Seorang jurnalis senior Suriah mengatakan, Imam Khomeini adalah seorang tokoh yang mampu mengubah Iran menjadi sebuah kekuatan dunia yang terkemuka, dan menghidupkan kepercayaan diri orang-orang Iran.
Bashar Al Aqda, Sabtu (3/6/2023) seperti dikutip IRNA menuturkan, "Imam Khomeini telah menghidupkan Islam. Sebelum kemunculan Imam Khomeini, mesin-mesin penjajah tak berhenti bekerja, dan terus menggelontorkan miliaran dolar untuk menyingkirkan keyakinan agama rakyat."
Ia menambahkan, "Sebelum Imam Khomeini, seluruh dunia adalah pendukung timur atau barat, tapi Iran berhasil melemahkan konsep ini, dan memosisikan diri tidak pada kedua kubu. Prestasi 'tidak timur, tidak barat' bukan sesuatu yang mudah diraih."
Menurut jurnalis Suriah ini, satu lagi prestasi Revolusi Islam di Iran yang dimpimpin Imam Khomeini adalah menghidupkan semangat percaya diri di dalam diri rakyat Iran.
"Revolusi Islam Iran, telah menghidupkan umat Islam di level global, sebelumnya kita kehilangan arah, Imam Khomeini membimbing kita. Kita sebelumnya sama sekali abai terhadap kewajiban sebagai seorang Muslim, tapi Imam Khomeini menyadarkan kita," pungkasnya.