Bentrokan Berdarah di Tel Aviv dan Diskriminasi Warga Kulit Hitam
Peristiwa terbaru di Tel Aviv telah mengejutkan rezim Zionis Israel, dan kejadian ini dianggap sebagai peristiwa yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Kejutan ini muncul setelah krisis internal melanda rezim Zionis Israel akibat rencana kontroversial kabinet Perdana Menteri (PM) Benjamin Netanyahu untuk melakukan perubahan terhadap undang-undang peradilan.
Rencana ini telah menyebabkan demonstrasi besar-besaran di Palestina pendudukan dalam jangka waktu yang cukup lama.
Peristiwa terbaru telah mengejutkan warga Zionis. Bentrokan sengit terjadi di Tel Aviv pada hari Sabtu, 2 September 2023. Peristiwa ini menunjukkan dimensi lain dari perpecahan internal di wilayah pendudukan Palestina.
Bentrokan berdarah tersebut terjadi antara polisi Israel dan imigran keturunan Afrika, khususnya warga Eritrea dan Sudan, yang mengakibatkan hampir 200 orang terluka di kedua belah pihak.
Seorang perwira polisi senior mengatakan kepada Haaretz bahwa para petugas tidak siap menghadapi tingkat kerusuhan seperti ini, dan kami telah melihat tingkat konflik seperti ini sebelumnya di Tepi Barat, namun hal ini belum pernah terjadi sebelumnya di Tel Aviv.
Menurut sumber-sumber Zionis, penyebab konflik adalah konfrontasi antara pihak penentang dan pendukung Presiden Eritrea. Pernyataan ini dianggap sebagai upaya untuk menutupi perpecahan internal antara rezim Zionis khususnya kabinet ekstremis Netanyahu, dan orang-orang Yahudi keturunan Afrika.
Bukti yang ada, termasuk perintah mendesak dari kabinet Netanyahu untuk mengusir orang-orang yang terlibat dalam bentrokan di Tel Aviv menunjukkan bahwa mereka sebenarnya sedang menunggu momen seperti itu untuk mengusir warga Yahudi keturunan Afrika.
Kurang dari sehari setelah demonstrasi massal warga kulit hitam keturunan Eritrea di Tel Aviv, kabinet Netanyahu telah membentuk komite khusus menteri yang bertugas mengevaluasi kemungkinan untuk mendeportasi pengunjuk rasa keturunan Eritrea.
Komite ini dibentuk setelah Menteri Keamanan Internal Zionis Itamar Ben-Gvir meminta Netanyahu membiarkan polisi menindak para demonstran keturunan Eritrea dan kemudian mengusir mereka dari wilayah pendudukan Palestina.
Pada masa lalu, rezim Zionis, untuk menambah populasi di wilayah pendudukan, dan mengatasi menipisnya cadangan imigran Yahudi dari negara-negara lain, mendatangkan orang-orang Yahudi keturunan Afrika, dan sekarang para ekstremis di kabinet Netanyahu itu berusaha mengusir mereka.
Para Rabi Yahudi yang membayangi kabinet Netanyahu pada dasarnya tidak mengakui identitas warga Yahudi dari para imigran keturunan Afrika. Belum lama ini, salah satu kepala Rabi Israel menyebut warga kulit hitam sebagai monyet.
Meskipun pernyataan tersebut menui kritik keras dan disebut sebagai statemen rasis dan tidak dapat diterima, namun Rabi tersebut tidak dihukum dan bahkan dia tidak bersedia untuk meminta maaf.
Saat ini deportasi warga kulit hitam Afrika menjadi agenda serius rezim Zionis. Jika pada masa lalu rezim Zionis mencoba mendorong mereka untuk kembali ke tanah air atau negara lain dengan menerapkan sejumlah insentif, namun kini menggunakan peluang yang muncul dari konflik tersebut untuk mendeportasi mereka.
Meskipun protes warga kulit hitam baru-baru ini di Tel Aviv dipicu oleh dalih penentangan atas sebuah acara di kedutaan Eritrea di Tel Aviv, namun bergabungnya pengunjuk rasa kulit hitam lainnya, termasuk warga Sudan, menunjukkan bahwa komunitas Zionis kulit hitam sedang menunggu percikan dan momen untuk melanjutkan aksi bersejarah mereka dalam menentang diskriminasi struktural terhadap ras dalam masyarakat Zionis.
Menurut Sharon Abraham Weiss, Direktur Eksekutif Asosiasi Hak Sipil Tel Aviv, hak-hak warga kulit hitam di Israel lebih besar kemungkinannya dilanggar, dan orang-orang kulit hitam di bawah usia 18 tahun empat kali lebih besar kemungkinannya untuk masuk penjara dibandingkan orang-orang kulit putih.
Menurut statistik, sepertiga dari 200 remaja di penjara Israel adalah warga Etiopia, sementara 126.000 orang Yahudi asal Etiopia hanya berjumlah dua persen dari populasi Israel.
Diskriminasi yang meluas terhadap imigran keturunan Afrika berulang kali meluas hingga ke jalanan, sehingga selama satu dekade terakhir, rezim Zionis setidaknya menghadapi 7 gerakan protes besar warga kulit hitam terhadap diskriminasi rasial.
Dengan kata lain, setiap 18 bulan, masyarakat Zionis menghadapi gerakan protes orang-orang kulit hitam. Dalam hal ini, bentrokan yang terjadi di Tel Aviv adalah belum pernah terjadi sebelumnya, yaitu belum pernah terjadi sebelumnya dalam hal kedalaman dan tingkat kekerasan serta korbannya.
Kejadian tersebut dianggap sebagai titik balik yang mengungkap dimensi baru perpecahan dalam internal Israel, dan pendekatan kabinet ekstremis Netanyahu terhadap imigran keturunan Afrika. (RA)