Senantiasalah Berada Di Sisinya!
Di masa bi’tsah [pengangkatan Rasulullah Saw], Sayidina Ali waktu itu berusia sepuluh tahun. Ayahnya; Abu Thalib, selalu melihat putranya senantiasa berada di sisi Rasulullah Saw dan bahkan salat bersama beliau. Sekali dengan bahasa yang lembut, kepada Sayidina Ali berkata, “Bagaimana agama yang engkau pilih?!
Sayidina dalam menjawab pertanyaan ayahnya berkata, “Wahai ayah! Aku telah beriman kepada Allah dan rasul-Nya. Aku mendapati ucapan dan perbuatan-perbuatan Rasulullah benar. Aku mengerjakan salat untuk Allah bersamanya dan aku mengikutinya...”
Abu Thalib sangat gembira mendengarkan ucapan putranya yang masih remaja dan berkata, “Ketahuilah bahwa Muhammad tidak mengajakmu selain hanya kepada kebaikan dan kebahagiaan, untuk itu, senantiasalah bersamanya dan berada di sisinya!”
Ali Sebagai Pembawa Amanat Rasulullah
Rasulullah Saw di tengah-tengah kabilah Quraisy terkenal sebagai orang yang beramanat. Oleh karenanya, beliau diberi gelar “Amin”. Mereka dengan nyaman menyerahkan amanatnya kepada beliau. Ketika Rasulullah Saw atas perintah Allah memutuskan untuk berhijrah ke Madinah, beliau tidak menemukan siapapun yang lebih beramanat dari Sayidina Ali. Oleh karena itu, beliau meminta Sayidina Ali untuk mengembalikan amanat masyarakat kepada mereka dan membayar hutang kepada mereka. Kemudian mengantarkan para putri dan istri Rasulullah dan para wanita muslim ke Madinah.
Atas perintah Rasulullah, setelah mengerjakan pekerjaan yang penting itu, Sayidina Ali pergi menuju Madinah bersama Fathimah [ibunya sendiri] dan Fathimah Zahra, dan Fathimah [putri pamannya Zubair] dan yang lainnya.
Di pertengahan jalan mereka dihadang oleh delapan orang musyrik. Sayidina Ali melawan mereka sendirian dan berhasil mengalahkan mereka. Setelah sampai di Madinah, Rasulullah Saw dengan senang berlari menyambutnya dan memeluknya dan membawa ke rumahnya.
Ciri-Ciri Pecinta Ali as
Suatu Hari Sayidina Ali berbicara di tengah-tengah masyarakat, “Hai orang-orang! Teman dan saudaraku adalah orang yang memiliki ikatan denganku dan ikatan denganku memiliki ciri-ciri...”
Masyarakat diam dan menunggu apakah ciri-ciri yang disebutkan ada pada mereka ataukah tidak.
Sayidina Ali melanjutkan, “Aku sebelum ini memiliki seorang saudara. Saudara seagama dan dia memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
Dunia di matanya, kecil dan hina. Dia tidak terikat pada makan dan minum, dan bukan tawanan perutnya. Diam dan tidak banyak omong. Bila dia berbicara, pembicaraannya benar, bermanfaat dan memuaskan para penanyanya. Penampilannya tawadhu dan sederhana. Ketika berjuang, ia tidak ada bandingannya di lapangan, tegar bak harimau dan membuat musuh ketakutan. Tidak menghukumi secara ngawur dan tanpa bukti. Tidak menyalahkan seseorang sebelum mendengar alasannya. Tidak pernah mengeluh sama sekali [orang lain tidak mengetahui kesulitannya]. Mengamalkan apa yang diucapkannya. Tidak menjanjikan sesuatu yang tidak bisa dilakukannya. Menerima, saat mendengarkan pembicaraan yang benar dan tidak mencari-cari alasan. Lebih suka mendengarkan daripada berbicara. Setiap kali terjadi dua urusan, ia berpikir; yang manakah yang lebih dekat dengan hawa nafsu? Lalu memilih yang lebih jauh dari hawa nafsu dan lebih dekat dengan akal.
Begitu ucapan sampai di sini, Sayidina Ali berkata, “Selamat untuk kalian yang memiliki akhlak yang baik ini. berlomba-lombalah kalian untuk memiliki ciri-ciri ini dan untuk mencapainya. Bila kalian tidak mampu untuk memiliki seluruhnya, maka ketahuilah, melakukannya sedikit lebih baik dari meninggalkan seluruhnya...”
Kebun Di Surga
Musuh-musuh Islam menyimpan dendam terhadap Rasulullah Saw dan anak-anaknya. Sepeninggal Rasulullah Saw, mereka menunjukkan permusuhannya terhadap keluarga Rasulullah dan menyusahkan orang-orang mulia ini. Sebagaimana sudah diprediksi oleh Rasulullah Saw.
Suatu hari Rasulullah Saw bersama Sayidina Ali pergi ke masjid Quba. Di pertengahan jalan keduanya menyaksikan kebun yang subur dan indah. Sayidina Ali berkata, “Wahai Rasulullah! Kebun yang indah!”
Rasulullah Saw bersabda, “Kebunmu di surga lebih indah dari kebun ini! Kemudian Rasulullah Saw memeluk Sayidina Ali sambil menangis. Sayidina Ali juga menangis, kemudian menanyakan alasan tangisan Rasulullah.
Rasulullah Saw bersabda, “Aku teringat akan dendam yang ada di hati masyarakat ini padamu dimana dan akan tampak setelah kematianku.”
Sayidina Ali berkata, “Bila demikian, apa yang harus saya lakukan?”
Rasulullah Saw bersabda, “Bersabar. Bila engkau tidak bersabar, maka akan lebih sulit bagimu.”
Sayidina Ali berkata, “Apakah Anda khawatir, di hadapan semua kesulitan ini aku akan kehilangan agamaku?”
Rasulullah Saw bersabda, “Tidak. Hidupmu, dalam kesabaran.”
Gulat Sayidina Ali
Masyarakat Hijaz adalah masyarakat yang pemberani dan ahli perang. Di kalangan mereka ada tradisi berkumpul di tengah kota dan bertanding gulat. Masyarakatpun berkumpul untuk menyaksikan gulat.
Abu Thalib mengumpulkan putra-putranya, putra saudara-saudaranya dan putra paman-pamannya dan kepada mereka berkata, “Lakukan gulat dua orang, dua orang...”
Sayidina Ali pada zaman itu berusia sepuluh tahun. Abu Thalib menyaksikan bahwa putranya selalu menang setiap kali bergulat dengan siapapun. Pada saat itu, dengan gembira berkata, “Ali menang! [ظهر علی ... zhahara Ali]. Oleh karena itu Sayidina Ali di beri gelar “ظهیر ... Zhuhair” yang berarti pemenang.
Sayidina Ali di masa remaja dan masa muda, juga melakukan gulat dan selalu berhasil mengalahkan orang-orang yang kuat. (Emi Nur Hayati)
Sumber: Sad Pand va Hekayat; Imam Ali as