Mengapa Rakyat Irak Tolak Militer AS ?
(last modified Mon, 04 Dec 2017 11:54:39 GMT )
Des 04, 2017 18:54 Asia/Jakarta

Wakil ketua Organisasi Aksi Islam Irak menegaskan rakyat Irak tidak pernah bersedia untuk menerima kehadiran pangkalan militer AS di negaranya.

Hassan Al Asadi  juga mengkritik jumlah tentara AS yang terus bertambah banyak di Irak. Menurut Al-Asadi, kehadiran pasukan AS di negaranya demi melayani kepentingan Washington. Ditegaskannya, hingga kini sebanyak 8.400 orang personil AS ditempatkan di wilayah utara dan barat Irak.

Selama beberapa pekan terakhir, berbagai kalangan dari politisi, media massa hingga rakyat Irak menyoroti berlanjutnya kehadiran pasukan AS di negaranya yang memicu sentimen penolakan besar-besaran di negara Arab itu. Mayoritas rakyat Irak menilai kehadiran  tentara AS di negaranya mencurigakan, dan tidak membantu pemulihan keadaan.

Berdasarkan kesepakatan keamanan Baghdad-Washington, AS harus menarik pasukannya dari Irak sejak tahun 2011. Tapi tidak lama kemudian, mereka kembali datang ke Irak dengan dalih menumpas terorisme. Sejak Agustus 2014 hingga kini, AS menempatkan pasukannya di Irak.

Tidak hanya itu, selama tiga tahun berada di Irak, militer AS merekontruksi kamp militernya di provinsi Al Anbar serta meningkatkan jumlah personilnya di Nineveh dan Arbil. Ironisnya, alih-alih menumpas Daesh, pasukan AS justru membantu kelompok teroris itu.

Pasukan AS

 

Kini, AS berupaya mempertahankan kepentingan politik dan militernya di Irak pasca kekalahan Daesh di negara Arab itu. Washington menggunakan dua kaki dalam merespon kekalahan kelompok teroris itu. Di satu sisi berupaya melemahkan pasukan relawan rakyat Al Hashd Al Shabi yang selama ini berjuang menumpas teroris Daesh.

Tapi di sisi lain, AS mengklaim sebagai penumpas teroris. AS juga menggunakan kekuatan politiknya untuk mempengaruhi dinamika politik Irak terutama pemilu parlemen mendatang negara ini dengan plot menyulut perpecahan sektarian melalui antek-anteknya.

Media massa  menyoroti kehadiran pasukan AS selama ini di Irak berdampak negatif. Situs National Interest dalam laporan yang ditulis Doug Bandow mengungkapkan, "Mengapa Kehadiran Permanen Pasukan AS di Irak Tidak Baik". Ia menulis, "Tampaknya, presiden AS sedang mengkaji kehadiran permanen pasukan AS di Irak. Masalah ini akan menjadi awal yang berbahaya bagi presiden AS, Donald Trump. Tampaknya, AS berharap bisa memainkan peran permanen di Irak, sebagaimana penekanan sebelumnya untuk mengulangi kesalahan terdahulu,".

Transformasi di Irak menunjukkan, Meskipun berhasil mengakhiri dominasi Daesh di Irak yang merupakan bagian dari masalah terorisme di negara Arab ini, tapi kebijakan baru AS untuk melanjutkan kehadiran pasukannya dan upaya Washington untuk menyingkirkan kelompok-kelompok politik pasca-Daesh akan menjadi krisis baru yang melanda Irak.

Sepak terjang AS menunjukkan tujuan strategis AS di Irak dan Suriah bukan berperang menghadapi terorisme, tapi penguatan hegemoni dan dominasi AS di wilayah kaya minyak, dan strategis itu. Dalam kondisi demikian, para pejabat AS berupaya menjustifikasi sepak terjangnya dengan melemparkan tudingan dan klaim palsu.

Menghadapi plot AS tersebut, rakyat Irak sejak 2003 hingga kini selalu menegaskan independensi negaranya. Tekanan terhadap Washington supaya menarik pasukannya dari Irak menyebabkan AS mulai menarik pasukannya di tahun 2011. Tapi kemudian Pentagon mendapatkan alasan baru untuk mengembalikan kembali pasukannya  di Irak. Kini pun rakyat Irak akan kembali menyuarakan penentangannya terhadap kebijakan Washington tersebut.(PH) 

 

Tags