Publik Dunia dan Pelanggaran HAM Saudi
Delapan organisasi hak asasi manusia meminta Arab Saudi mematuhi aturan PBB mengenai larangan penyiksaan terhadap tahanan, dan segera membebaskan seluruh tahanan politik.
Selama setahun lalu, terutama pasca dinobatkannya Mohammed bin Salman sebagai putera mahkota Arab Saudi, penangkapan aktivis politik dan media di negara Arab ini semakin gencar yang menunjukkan wajah bengis rezim Al Saud.
Para aktivis politik dan jurnalis menjadi bulan-bulanan kebijakan represif rezim Al Saud. Organisasi internasional jurnalis lintas batas baru-baru ini menyatakan bahwa puluhan jurnalis, aktivis dan pengguna media sosial Arab Saudi sejak September lalu hingga kini mendekam di jeruji besi dalam kondisi yang mengkhawatirkan, bahkan tidak diketahui tempat mereka dipenjara.
Berita ini menambah daftar panjang kejahatan kemanusiaan yang dilakukan rezim Al Saud setelah publik dunia dikagetkan dengan kasus pembunuhan seorang jurnalis oposan rezim Al Saud, Jamal Khashoggi di konsulat negara ini di Istanbul. Ironisnya, hingga kini rezim Al Saud masih menjadi anggota Dewan HAM PBB dan menyampaikan rancangan resolusi mengenai kondisi HAM di negara lain, padahal penegakkan hak asasi manusia di negaranya sendiri jauh lebih parah.
Arab Saudi memanfaatkan uang hasil penjualan minyak mentahnya untuk menekan berbagai institusi termasuk PBB supaya mengamini dikte Riyadh. Hingga kini kepentingan ekonomi tersebutlah yang masih menjadi alasan bagi negara-negara Barat, terutama AS tetap membela rezim Al Saud, dan terus melanjutkan hubungan dengan negara Arab ini.
Arab Saudi hingga ini masih berdiri sebagai negara yang tidak memiliki syarat paling dasar dari sebuah negara demokratis seperti pemilu yang bebas dan parlemen. Tampaknya, di negara yang tidak mengakui suara rakyat, kekuasaan terkonsentrasi hanya pada segelintir pihak sebagai pemegang otoritas kekuasaan. Protes rakyat yang dilakukan secara damai sekalipun, pasti akan dihadapi dengan cara-cara represif.
Sepak terjang represif rezim Al Saud akan terus berlanjut selama publik dunia masih membiarkan Riyadh melakukan apa saja yang dikehendakinya meskipun melanggar aturan internasional. Reaksi berupa aksi boikot terhadap pertemuan investasi "Davos Sahara" di Riyadh menunjukkan bentuk baru penentangan publik dunia terhadap Arab Saudi. Ketidakhadiran emir Qatar dan Oman dalam KTT Dewan Kerja Sama Teluk Persia di Riyadh mengindikasikan gelembang penolakan dari sebagian negara Arab tetangganya sendiri terhadap kebijakan regional Arab Saudi.
Kini seruan delapan organisasi HAM terhadap Saudi akan menambah daftar panjang penentangan terhadap berlanjutnya pelanggaran HAM yang dilakukan Arab Saudi. Tapi publik dunia menunggu seberapa efektifkan langkah tersebut, jika PBB masih tetap membiarkan Saudi menjadi anggota Dewan HAM di organisasi internasional ini.(PH)