Pemicu Kegagalan Pembentukan Kabinet Baru di Lebanon
(last modified Tue, 16 Feb 2021 05:25:12 GMT )
Feb 16, 2021 12:25 Asia/Jakarta

Empat bulan telah berlalu sejak Saad al-Hariri ditunjuk sebagai perdana menteri Lebanon, tetapi kabinet baru hingga kini belum terbentuk.

Perdana Menteri Saad al-Hariri yang bertugas membentuk kabinet baru Munggu (14/2/2021) kembali mengklaim sejumlah tokoh dan kelompok berupaya menghalangi pembentukan kabinet.

Kantor pers Presiden Lebanon Michel Aoun mengeluarkan pernyataan yang membantah statemen Saad al-Hariri dan menilainya penuh dengan kekeliruan dan kesalahpahaman. Mereka menilai al-Hariri berusaha untuk menerapkan tradisi baru yang bertentangan dengan konstitusi dan Piagam Rekonsiliasi Nasional di Lebanon dalam pembentukan sebuah kabinet.

Lebanon menghadapi ketidakstabilan politik sejak Oktober 2019. Saad al-Hariri mengundurkan diri pada Oktober 2020 setelah terjadi protes rakyat yang meluas. Tampaknya, al-Hariri mengharapkan masalah kabinet baru bisa memberikan tekanan terhadap kelompok lain, termasuk Presiden Michel Aoun. Akhirnya Hassan Diab ditunjuk untuk membentuk kabinet.

Al-Hariri dan afiliasinya menekan Diab supaya membubarkan kabinetnya lebih awal. Tetapi, peristiwa ledakan di pelabuhan Beirut pada 4 Agustus 2020 dan protes berikutnya akhirnya menyebabkan pengunduran diri Hassan Diab sebagai Perdana Menteri Lebanon. 

Setelah itu, Mustafa Adib diangkat sebagai perdana menteri baru, namun ia mundur sebulan kemudian agar Saad al-Hariri bisa diangkat kembali. Al-Hariri telah melakukan 14 pertemuan dengan Presiden Lebanon Michel Aoun sejauh ini, tetapi belum ada kesepakatan tentang pembentukan kabinet.

 

Michel Aoun

 

Lalu mengapa 14 pertemuan ketua pejabat tinggi Lebanon ini tidak mengarah pada pembentukan kabinet baru? Apa masalah utamanya?

Tampaknya, penyebab utama dipicu ketidakpercayaan antara Michel Aoun dan Saad al-Hariri. Surat kabar Lebanon Al-Banna menulis dalam sebuah artikelnya, "Masalah tidak terbentuknya kabinet baru bukan mengenai perselisihan kursi, tapi karena kurangnya kepercayaan penuh antara Al-Hariri dengan Aoun dan Basil,".

Akar ketidakpercayaan Al-Hariri dan Aoun kembali pada fakta bahwa Al-Hariri berupaya membangun monopoli politik dan pemberdayaan sekutunya, terutama penghapusan koalisi perlawanan dari kekuasaan atau pengurangan bobotnya di kabinet.

Masalahnya, Al-Hariri bukanlah sosok independen di Lebanon, tetapi memiliki ketergantungan terhadap negara asing, sebagaimana terlihat jelas dalam peristiwa November 2017. Ketika itu, Hariri menyatakan mundur dari jabatan perdana menteri untuk mengamini tekanan Mohammed bin Salman. 

Faktor lain dalam kegagalan pembentukan kabinet baru Lebanon karena Al-Hariri menekankan pembentukan pemerintahan teknokratis dan lintaspartai, yang ia pandang sebagai jalan keluar dari masalah-masalah tradisional Lebanon, terutama tantangan politiknya.

Pemikiran Al-Hariri menghadapi penentangan serius di Lebanon, termasuk datang dari Presiden Michel Aoun. Aoun percaya bahwa tawaran tersebut bertentangan dengan piagam nasional dan tradisi politik Lebanon, karena tidak mengharuskan perdana menteri dari kalangan Sunni Lebanon, presiden dipilih oleh orang-orang Kristen dan ketua parlemen dipilih oleh Syiah Lebanon.  

Pembentukan pemerintahan teknokratis dimungkinkan ketika partai atau koalisi pemenang pemilihan yang tidak harus mencakup Sunni, dapat mencalonkan perdana menteri dan membentuk kabinet. Konfrontasi antara kedua gagasan tersebut menjadi kendala penting  kebuntuan politik Lebanon.

Melihat situasi ini, tampaknya kabinet Lebanon tidak akan segera terbentuk. Sebagaimana ditegaskan, Sayyid Ibrahim Amin al-Sayyid, Ketua Biro Politik Hizbullah Lebanon bahwa kemungkinan pembentukan kabinet Lebanon saat ini masih jauh panggang dari api.(PH)