Ketika Griffiths Mengakui Kegagalan PBB dalam Krisis Yaman
(last modified Wed, 02 Jun 2021 00:36:14 GMT )
Jun 02, 2021 07:36 Asia/Jakarta

Martin Griffiths, utusan khusus Sekjen PBB untuk Yaman mengakui kegagalan upayanya untuk meraih gencatan senjata di negara itu, dengan mengatakan tidak ada yang lebih kecewa daripada dirinya.

74 bulan telah berlalu sejak perang koalisi Saudi terhadap Yaman. Berbagai tindakan koalisi Saudi dalam perang ini telah dilakukan, termasuk membantai lebih dari 17.000 orang dan melukai puluhan ribu warga sipil, serta penghancuran infrastruktur Yaman.

Itu adalah contoh nyata dari kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan terhadap perdamaian dan kejahatan perang. Namun, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), sebagai badan terpenting yang bertanggung jawab atas perdamaian dan keamanan internasional, belum memiliki catatan positif dalam menangani perang ini.

Kejahatan perang koalisi Saudi di Yaman

Pertanyaannya adalah, apa sebenarnya yang bisa dilakukan PBB?

Pembukaan Piagam PBB menyatakan bahwa "menyelamatkan generasi penerus dari bencana perang" dan Pasal 1 menjaga perdamaian dan keamanan internasional sebagai beberapa dari tujuan utama PBB.

Sejalan dengan itu, PBB seharusnya dapat mengambil langkah-langkah untuk menghentikan perang dan membuat gencatan senjata, mencabut blokade penuh Yaman oleh koalisi Saudi, mengutuk koalisi Saudi karena memaksakan perang terhadap Yaman, dan memfasilitasi dialog antara pihak-pihak yang bertikai.

Baca juga: Sisi Penting Operasi Terbaru Yaman di Wilayah Arab Saudi

Apa yang telah dilakukan PBB dalam 74 bulan terakhir adalah menjadi penengah antara kedua belah pihak untuk bernegosiasi dan mencapai kesepakatan tentang gencatan senjata.

"Perserikatan Bangsa-Bangsa, untuk mencapai gencatan senjata menyeluruh, akan memediasi kedua pihak untuk mencabut pembatasan pergerakan bebas orang dan barang-barang penting ke dan dari Yaman, dan memulai kembali proses politik," kata Martin Griffiths hari Senin (31/05/2021) sebelum meninggalkan Yaman di Bandara Sanaa.

Mengapa PBB gagal di Yaman? Karena PBB tidak bisa netral dalam perang Yaman.

"Kami telah berkonsultasi dengan para pejabat Yaman dan Saudi di Riyadh beberapa kali tentang rencana gencatan senjata," katanya, seraya mencatat bahwa dia telah menawarkan beberapa cara untuk menyelesaikan perbedaan antara pihak Yaman selama setahun terakhir.

Pertanyaan penting lainnya adalah mengapa PBB gagal di Yaman?

Alasan utama tampaknya karena PBB tidak bisa netral dalam perang Yaman. Para pejabat dari Pemerintah Keselamatan Nasional Yaman telah berulang kali mengkritik masalah tersebut.

Juru Bicara Ansarullah Mohammed Abdul Salam mengatakan PBB tidak mendukung siapa yang benar dalam perang Yaman. Menurutnya, pasukan agresor tidak menerima opsi damai dan bahkan PBB tidak berani mengutuk aksi blokade Yaman.

Faktor lainnya adalah bahwa kekuatan-kekuatan utama Dewan Keamanan PBB tetap diam atau berpihak pada Arab Saudi dalam perang ini. Kepasifan dan pendekatan suportif dari kekuatan-kekuatan besar membuat koalisi Saudi lebih berani dalam agresinya terhadap Yaman. Hal ini membuat Riyadh tidak khawatir akan reaksi internasional dan bahkan tidak mencoba untuk mencabut blokade Yaman dari darat, laut dan udara.

Ketika kekuatan besar tidak memiliki kemauan untuk menyelesaikan krisis yang ada, maka krisis ini tidak akan bergerak ke arah penyelesaian.

Faktor penting lainnya adalah ketergantungan finansial Perserikatan Bangsa-Bangsa. Organisasi ini tidak memiliki kemandirian finansial. Sebagian besar kebutuhan keuangan PBB dipenuhi oleh negara-negara besar serta negara-negara kapitalis Arab, termasuk Arab Saudi dan UEA.

Dana Arab Saudi buat PBB di balik kejahatan Saudi di Yaman

Karena itu, ketika mantan Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon memasukkan Arab Saudi ke dalam daftar hitam, ia menghadapi ancaman keuangan dari negara-negara Arab, serta Washington, dan terpaksa menghapus Arab Saudi dari daftar tersebut.

Akhirnya, alasan-alasan ini menunjukkan bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa melihat supremasi pendekatan politik daripada pendekatan hukum, dan situasi ini membuat organisasi internasional ini selektif dalam krisis dan tunduk pada kepentingan berbagai kekuasaan.