Aksi dan Pesan AS yang Saling Bertentangan terhadap JCPOA dan Iran
Salah satu slogan dan klaim terpenting Amerika Serikat sejak pelantikan Presiden Joe Biden adalah kembali ke Rencana Aksi Bersama Komprehensif (JCPOA). Namun, terlepas dari berlalunya sekitar dua setengah tahun dari janji-janji ini, pendekatan kontradiktif Amerika Serikat dalam hal sikap dan tindakan mengenai JCPOA dan Iran menjadi lebih jelas.
Dalam langkah terbaru Washington terhadap Iran, yang dipandang bertentangan dengan retorikanya tentang pencabutan sanksi dan kembali ke JCPOA, Departemen Keuangan AS pada hari Kamis (16/06/2022) mengumumkan adanya jaringan yang memungkinkan Iran untuk menghindari sanksi dan menjual produk petrokimianya telah ditambahkan ke dalam daftar sanksi.
Dalam pernyataan Departemen Keuangan AS disebutkan, "Hari ini, Kantor Pengawasan Aset Asing Departemen Keuangan AS menempatkan pada daftar sanksi, jaringan dari para produsen petrokimia Iran, serta perusahaan fiktif yang berbasis di Cina dan UEA yang mendukung Trilliance Petrochemical dan Iran Petrochemical Trading Company. Kedua perusahaan ini memainkan peran kunci dalam menjual produk-produk petrokimia Iran ke luar negeri."
Menanggapi sanksi terbaru AS, Mehdi Safari, Deputi Menteri Luar Negeri Iran urusan Diplomasi Ekonomi menjelaskan bahwa sejak awal petrokimia kami telah disanksi dan menambahkan, "Penjualan terus belanjut dan akan tetap berlanjut lewat berbagai jalur."
Presiden AS Joe Biden telah berulang kali menekankan perlunya kembali ke JCPOA, dan mengklaim bahwa dia akan melakukannya sesegera mungkin.
Namun, setelah delapan putaran pembicaraan panjang di Wina antara Iran dan kelompok 4 + 1, dengan kehadiran tidak langsung Amerika Serikat, terlepas dari optimisme awal tentang mencapai kesepakatan terkait pencabutan sanksi anti-Iran oleh Amerika Serikat dan Iran kembali memenuhi kewajibannya, tetapi sekarang ada suasana keraguan dan bahkan keputusasaan di bidang ini.
Sejatinya, Amerika Serikat sedang mencoba untuk melempar apa yang disebut bola ke lapangan Iran dengan alasan kegagalan pembicaraan Wina dan menyalahkan Tehran atas situasi yang tidak diketahui saat ini.
Padahal, Iran telah berulang kali membuat tuntutannya jelas dan tegas, dan pemerintah Biden tampaknya tidak mau atau tidak dapat menanggapi secara positif tuntutan rasional ini.
Pemerintahan Biden, pada dasarnya, melanjutkan pendekatan pemerintahan Trump untuk melanjutkan kampanye tekanan maksimum pada Iran, dan sambil meningkatkan tuntutan di luar JCPOA, pada dasarnya tidak memiliki keinginan untuk menanggapi secara positif tuntutan logis dan sah Iran.
Salah satu slogan dan klaim terpenting Amerika Serikat sejak pelantikan Presiden Joe Biden adalah kembali ke Rencana Aksi Bersama Komprehensif (JCPOA). Namun, terlepas dari berlalunya sekitar dua setengah tahun dari janji-janji ini, pendekatan kontradiktif Amerika Serikat dalam hal sikap dan tindakan mengenai JCPOA dan Iran menjadi lebih jelas.
Masalah ini diperparah oleh fakta bahwa hampir semua anggota parlemen dari partai Republik dan banyak dari Demokrat telah menyatakan penentangan mereka terhadap perjanjian apa pun dengan Iran tanpa mempertimbangkannya di Kongres.
Sekarang, pihak Barat dan bahkan Eropa mengungkapkan skeptisisme yang berkembang tentang kemungkinan mencapai kesepakatan baru untuk melanjutkan kembali kesepakatan JCPOA tahun 2015.
Negosiasi untuk mencabut sanksi di Wina terhenti selama beberapa bulan. Sejak awal pembicaraan, pemerintah AS telah berulang kali mencoba menuduh berbagai pihak, termasuk Iran dan Rusia, memperlambat dan menghalangi pembicaraan, alih-alih mengusulkan inisiatif praktis guna memajukan pembicaraan.
Meski mengakui kegagalan kebijakan tekanan dan sanksi terhadap Iran, pemerintah Biden terus mengancam Tehran dalam hal ini.
Jake Sullivan, Penasihat Keamanan Nasional Gedung Putih mengatakan, "Langkah-langkah yang telah diambil Iran terkait pengayaan dan mekanisme verifikasi tidak membantu, dan kami telah menanggapinya dengan meningkatkan tekanan ekonomi. Kami telah menjatuhkan sanksi terhadap Iran, dan lebih banyak sanksi sedang dalam perjalanan."
Sementara itu, Lawrence Norman, seorang reporter Wall Street Journal, mentweet tentang sanksi baru Departemen Keuangan AS terhadap ekspor petrokimia Iran. Dia mengklaim bahwa pemerintahan Biden percaya bahwa sanksi yang dijatuhkan hari ini bertentangan dengan JCPOA yang dihidupkan kembali dan bila kesepakatan dicapai, sanksi akan dibatalkan dan Eropa akan diminta untuk menyampaikan pesan ini kepada Iran.
Norman menambahkan, "Sekitar 150 sanksi sebelumnya oleh pemerintah Biden semuanya dianggap sesuai dengan kesepakatan dan dikatakan bahwa semuanya tidak akan dicabut jika JCPOA dihidupkan kembali."
Jika ini benar, harus dikatakan bahwa pemerintah Biden terjebak dalam kontradiktif dan kebingungan dalam kebijakannya terhadap Iran dan JCPOA. Masalah ini menjadi alasan kegagalan pembicaraan Wina.(sl)