Kondisi Ekonomi Sri Lanka, Peringatan untuk Negara-Negara Lain
Sri Lanka menjadi negara yang bangkrut dan diperkirakan akan mengalami krisis terburuk di berbagai sektor hingga tahun 2023. Kondisi ini mengancam nasib 22 juta jiwa penduduk Sri Lanka.
Ekonomi Sri Lanka hancur oleh pandemi sehingga memperparah ekonomi yang salah urus di negara ini. Perdana Menteri Ranil Wickremesinghe di hadapan parlemen Sri Lanka, Selasa (5/7/2022) lalu mengakui bahwa Sri Langka bangkrut.
Warga Sri Lanka mengalami kesulitan mendapatkan berbagai macam barang kebutuhan hidup, mulai dari bahan bakar hingga obat-obatan selama berbulan-bulan.
PDB (Produk domestik bruto) Sri Lanka turun menjadi $76,2 miliar pada 2021, dibandingkan tahun 2018 yang mencapai $94,4 miliar. Wickremesinghe mengatakan, PDB tidak akan pulih pada level 2018 sampai 2026 mendatang. Pemerintah menargetkan pertumbuhan minus 1 persen pada akhir tahun depan.
Krisis ekonomi parah Sri Lanka harus menjadi peringatan bagi dunia. Karena kondisi ini bisa menciptakan krisis lainnya, termasuk politik dan keamanan. PBB memperingatkan bahwa dampak dari perang di Ukraina yang terlarut-larut dapat membuat semakin banyak negara kewalahan dan berisiko mengalami krisis ekonomi yang sama seperti di Sri Lanka.
Administrator Program Pembangunan PBB (UNDP), Achim Steiner pada Kamis (7/7/2022) seperti dimuat NDTV mengatakan, kami menyaksikan serangkaian peristiwa tragis yang sedang berlangsung di Sri Lanka saat ini yang seharusnya menjadi peringatan bagi siapa saja.
Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) merilis data baru terkait lonjakan jumlah ornag yang terkena dampak kelaparan secara global. Pada 2021, orang yang terkena dampak kelaparan naik menjadi 828 juta orang, naik sekitar 46 juta sejak 2020. Total 150 juta orang terjerumus sejak pandemi Covid-19.
Tingkat inflasi yang melonjak telah menyebabkan peningkatan jumlah orang miskin di negara-negara berkembang sebesar 71 juta dalam tiga bulan sejak Maret 2022. Situasi ini sangat berisiko bagi negara-negara berkembang yang memiliki cadangan fiskal tipis dan tingkat utang negara tinggi, dibarengi kenaikan suku bunga di pasar keuangan global.
Menurut analisis UNDP, naiknya harga komoditas utama sudah berdampak langsung bagi rumah tangga termiskin di 159 negara berkembang. (RA)