Desa Tunisia Menderita Kekeringan Akibat Perubahan Iklim
(last modified Sat, 09 Dec 2023 05:32:17 GMT )
Des 09, 2023 12:32 Asia/Jakarta

Penduduk desa Tunisia, Ounissa Mazhoud, mengikatkan dua jerigen kosong ke seekor keledai dan dengan hati-hati menuruni bukit berbatu menuju sumber air terakhir.

Negara di Afrika Utara ini, yang mengalami kekeringan selama empat tahun, sedang bergulat dengan kelangkaan air terburuk dalam beberapa tahun terakhir.

Mazhoud, seperti perempuan lainnya di desa terpencil Ouled Omar, 180 kilometer (110 mil) barat daya ibu kota Tunis, bangun setiap pagi dengan satu hal dalam pikirannya: mencari air.

“Kami adalah mayat hidup… yang dilupakan oleh semua orang,” kata Mazhoud, 57 tahun, yang wilayahnya pernah menjadi salah satu wilayah paling subur di Tunisia, yang terkenal dengan ladang gandum dan pinus Aleppo.

“Kami tidak punya jalan, tidak ada air, tidak ada bantuan, tidak ada perumahan yang layak, dan kami tidak punya apa-apa,” katanya, seraya menambahkan bahwa sumber air terdekat adalah sungai yang jaraknya sekitar satu jam berjalan kaki.

Menyediakan air untuk keluarga mereka, katanya, berarti “punggung, kepala dan lutut kami sakit, karena kami bekerja dari fajar hingga senja”.

Bank Dunia memperkirakan bahwa pada tahun 2030 kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara akan berada di bawah ambang batas “kelangkaan air absolut” yaitu 500 meter kubik per orang per tahun.

Tunisia, yang sudah menjadi negara ke-33 yang paling mengalami kekurangan air menurut World Resources Institute, telah turun menjadi 450 meter kubik per penduduk.

Sungai di Tunisia yang mengering

Bendungan-bendungannya, yang merupakan sumber utama air minum dan mengairi tanaman, hanya terisi 22 persen dari kapasitasnya, meskipun baru-baru ini terjadi hujan singkat, menurut angka resmi.

Sekitar 20 bendungan sudah tidak berfungsi lagi, sebagian besar berada di wilayah selatan yang paling gersang.

Musim semi lalu, pihak berwenang Tunisia memperkenalkan penjatahan air untuk membatasi penggunaan rumah tangga bahkan di kota-kota besar.

Namun di desa-desa terpencil, dimana kelangkaan air berdampak pada sektor pertanian dan peternakan, permasalahan ini menjadi lebih serius.

Suami Ounissa yang berusia 65 tahun, Mahmoud Mazhoud, mengatakan desa mereka tidak mampu memelihara ternak, sehingga memaksanya untuk menjual setengah dari kawanan sapinya agar dia mampu menjaga sisanya tetap hidup.

Ouled Omar adalah rumah bagi 22 keluarga yang berbagi satu-satunya mata air yang tersisa.

Mereka mengatakan total air yang dihasilkan hanya sekitar 10 liter (2,6 galon) per hari, tapi tidak dapat diminum.

Ramzi Sebtaoui, seorang peternak berusia tiga puluhan, setiap hari membawa air untuk keluarganya dengan berkendara ke sumber terdekat, sekitar 20 kilometer jauhnya di kota Maktar.

“Dua atau tiga tahun lalu, situasinya jauh lebih baik, dengan banyaknya sumber air alami yang bisa kami gunakan untuk peternakan,” ujarnya.

“Saat ini, akibat perubahan iklim dan faktor lainnya, hampir semua sumber daya telah mengering, dan jalan-jalan hancur.”

Pekan lalu, warga Ouled Omar melakukan perjalanan hampir 50 kilometer ke kota Siliana untuk melakukan protes di luar kantor gubernur, menuntut jalan beraspal dan akses terhadap air bersih.