Di Balik Insiden Amsterdam; Akar Psikologis Rasisme dan Dominasi Zionis
Nov 10, 2024 20:52 Asia/Jakarta
Parstoday – Menurut seorang peneliti, hal yang paling mengejutkan bagi para suporter tim sepakbola Israel, Maccabi Tel Aviv, di Amsterdam, adalah perilaku mereka di luar budaya Israel, dan Wilayah pendudukan, ternyata tidak bisa ditolerir.
Abed Abu Shehadeh, aktivis politik lulusan Universitas Tel Aviv, dan orang yang bertahun-tahun hidup di antara orang-orang Zionis, menulis artikel berjudul "Holigan-Holigan Sepakbola Israel, Bawa Budaya Genosida ke Amsterdam".
Dalam artikelnya, Abu Shehadeh, berusaha menemukan akar kerusuhan yang baru-baru ini terjadi di Amsterdam, Belanda, dan dipicu oleh orang-orang Israel.
Kerusuhan Amsterdam adalah contoh baru dari perilaku mengerikan sebuah masyarakat yang selalu merayakan pembunuhan massal. Saat menyaksikan perusakan dan pembunuhan luas, kita juga perlu memperhatikan meluasnya budaya genosida di antara orang-orang Israel.
Salah satu manifestasi budaya ini terjadi pada hari Kamis lalu, ketika para perusuh Israel, pendukung tim Maccabi Tel Aviv, di Amsterdam, memicu bentrok fisik dengan para pemuda Belanda.
Mereka meneriakkan slogan anti-Arab, menurunkan bendera Palestina, dan mengabaikan satu menit diam untuk menghormati korban banjir di Spanyol.
Nampaknya para perusuh Israel, tidak pernah membayangkan bahwa slogan-slogan rasis dan aksi-aksi destruktif terhadap fasilitas orang lain di luar negeri adalah perilaku yang tidak bisa ditoleransi, dan dapat memicu kemarahan penduduk lolal.
Cara berpikir para perusuh dan preman Israel, selaras dengan budaya genosida yang meliputi orang-orang Israel, sejak 7 Oktober 2023, dan memberi wewenang kepada orang-orang Israel, untuk menganggap diri lebih tinggi dari hukum dan moral, bukan hanya di Israel, tapi di seluruh dunia.
Slogan-slogan penuh kebencian yan diteriakkan para suporter tim sepakbola Israel, harus dipahami dalam kerangka sosial yang terus berusaha menjustifikasi perang genosida Israel, terhadap rakyat Palestina.
Meluasnya Kekerasan
Para suporter tim sepakbola Israel, Maccabi Tel Aviv, adalah gambaran dari sebuah budaya yang sejak sebelum 7 Oktober 2023 sudah menganggap slogan-slogan semacam "Mampus Arab" dan "Akan Kami Bakar Desa-Desa Kalian" sebagai hal yang lumrah.
Maka dari itu kejutan yang utama bagi para pendukung tim Maccabi Tel Aviv, adalah bahwa perilaku mereka di luar budaya Israel, dan Wilayah pendudukan, ternyata tidak bisa ditolerir.
Di sisi lain, lebih dari satu tahun budaya dan tradisi di Israel, selalu dimanfaatkan untuk menyebarkan dan mendorong genosida, tanpa menimbulkan protes publik yang terlalu berarti. Di antara Zionis, pembenaran atas pembunuhan anak-anak Palestina, dan upaya membuat warga sipil di Gaza, kelaparan, mendapat dukungan luas.
Bulan lalu, stasiun televisi Al Jazeera, menayangkan sebuah film dokumentasi yang memusatkan perhatian pada unggahan para tentara Israel, yang bertugas di Gaza, di media sosial yang menyiarkan secara langsung kejahatan perang yang mereka lakukan. Saat seluruh dunia dikejutkan oleh kenyataan ini, tapi orang-orang Israel, dan Zionis, malah membela tentara mereka.
Tahun lalu kita menyaksikan unggahan-unggahan di media sosial terkait lagu-lagu, komedi, program acara jurnalis, dan tayangan-tayangan budaya yang disertai statemen para pemuka agama, pemain sepakbola, dan akademisi yang terang-terangan menyebarkan genosida, termasuk pembunuhan anak-anak.
Para analis Israel, tanpa pembatasan apa pun mendesak pembunuhan puluhan ribu orang Palestina. Beberapa dari mereka mengatakan Militer Israel, harus membunuh lebih banyak orang Palestina, atau memutus bantuan-bantuan kemanusiaan untuk Gaza.
Alih-alih mengecam statemen-statemen semacam itu, para akademisi dan analis Israel, justru membahas bagaimana cara menjustifikasi upaya membuat warga sipil yang membangkang kepada pasukan Israel, kelaparan.
Tidak Adanya Jawaban
Lebih buruk dari itu, fenomena ini terjadi di seluruh tempat umum. Berjalan di tengah orang-orang Israel, dan mendengarkan apa yang mereka bicarakan dari semua lapisan usia, di kereta dan taman-taman, menunjukkan justifikasi perang Gaza, dengan satu tuntutan umum yaitu membunuh dan membinasakan semain banyak orang.
Kebanyakan orang Israel, menunjukkan kegembiraan atas kematian orang-orang Palestina, dengan bertepuk tangan dan mengangkat gelas. Beberapa pemukim Zionis untuk merayakan pembunuhan orang Palestina, membagi-bagikan kue. Semua ini dilakukan di tengah sebuah masyarakat yang sebagian besarnya bersenjata.
Semua itu dilakukan karena di Israel, semua orang Zionis merasa kebal hukum akibat dukungan dari kekuatan-kekuatan besar di Barat.
Dapat dipahami bahwa elite politik dan budaya Israel, bertanggung jawab atas terbentuknya opini publik semacam ini, dan mereka yang membuka peluang berdirinya budaya genosida.
Sungguh disesalkan dunia juga terlibat dalam menyediakan kesempatan bagi Israel, untuk mengembangkan mekanisme-mekanisme penumpasan. Industri senjata Israel, ramai, dan menjadikan orang-orang Palestina sebagai target uji coba pembunuhan dan penumpasan.
Kampus-kampus Israel, juga menyediakan infrastruktur dan penelitian-penelitian untuk menumpas orang-orang Palestina. Negara-negara Arab, dengan menyebarluaskan normalisasi hubungan dengan Israel, telah memperkuat proses ini. Semua itu telah membantu memperluas budaya genosida Israel.
Kembalinya Trump
Budaya ini kemungkinan akan semakin kuat seiring dengan kembali berkuasanya Donald Trump di Amerika Serikat. Trump diharapkan akan melanjutkan dukungan luar biasa AS terhadap mesin perang Israel, dan budaya genosida.
Kelompok sayap kanan Israel, dengan segera merayakan kemenangan Trump, bukan karena bantuan-bantuan militer atau diplomatik, tapi karena mereka berharap Presiden AS semacam Trump, akan menutup mata dan membiarkan Israel, membuat rakyat Gaza semakin kelaparan, dan melawan seluruh aturan anti-demokrasi yang ditetapkan untuk Israel, serta menjadikan satu-satunya tujuan, menyerang rakyat Palestina. (HS)