Kolonialisme Modern di Balik Pertemuan Trump dan Lima Presiden Afrika
Presiden AS dalam pertemuan baru-baru ini dengan para pemimpin beberapa negara Afrika mendorong mereka untuk membeli peralatan dan senjata dari Amerika Serikat.
Pada 9 Juli, Presiden AS Donald Trump mengadakan pertemuan puncak tiga hari di Gedung Putih yang dihadiri oleh para pemimpin Gabon, Guinea-Bissau, Liberia, Mauritania, dan Senegal.Inilah sebuah pertemuan yang menjadi panggung untuk mempermalukan para tamu undangan secara terencana.
Menurut Pars Today, mengutip Al Jazeera, Trump, yang melanjutkan kebijakan perdagangannya, mencari pelanggan untuk senjata Amerika, dan kali ini jatuh pada Afrika. Namun, sementara itu, lima presiden Afrika yang berperan sebagai subjek kolonial yang loyal, menginjak-injak martabat rakyat mereka untuk menghindari tarif dan murka Trump.
Trump membuka pertemuan puncak dengan pidato empat menit,dan mengklaim bahwa kelima pemimpin yang diundang mewakili seluruh benua Afrika. Tidak masalah bahwa negara mereka menyumbang sebagian kecil dari angka perdagangan AS-Afrika; yang penting adalah emas, minyak, dan mineral yang terpendam di tanah mereka. Trump kemudian mengumumkan bahwa AS "beralih dari bantuan ke perdagangan."
Pada saat itu, motif pertemuan itu terungkap bahwa Trump telah berubah dari seorang tokoh diplomatik menjadi seorang pemain sandiwara, bukan tuan rumah yang simpatik, dan pertemuan itu dengan cepat berubah menjadi tontonan yang memalukan.
Trump berada di tempatnya yang alami, bagaikan seorang dalang yang ulung, memaksa setiap tamu Afrika untuk memainkan perannya. Ia mengundang mereka untuk menyampaikan beberapa patah kata kepada media.
Presiden Mauritania Mohamed Ould Ghazouani memimpin sebagai pemuka. Ia menyebut Trump sebagai juru damai terhebat di dunia dan mengklaim bahwa ia telah menghentikan "perang antara Iran dan Israel." Pujian ini datang tanpa menyebutkan dukungan militer dan diplomatik Amerika yang berkelanjutan terhadap perang Israel di Gaza, sebuah kejahatan yang dikutuk keras oleh Uni Afrika. Ghazouani, pada dasarnya, mengundang Trump untuk mengeksploitasi mineral langka Mauritania.
Berikutnya adalah Presiden SenegalBassirou Diomaye Faye yang bahkan meminta Trump untuk membangun lapangan golf di negaranya. Trump menolak permintaan tersebut, malah memuji penampilan muda Faye. Dialah yang berkuasa dengan platform anti-kolonial, berjanji untuk mematahkan kebijakan neo-kolonial dan memulihkan martabat Afrika. Namun kini di Gedung Putih, berlutut di hadapan penjajah paling terang-terangan pada masanya. Ia gagal menantang Trump, menekankan kesetaraan, atau mendukung kedaulatan yang begitu gigih ia bela di negaranya.
Presiden Gabon Brice Clotaire Oligui Nguema juga berbicara tentang "kemitraan yang saling menguntungkan" dengan Amerika Serikat.
Sementara itu, Presiden Liberia Joseph Boakai, satu-satunya hal yang menarik perhatian Trump adalah kemampuan bahasa Inggrisnya. Trump bertanya kepadanya: "Di mana Anda belajar bahasa Inggris yang begitu indah? Di mana Anda belajar? Di mana? Di Liberia?"
Keterkejutannya atas penguasaan bahasa Inggris Boakai sesuai dengan pola imperialis yang telah lama ada. Orang Afrika yang "menguasai" bahasa penjajah seringkali dipandang bukan sebagai intelektual multibahasa yang canggih, melainkan sebagai bawahan yang telah menyerap budaya dominasi. Mereka diberi imbalan bukan karena kecerdasan atau kemandirian, melainkan karena kedekatan mereka dengan ras kulit putih.
Pertemuan Trump dengan lima pemimpin lima negara Afrika bertujuan untuk mengendalikan mereka. Trump tidak tertarik pada partisipasi; ia butuh pertunjukan, dan para tamu memenuhinya.
Pada saat para pemimpin Afrika memiliki kesempatan bersejarah untuk menghadapi mentalitas kolonial yang bangkit kembali, mereka tunduk, dan membiarkan Trump menghidupkan kembali fantasi dominasi Barat abad ke-16, dan mereka menerima imbalan atas kepatuhannya. Imbalan mereka adalah janji Trump bahwa ia mungkin tidak akan mengenakan tarif baru pada negara mereka, "karena mereka sekarang adalah teman saya."(PH)