Foreign Policy: Mengapa Trump Tiba-tiba Bicara tentang Menyerang Nigeria?
https://parstoday.ir/id/news/world-i179686-foreign_policy_mengapa_trump_tiba_tiba_bicara_tentang_menyerang_nigeria
Dari media sayap kanan Amerika hingga lembaga resmi pemerintahan Trump, Nigeria kini secara perlahan menjadi pusat perhatian baru dalam kebijakan luar negeri Washington.
(last modified 2025-11-06T03:18:06+00:00 )
Nov 06, 2025 10:15 Asia/Jakarta
  • Foreign Policy: Mengapa Trump Tiba-tiba Bicara tentang Menyerang Nigeria?

Dari media sayap kanan Amerika hingga lembaga resmi pemerintahan Trump, Nigeria kini secara perlahan menjadi pusat perhatian baru dalam kebijakan luar negeri Washington.

Tehran, Parstoday- Majalah Foreign Policy dalam analisis terbarunya meninjau awal mula munculnya ancaman Amerika terhadap Nigeria dan kemungkinan dampaknya yang dapat berujung pada intervensi militer besar-besaran dan berbiaya tinggi.

Artikel yang ditulis oleh Kọ́lá Túbọ̀sún, seorang penulis dan ahli bahasa asal Nigeria menyoroti bahaya serius dari pernyataan Presiden Donald Trump yang secara tersirat berbicara tentang “perlunya menyerang Nigeria” dengan alasan melindungi kaum Kristen.

Túbọ̀sún menilai pandangan itu sebagai langkah yang berpotensi membawa bencana besar, mengingat Nigeria adalah negara dengan perpecahan etnis, agama, dan politik yang dalam, sehingga setiap intervensi militer hanya akan memperburuk ketegangan yang sudah ada.

Nigeria: Dari Pinggiran Pemberitaan ke Pusat Agenda Washington

Penulis menjelaskan bahwa kampanye anti-Nigeria mulai tumbuh di kalangan media konservatif Amerika dan secara perlahan menjadi tema besar dalam ruang publik, bahkan menjangkiti sebagian kalangan liberal, hingga akhirnya menjadi kebijakan resmi pemerintahan Trump.

Trump, pada 31 Oktober lalu, disebut telah memerintahkan agar Nigeria dimasukkan dalam daftar “negara-negara yang sangat mengkhawatirkan” dan menyusun rencana penggunaan kekuatan militer bila dianggap perlu.

Narasi Resmi vs Realitas di Lapangan

Pemerintah Amerika mengklaim bahwa Nigeria gagal melindungi komunitas Kristen dari kelompok bersenjata dan teroris. Namun Túbọ̀sún menyebut narasi ini dangkal dan menyesatkan, karena kekerasan di Nigeria tidak hanya menimpa umat Kristen, tetapi juga umat Muslim dan kelompok etnis serta agama tradisional lainnya.

Ia menjelaskan bahwa Nigeria—demokrasi terbesar di Afrika—memiliki struktur sosial yang kompleks:

Wilayah utara didominasi oleh Muslim,

Wilayah selatan mayoritas Kristen,

Sementara wilayah tengah dihuni oleh campuran penganut Islam, Kristen, dan kepercayaan tradisional.

Meskipun ada tingkat koeksistensi yang relatif stabil, negara ini menghadapi ancaman serius seperti pemberontakan Boko Haram, yang sejak lebih dari satu dekade lalu telah melancarkan serangan bersenjata dan menculik ratusan pelajar perempuan, termasuk peristiwa terkenal tahun 2014 di mana lebih dari 270 siswi diculik di timur laut Nigeria.

Akar Krisis: Lebih dari Sekadar Agama

Analisis Foreign Policy menegaskan bahwa akar krisis Nigeria jauh lebih dalam daripada sekadar konflik agama. Faktor-faktor kunci yang memperburuk situasi antara lain:

Dominasi politik militer dari utara,

Korupsi sistemik dan kesenjangan ekonomi,

Perebutan sumber daya minyak di Delta Niger,

Penindasan terhadap gerakan sosial dan protes kaum muda pada tahun 2020,

Serta perubahan iklim yang memicu konflik antara petani dan penggembala Fulani akibat kekeringan dan degradasi lahan.

Peringatan terhadap Intervensi Asing

Tulisan itu menegaskan bahwa setiap bentuk intervensi militer Amerika tidak akan menyelesaikan masalah, justru akan memperluas krisis dan memicu radikalisasi baru.

Kelompok ekstremis di Nigeria, menurut Túbọ̀sún, tidak hanya menyerang umat Kristen, tetapi juga Muslim moderat. Serangan terhadap Barkin Ladi di negara bagian Plateau yang menewaskan 13 orang Kristen, serta penganiayaan terhadap penganut agama tradisional di negara bagian Kwara, menunjukkan betapa rumitnya peta kekerasan di negara itu.

Kesimpulan: Solusi Harus Datang dari Dalam Negeri

Di bagian akhir tulisannya, Túbọ̀sún menegaskan bahwa Nigeria, dengan populasi sekitar 240 juta jiwa yang “dipersatukan secara paksa oleh kolonialisme Inggris,” selama ini hanya mampu mempertahankan keutuhan nasionalnya melalui kekuatan militer.

Namun untuk keluar dari lingkaran krisis ini, Nigeria memerlukan solusi internal yang mendalam, bukan petualangan militer asing.

“Campur tangan eksternal hanya akan memperparah luka lama dan memperdalam perpecahan,” tulisnya.

Dengan meningkatnya retorika agresif Washington, Foreign Policy memperingatkan bahwa serangan terhadap Nigeria tidak hanya akan mengguncang Afrika Barat, tetapi juga berpotensi menyeret Amerika ke dalam konflik baru yang panjang, mahal, dan tanpa legitimasi internasional.(PH)