Amerika Serikat: Dari Pertunjukan Kekuatan hingga Kerentanan Internal
https://parstoday.ir/id/news/world-i181050-amerika_serikat_dari_pertunjukan_kekuatan_hingga_kerentanan_internal
Sebuah portal berita dan analisis menulis bahwa di balik pertunjukan kekuatan yang ditampilkan Gedung Putih, kelemahan struktural Amerika Serikat semakin terlihat jelas.
(last modified 2025-11-26T04:33:35+00:00 )
Nov 26, 2025 11:27 Asia/Jakarta
  • Amerika Serikat: Dari Pertunjukan Kekuatan hingga Kerentanan Internal

Sebuah portal berita dan analisis menulis bahwa di balik pertunjukan kekuatan yang ditampilkan Gedung Putih, kelemahan struktural Amerika Serikat semakin terlihat jelas.

Tehran, Parstoday- Portal Modern Diplomacy dalam artikelnya menegaskan bahwa di balik tampilan kekuasaan Washington, terdapat realitas yang lebih dalam berupa kesenjangan yang semakin melebar antara citra kekuatan Amerika Serikat dan kemampuan nyata negara tersebut untuk menjalankan pemerintahan. Ketidakpercayaan internal, kekurangan anggaran, serta kekacauan institusional menunjukkan keretakan yang makin terbuka.

Menurut analisis tersebut, Amerika Serikat masih tampak sebagai satu-satunya superpower global yang presidennya menandatangani perjanjian dagang di Asia, berupaya membentuk tatanan baru di Asia Barat, mengirim armada militer ke Amerika Latin, serta mempertahankan kehadiran militer dan ekonomi yang mencerminkan sebuah kekuatan besar. Namun, di balik semua itu tersembunyi kenyataan bahwa kesenjangan antara citra kekuatan Amerika dan kapasitas riil untuk mengatur pemerintahan terus melebar.

Kontradiksi ini semakin jelas terlihat dalam beberapa tahun terakhir, terutama setelah penutupan pemerintahan federal terpanjang dalam sejarah Amerika Serikat. Penutupan itu bukan sekadar akibat perselisihan politik jangka pendek, tetapi merupakan indikator nyata dari erosi kemampuan negara tersebut dalam menjalankan tata kelola pemerintahan. Meskipun pemerintah federal telah dibuka kembali, retakan struktural masih tetap ada.

Meskipun Donald Trump tampil dengan slogan “Mengembalikan Kejayaan Amerika”, struktur yang seharusnya menopang kejayaan tersebut kini terjebak dalam ketidakpercayaan internal, kekurangan anggaran, dan kekacauan institusional. Akibatnya, kebijakan luar negeri Amerika lebih banyak bergantung pada manuver taktis yang berpotensi menciptakan krisis ketimbang strategi jangka panjang yang terukur. Contohnya adalah perjalanan panjang Trump ke Asia Tenggara pada Oktober 2025, yang menghasilkan perjanjian dagang dengan Thailand, Malaysia, Kamboja, Vietnam serta kesepakatan gencatan senjata selama satu tahun dengan Tiongkok. Meskipun tampak sebagai keberhasilan, langkah ini lebih menyerupai “napas buatan” daripada kebangkitan kepemimpinan ekonomi Amerika Serikat.

Laporan tersebut menyatakan bahwa Tiongkok terus memperkuat dominasinya di sektor-sektor strategis seperti farmasi, semikonduktor, dan baterai litium. Gencatan senjata satu tahun mungkin dapat meredakan tekanan politik domestik dan memberi Trump judul-judul pemberitaan yang positif, namun tidak mengubah struktur kompetisi antara Amerika Serikat dan Tiongkok.

Modern Diplomacy menggambarkan ancaman terbaru Trump terhadap Venezuela, Kolombia, bahkan Nigeria sebagai “doktrin pertunjukan”, yang hanya mengandalkan ancaman media, aksi militer simbolis, dan minim strategi berkelanjutan, serta lebih mencerminkan kecemasan mendalam Amerika Serikat.

Dijelaskan pula bahwa Washington semakin bergantung pada demonstrasi kekuatan militer guna menutupi melemahnya kekuatan lunak (soft power). Namun pada kenyataannya, pertunjukan tersebut lebih menunjukkan kebingungan dibandingkan otoritas yang sebenarnya.

Kunjungan Mohammad al-Jolani, pemimpin pemerintahan de facto di Suriah, juga menunjukkan upaya Washington mempertahankan pengaruhnya di Asia Barat. Trump berusaha menampilkan kunjungan tersebut sebagai awal dari era stabilitas baru, tetapi persoalan mendasar tetap tak terselesaikan. Penghapusan sanksi terhadap Suriah bergantung pada Kongres yang masih dipengaruhi dampak penutupan pemerintahan, sementara kesepakatan keamanan terkait akses ke pangkalan dekat Damaskus juga tidak memiliki dukungan institusional. Struktur keamanan nasional Amerika Serikat yang melemah akibat pemotongan anggaran pun tidak mampu menjalankan beberapa inisiatif besar secara bersamaan.

Dalam waktu yang sama, kunjungan Putra Mahkota Arab Saudi, Mohammed bin Salman, ke Washington lebih menonjolkan aspek ekonomi dan teknologi. Slogan “normalisasi dengan Israel” kini semakin kosong dan kehilangan makna praktis. Bahkan rencana 20 butir Trump untuk pembentukan pasukan internasional di Gaza masih hanya berada di atas kertas, karena tidak memiliki konsensus domestik maupun dukungan finansial yang memadai.

Pemangkasan birokrasi keamanan nasional oleh Trump juga melemahkan instrumen-instrumen kekuatan Amerika Serikat, seperti diplomasi, analisis intelijen, dan kemampuan membangun koalisi. Dengan demikian, kebijakan luar negeri Amerika kini lebih banyak dibatasi bukan oleh tekanan luar negeri, tetapi oleh kekacauan internal.

Bagian akhir artikel Modern Diplomacy menegaskan bahwa kontradiksi antara “janji kejayaan” dan “realitas kemunduran” kini tampil lebih gamblang. Krisis tata kelola di Washington telah berubah menjadi krisis geopolitik, di mana kekuatan-kekuatan besar mulai dari Beijing hingga Teheran tidak lagi menghadapi hegemoni Amerika, melainkan ketidakstabilan Amerika. Dunia tidak menunggu kembalinya Amerika; tatanan internasional terus bergerak maju. Saat ini, lebih dari kapan pun, tampak jelas sebuah paradoks mendasar: kekuatan yang berusaha membangun tatanan global, namun bahkan tidak mampu menjaga ketertiban di dalam negerinya sendiri.(PH)